| 52 Views

Sister City, Digitalisasi, dan Kapitalisasi

Oleh : Alin Aldini, S.S.,
Anggota Komunitas Muslimah Menulis (KMM) Depok

Kota Depok dikabarkan memiliki kemiripan dengan Kota Tianjin, Cina. Meski secara luas lebih kecil daripada Tianjin, Depok menjadi kota metropolitan karena berbatasan langsung dengan Jakarta. Banyaknya kampus baik negeri maupun swasta memberikan kesan maju, terdepan, dan penuh dengan pengetahuan. Belum lagi berbagai pusat perbelanjaan dan sarana hiburan yang menyuguhkan kemewahan tersendiri, menjadi pusat bisnis dan pemerintahan yang strategis.

Bahkan, menurut Ketua DPRD Kota Depok, Ade Supriyatna, DPRD dan Pemkot Depok menyambut baik Dinas Komunikasi dan Teknologi Kota Tianjin, Cina yang ingin menjajaki kerja sama dengan Kota Depok. DPRD Kota Depok juga, menurut Ade menggandeng Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Depok yang juga memiliki program kerja sama yang dinamakan Sister City (Radardepok.com, 1/11/2024)

Jika dilihat, Depok memang sudah memiliki teknologi informasi yang bagus dengan adanya sistem pelayanan pembuatan dokumen sipil secara digital mulai dari pembuatan Akta Lahir, KTP, Kartu Keluarga (KK), hingga Kartu Identitas Anak (KIA) dengan cepat, mudah, dan ringkas.

Kerja sama ini jika hanya dilihat dari satu sisi memang dianggap sebuah kemajuan dalam hal teknologi. Namun penggunaan teknologi informasi ini jika tidak dibarengi dengan pemahaman individu yang benar terhadap ekonomi yang sesuai syara (aturan Islam) justru akan dijadikan bisnis bahkan bisa dikapitalisasi oleh negara yang memiliki modal besar dengan adanya kerja sama yang nantinya berdampak pada kebijakan-kebijakan hilir (bawah) yang menjadikan Kota Depok hanya sebagai pasar/konsumen dari industri digital.

Digitalisasi tanpa visi industri mandiri berlandaskan visi Islam bahwa setiap hal yang ada di bumi adalah milik umat akan rentan eksploitasi hingga bukan hanya menjadi transformasi digital melainkan juga transformasi nilai perbuatan, cara pandang, dan budaya.

Pergeseran visi, nilai perbuatan, cara pandang, dan budaya akan berdampak pada pergaulan yang menyuburkan pembajakan potensi hingga maraknya prostitusi hulu hingga hilir, yang bahkan dilakukan secara online.

Kemajuan teknologi tidak bisa lepas dari peradaban yang menaunginya, kapitalisme yang berasaskan sekularisme (memisahkan agama dari kehidupan) menjadikan teknologi digital hanya sebatas visi untung-rugi, menerapkan prinsip pasar bebas yang hanya menargetkan pertumbuhan ekonomi hulu (atas) semata, yang hanya memiliki negara yang menguasai teknologinya seperti AS dan Cina.

Imbasnya, digitalisasi tanpa peran agama mengakibatkan dehumanisasi, manusia berjalan hanya mengikuti hawa nafsu dan jauh dari fitrahnya sebagai khalifah fiil 'ardh yang memiliki visi menjadi rahmat bagi semesta alam karena menjalankan hidup untuk menanam bekal kehidupan akhirat.

Maka dari itu, Islam pun mengatur sistem ekonomi berhubungan bukan hanya dengan sistem informasi namun juga berkaitan dengan sistem politik yang berperan strategis dalam meregulasi (membuat) aturan yang tidak saling berbenturan satu dengan lainnya, bahkan membenturkan sifat dan karakter manusia dengan ciptaan (robot/AI).

Sayangnya politik Islam yang sesuai dengan Al-Qur'an dan As-sunah hanya bisa diterapkan oleh Khilafah (sistem Islam) yang akan membangun industri mandiri berbasis industri berat yang memanfaatkan pengolahan SDA sesuai adab dan etika baik yang dituntun Islam, tidak merusak apalagi merugikan alam.


Share this article via

36 Shares

0 Comment