| 1334 Views
Cuti Bagi Ayah, Solusikah?
Oleh : Sumiati
Pendidik Generasi dan Member Akademi Menulis Kreatif
Generasi muda saat ini, begitu rapuh, bahkan dijuluki sebagai generasi strawberry. Yakni, karakternya yang rapuh, mudah terpengaruh, mudah rusak. Sebagaimana buah strawberry, harus dijaga, di tempatkan yang terlindungi, sedikit saja, tertindih, tersenggol, iya akan mudah rusak dan busuk. Demikian gambaran anak muda sekarang.
Akhir-akhir ini, muncul wacana pemerintah untuk memberikan cuti bagi ayah. Agar ayah bisa menemani istrinya yang melahirkan, yang sakit, dan yang berkaitan dengan kepentingan di dalam sebuah keluarga. Niat baik dari pemerintah, tentu mesti disambut baik. Tentu, bergulirnya wacana ini, lahir dari sedikitnya kesadaran, bahwa keluarga membutuhkan sosok ayah yang hadir dalam hidup keluarganya. Tidak hanya sebatas menjadi mesin uang bagi anak dan juga istrinya.
Fakta saat ini, betapa banyak keluarga yang hancur, gara-gara kehilangan sosok ayah di rumah tersebut. Ayah berangkat pagi di saat anak mereka masih tidur, dan ayah pulang, di saat anak-anak mereka telah terlelap tidur. Nyaris mereka tidak pernah bertemu. Jangankan untuk bercengkerama di ruang keluarga sesaat setelah salat maghrib atau isya. Sang anak pun tak pernah merasakan salat berjama'ah dengan sang ayah. Terlebih Didampingi belajar, mungkin itu hanya mimpi mereka saja. Nyaris tidak ada yang namanya sakinah. Yang ada hanya ritual sebuah keluarga. Ada ayah, ibu dan anak, setelah itu mereka hidup masing-masing, sesuai dengan kesibukannya masing-masing.
Cuti bagi ayah, sejatinya bukan solusi yang tepat, karena akan kembali kepada kebiasaan sebelumnya. Ayah mendampingi di saat cuti saja, selain itu kembali kepada kebiasaan lama. Dan solusi cuti untuk ayah, hanyalah solusi tambal sulam, yang tidak melahirkan kenyamanan bagi keluarga secara tuntas. Dan hal ini, tidak pernah lepas, dari kebijakan pengusaha atas pekerjaan untuk para ayah, atau sistem pengelolaan masyarakat yang kurang tepat. Pekerjaan yang begitu menyita waktu dan tenaga, jam kerja yang penuh, bahkan tuntutan perusahaan, memaksa para ayah, benar-benar menjadi mesin yang saja. Tidak diperhatikan, jika para ayah ditunggu oleh keluarganya di rumah. Bahkan para ayah pun membutuhkan istirahat yang cukup bersama anak dan juga istri. Terkadang, para ayah harus bekerja dari pagi sampai petang, tetapi tidak mencukupi kebutuhan keluarga, hal ini memaksa para ayah untuk mencari tambahan di luar kantor. Otomatis waktu dan tenaga terkuras habis, tidak ada lagi semangat membersamai keluarga.
Lalu, bagaimana dengan Islam mengatasi yang demikian?
Islam adalah agama yang sempurna, tidak ada satu masalah pun yang tidak bisa ditangani, termasuk tugas ayah dalam mencari rezeki dan mendampingi keluarga. Allah Swt. berfirman:
Kaum laki-laki adalah pemimpin kaum perempuan...
ٱلرِّجَالُ قَوَّٰمُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَآ أَنفَقُوا۟ مِنْ أَمْوَٰلِهِمْ ۚ فَٱلصَّٰلِحَٰتُ قَٰنِتَٰتٌ حَٰفِظَٰتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ ٱللَّهُ ۚ وَٱلَّٰتِى تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَٱهْجُرُوهُنَّ فِى ٱلْمَضَاجِعِ وَٱضْرِبُوهُنَّ ۖ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا۟ عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا ۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا
Artinya:
"Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya. Maka perempuan-perempuan yang saleh, adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguh, Allah Maha Tinggi, Maha Besar."
(QS. An-Nisa' 4: Ayat 34)
Sudah sangat jelas dengan ayat di atas. Bahwa laki-laki berkewajiban dalam menafkahi keluarga dengan segenap kemampuan. Juga berkewajiban mendidik keluarga, anak dan istri, untuk mengantarkan mereka ke surga. Hingga bersama bukan hanya di dunia, tetapi juga di akhirat.
Namun, dalam hal ini, masyarakat membutuhkan negara yang menjamin kehidupan mereka. Dengan menyediakan lapangan pekerjaan yang cukup, dan hasil yang cukup untuk keluarga. Di dalamnya menerapkan sistem Islam yang sempurna. Sehingga, tidak berat bagi ayah, menjadi kepala keluarga. Penghasilan cukup, bisa mendampingi anak-anak dan juga istri, tanpa harus menelantarkan mereka, sampai kehilangan sosok ayah, akhirnya mereka broken home, ada yang kehilangan sosok suami, akhirnya mencari yang lain. Na'udzubillahi min dzaalik.
Wallahualam bissawab