| 111 Views

Program Tular Nalar, FISIP UHO Dorong Mahasiswa Jadi Pemilih Cerdas dan Pionir Literasi Digital.

Oleh : Feby Arfanti
Mahasiswi STAI Baubau

Demokrasi dengan berbagai idenya menghalalkan berbagai  cara untuk menghisap darah rakyat dengan memberikan kebebasan berpendapat, beragama, berkepemilikan dan kebebasan perperilaku. Hal ini memicu terjadinya ketidak seimbangan dalam berkehidupan yang menjadikan mereka sebagai seseorang yang memilki pemahaman sekuler.

Lihat saja pada Program Tular Nalar, yang di selenggarakan di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Halu Oleo, yang mana di hadiri sekitar 100 mahasiswa yang merupakan pemilih pemula, sebagai peserta utama. Acara ini mengusung tema mulia: memperkuat literasi digital dan pemahaman demokrasi generasi muda, terutama menjelang Pilkada 2024. (Kendarinews.com. 28/11/2024).

Hal ini justru menjadikan mahasiswa sebagai sasaran empuk para pengusung demokrasi untuk menyesatkan mereka dengan ide-ide kufur demokrasi dan turunannya. Walhasil mereka menjadi pemilih cerdas tanpa memahami hakikat penyaluran suara mereka. Sebab tidak ada gambaran tentang politik shahih dari Islam. 

Kalau memang generasi mau cerdas politik seharusnya bisa menelisik lebih dalam bahwa demokrasi itu rusak dan merusak faktanya sudah sangat banyak dari beberapa dekade kebelakang. Kesejahteraan rakyat, aspirasi dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat selalu di dengungkan dan diangungkan tetapi tidak pernah terwujud hanya semboyan klise yang terus membodohi rakyat dan menghasilkan nesptapa berunjung penderitaan rakyat yang tak berkesudahan termaksud generasi mudah.

 Perlu diketahui demokrasi lahir dilatarbelakangi oleh keberadaan para penguasa Eropa yang mengklaim penguasa adalah wakil Tuhan di bumi dan berhak memerintah rakyat berdasar kekuasaannya.Yah seperti itulah demokrasi yang berlandaskan ide "kedaulatan ditangan rakyat", "Rakyat merupakan sumber kekuasaan". Ide ini menjadikan rakyat sebagai pemilik kehendak yang melaksanakan sendiri kehendaknya dan menjalankan sesuai dengan keinginannya. Artinya tidak ada satu kekuasaan pun yang berkuasa pada rakyat karena rakyat itu sendiri ibarat pemilik budak. Rakyatlah yang berhak membuat peraturan yang akan mereka terapkan serta menjalankan sesuai dengan keinginannya. Rakyat pula yang berhak mengangkat penguasa dalam posisinya sebagai wakil mereka sendiri.

Padahal sebelumnya semenjak kita di lahirkan di bumi ini, Allah sudah menghadirkan kepada kita beberapa Rasul yang membawa risalah menyongsong kita pada kebenaran, tetapi dengan adanya demokrasi yang melahirkan paham sekuler-kapitalis (pemisahan agama dari kehidupan), sehingga kita abai terhadap hukum-hukum Allah yang ada pada Al-Qur'an dan Sunnah. Sementara sudah sangat jelas Allah menerangkan dalam Qur'an, sebagaimana firman-nya:
"Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Alquran) dan Rasul (sunahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu, lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya". (TQS. Al-Qur'an an-nisa [4]: 59). 

Dari sinilah sudah saatnya generasi mudah menyadari perannya sebagai agen perubahan hakiki dengan Islam Kafah dan politik Islam yang shahih. Hal ini sebagaimana Islam mendudukan peran pemudah sebagai agen perubahan untuk kebangkitan Islam. Yang perlu di ketahui sejatinya, umat Islam layak digelari sebagai umat terbaik sebagaimana firman Allah Taala, “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.” (QS Ali Imran: 110).

Tentu saja, hanya Islam yang mampu mengantarkan umat menuju taraf kehidupan yang lebih baik, bahkan menjadi umat terbaik, karena Islam itu tinggi. Dalam hal ini, Khilafah adalah satu-satunya negara yang mampu menjadi panggung peradaban Islam. Melalui Khilafah, Islam tampil sebagai cahaya karena diterapkan sebagai aturan kehidupan sehari-hari baik secara individu, keluarga, masyarakat, maupun negara.

Khilafah bukanlah negara dengan sistem pemerintahan represif ataupun totaliter. Khilafah juga merupakan negara manusiawi, bukan negara teokrasi yang penguasanya ibarat Tuhan. Khilafah justru sangat menyadari bahwa perubahan adalah sesuatu yang niscaya terus ada sepanjang masa kehidupan manusia. 

Tersebab hal itu, Khilafah menjadi negara yang membuka luas ruang muhasabah lil hukkam (mengoreksi penguasa) sehingga aktivitas dakwah perubahan masyarakat akan terus subur. Khilafah juga sangat berkepentingan mengambil peran untuk terus mencetak agen perubahan, tidak terkecuali dari kalangan pemuda.

Di antara langkah Khilafah untuk mencetak pemuda agen perubahan adalah dengan menyelenggarakan sistem pendidikan berbasis akidah Islam yang akan mencetak generasi berkepribadian Islam. Sistem pendidikan ini harus disertai proses pembinaan intensif berbasis mabda Islam. 

Sistem pembinaan inilah yang berperan menginkubasi generasi muda dengan pencerdasan perihal tsaqafah Islam politik sehingga mereka peka terhadap berbagai urusan umat, serta mampu melepaskan umat dari segala problematik kehidupan. Dengan kata lain, selain berperan sebagai agen perubahan dan pengemban dakwah Islam politik, para pemuda juga mampu menjadi para ahli/pakar/intelektual di sektor-sektor kemaslahatan publik. Sungguh, semua ini dapat terwujud secara kafah hanya dalam Khilafah.
Wallahualam bissawab.


Share this article via

82 Shares

0 Comment