| 12 Views
Sistem Syarikah Haji Penuh Drama, Buah Sistem Kapitalisme

Oleh: Rini Febiani
Aktivis Muslimah
Tantangan penyelenggaraan haji tahun ini penuh drama dan keluhan, baik dari segi pelayanan, sistem, maupun komunikasi. Salah satunya yaitu sistem syarikah (kerja sama) penyedia layanan yang masih terdapat banyak kekacauan.
Syarikah adalah perusahaan Arab Saudi yang memiliki kewenangan dalam mengatur pelaksanaan ibadah haji 2025. Melansir dari emedia.dpr.go.id, Maman Imanual Anggota DPR RI Komisi VIII, mengatakan bahwa sebelumnya jamaah haji Indonesia hanya dilakukan oleh satu syarikah yaitu Mashariq. Akan tetapi, tahun ini terdapat delapan syarikah yang bertugas melayani jamaah haji Indonesia. (emedia.dpr.go.id, 15/5/2025)
Sistem pengelompokan jamaah model syarikah dalam penyelenggaraan haji tahun 2025 ini memicu kebingungan di kalangan jamaah. Penerapan sistem syarikah yang terkesan mendadak ini bahkan telah mengacaukan kloter sebelumnya yang telah terencana dengan baik di Indonesia, sehingga beberapa travel umroh dan haji banyak mengeluhkan sistem ini.
Menurut anggota lain Komisi VIII, Dini Rahmania, menurutnya sistem Syarikah penyedia layanan masih terdapat banyak kekacauan. Mulai dari jemaah dipisahkan dari keluarga, pendamping lanjut usia tidak bersama jamaah, dan pemilihan hotel tanpa koordinasi yang baik, sehingga ini layak disebut sebagai sistem yang semerawut.(liks.suara, 16/5/2025)
Banyaknya syarikah yang telah bekerjsama dengan Indonesia haji di tahun ini nyatanya tidak menjadikan para jamaan haji merasa tenang dan nyaman, tetapi justru dibuat pusing dengan masalah-masalah teknis. Faktanya banyak jamah haji Indonesia yang terpisah rombongan terpisah karena ditempatkan di bawah syarikah. Suami-istri berpisah kamar, lansia kehilangan pendamping, tentu saja kekacauan ini memicu keresahan.
Salah satu akar masalah dari karut marutnya penyelenggaraan ibadah haji adalah komersialisasi yang tejadi akibat penerapan sistem kapitalisme. Penyelenggara ibadah haji menjadi ajang bisnis bagi kelompok tertentu. Dampaknya, jamaah tidak mendapatkan kenyamanan yang seharusnya mereka terima saat menunaikan ibadah haji. Komersialsasi ibadah haji juga sebagai bentuk eksploitasi, di mana keuntungan finansial menjadi prioritas utama, mengesampingkan aspek spiritual dan pelayanan yang seharusnya menjadi fokus utama.
Berbeda jika dibanding dengan sistem Islam. Di dalam sistem ini penguasa wajib memudahkan urusan ibadah umat, termasuk haji. Negara bertanggung jawab penuh atas pelaksanaannya dengan prinsip pelayanan, bukan bisnis. Pemerintahan Islam memandang ibadah sebagai hak rakyat yang harus dipenuhi tanpa memberatkan.
Dalam penyelenggaraannya pada masa kekhalifahan, siapa pun tidak membutuhkan visa untuk memasuki tanah suci karena wilayah ini adalah bagian dari kekhalifahan Islam. Khalifah sendiri bertanggung jawab penuh dalam melayani para tamu Allah Swt., Khalifah akan menunjuk Muslim yang amanah untuk bertanggung jawab dalam mengelola urusan haji dengan menetapkan wilayah-wilayah mana yang dekat dari haramain untuk menjadi tempat persinggahan para tamu Allah.
Kebijakan haji pada masa Utsmaniyyah dapat kita jejaki sebagai model pengurusan haji oleh khalifah pada masanya. Saat itu, belum ada sarana transportasi dengan menggunakan mesin yang aman dan nyaman, baik darat, laut, maupun udara. Khalifah menetapkan wilayah-wilayah penting di sekitar tanah suci yang akan menjadi tempat untuk menyambut para jemaah.
Wilayah Syam, dengan letak geografisnya, telah menjadi pusat pertemuan para jemaah haji yang datang dari Arab, Persia, Kurdi, Turkmen, India, Georgia, Albania, Afganistan, dan sebagian jemaah yang berasal dari Asia Tenggara yang datang melalui jalur darat. Sedangkan wilayah timur Islam yang lain, dengan pertimbangan bahwa jalur darat, antara Damaskus dan Hijaz adalah jalur yang paling pendek untuk kafilah haji yang berangkat untuk menunaikan ibadah haji, begitu juga kafilah dagang sejak dahulu, dan zaman sebelum Islam.
Persiapan sarana haji telah dimulai tiga bulan sebelum musim haji. Negara Utsmani, di bawah pimpinan Sultan Utsmani, telah memberikan perhatian lebih dan besar kepada tempat ini. Lajnah Khusus, dengan kedudukan tinggi, yang berhubungan langsung dengan Ash-Shadr al-A’dham (semacam kepala pemerintahan), telah diberi tugas. Tugas utamanya adalah memonitor dan memperhatikan semua urusan rombongan haji di wilayah-wilayah Islam, serta menginstruksikan kepada wali di wilayah-wilayah itu untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Dengan demikian, penyelenggaraan ibadah haji ini sesungguhnya membutuhkan sudut pandang akidah dan lensa sistem Islam yang telah Rasulullah wariskan, yakni Daulah Khilafah. Tanpanya, ibadah haji dan umrah akan terus semrawut dengan spirit sekularisme kapitalisme yang tidak hanya mengikis spirit ibadah haji, tetapi juga makna dari ibadah yang mulia ini.
Allah Taala berfirman, “Ibadah haji adalah kewajiban manusia kepada Allah, yaitu bagi yang mampu melakukan perjalanan ke Baitullah. Siapa saja yang mengingkari (kewajiban haji), sungguh Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” (QS Ali Imran [3]: 97).
Jadi, didalam sistem Islam pengelolaan haji bukanlah orientasi bisnis melainkan pelayanan ibadah. Kemudian negara akan menjalankan fungsinya sebagai pelayan umat. Dengan demikian rakyat akan dengan mudah dan murah untuk melaksanakan ibadah haji.
Wallahu a'lam bissowab.