| 150 Views
Menimbang Ulang Pilar Ekonomi Rakyat dalam Perspektif Islam

Oleh: Ema Fitriana Madi
Pada 21 Juli 2025, Presiden Prabowo Subianto meresmikan peluncuran 80.081 Koperasi Desa dan Kelurahan Merah Putih (KDMP/KKMP) di Klaten, Jawa Tengah. Program ini digadang sebagai gerakan nasional guna memperkuat ekonomi rakyat, dengan koperasi yang disebut sebagai alat perjuangan agar rakyat kecil mandiri, berkeadilan, dan berdaulat secara ekonomi. (Kemenkeu.go.id, 21/7/2025).
Sebagai gerakan nasional, program ini sudah mulai dijalankan di berbagai daerah, salah satunya di Kota Kendari. Pemerintah Kota Kendari pun terus memacu pembentukan Koperasi Kelurahan Merah Putih (KKMP). Dilansir dari rri.co.id pada 13 Agustus 2025, Kepala Dinas Perdagangan, Koperasi, dan UMKM Kota Kendari, Syarifuddin, menegaskan bahwa langkah ini merupakan bagian penting dari rencana besar membentuk 65 KKMP di seluruh kelurahan, dimana salah satu yang telah resmi beroperasi saat ini adalah KKMP Wundumbatu di Kecamatan Poasia, Kota Kendari. Dimana 3.250 kartu anggota KMP telah diluncurkan. Semuanya ditunjang dengan sistem digitalisasi untuk memudahkan prosesnya.
pertanyaannya kemudian, sejauh mana program Koperasi Merah Putih ini benar-benar mampu menjadi solusi bagi penguatan ekonomi rakyat sesuai dengan tujuan awal yang dicanangkan?”
Koperasi Merah Putih: Janji Populis dalam Jeratan Kapitalisme
Jika dikaji secara lebih mendalam, KDMP/KKMP yang baru saja digulirkan ini sebenarnya tidak lepas dari asas koperasi yang lahir dan beroperasi dalam kerangka sistem ekonomi kapitalis-sekular. Dalam konsep kapitalisme, koperasi bukan ditempatkan sebagai pilar sejati untuk menghapus kesenjangan sosial-ekonomi, melainkan hanya sebagai instrumen pelengkap yang diarahkan untuk menopang agenda pertumbuhan ekonomi nasional yang orientasinya tetap pada akumulasi kapital dan kepentingan pasar.
Meskipun, secara historis koperasi dimaknai sebagai wadah tolong-menolong, solidaritas, dan distribusi keadilan ekonomi di tengah masyarakat. Namun dalam praktiknya, nilai-nilai ini direduksi menjadi sekadar mekanisme administratif, terbatas pada distribusi kartu anggota atau peresmian gerai, dan tidak menghasilkan perubahan mendasar bagi ekonomi rakyat.
Koperasi dalam sistem kapitalisme seringkali hanya dijadikan sarana penyaluran kredit atau subsidi yang ujung-ujungnya menambah ketergantungan anggota pada lembaga keuangan berbasis bunga/riba yang hukumnya jelas haram dalam Islam. Selain itu, meski anggota di iming-imingi akan mendapat kemudahan, seperti akses pinjaman modal atau sembako murah, tetapi hakikatnya mereka tetap berada dalam lingkaran konsumsi dan utang yang dikendalikan mekanisme pasar. Alhasil, koperasi tidak benar-benar menjadi wadah untuk membangun kemandirian ekonomi rakyat, melainkan sekadar perpanjangan tangan dari sistem kapitalis yang tetap menempatkan keuntungan dan pertumbuhan ekonomi sebagai tujuan utama, tanpa peduli halal atau haram.
Apalagi dari hasil riset Center of Economic and Law Studies yang melibatkan 108 kepala desa di 34 provinsi memperlihatkan adanya potensi risiko penyimpangan, kerugian uang negara, hingga matinya inisiatif ekonomi di pedesaan akibat program Koperasi Merah Putih. (Kompas.id, 5/7/2025).
Oleh karenanya, selama kita masih bernaung di bawah paradigma kapitalisme sekularisme, maka program yang lahir lahir adalah program-program pragmatis yang berwajah populis namun tidak menyentuh akar masalah kemiskinan, ketidakadilan, ketergantungan ekonomi masyarakat kecil, serta jauh dari solusi.
Menggagas Kesejahteraan Hakiki Bersama Khilafah
Dalam Islam, solusi kesejahteraan rakyat telah jelas diatur dalam mekanisme sistem pemerintahan Khilafah. akan menjalankan peran strategisnya sebagai pe-riayah (pengurus dan pelayan rakyat) sebagaimana sabda Rasulullah saw.: "Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya."
Dalam Khilafah, semua pemasukan negara—seperti fai’, ghanimah, zakat, kharaj, jizyah, ‘usyur, hasil pengelolaan kepemilikan umum (minyak, gas, listrik, hutan, laut, tambang, dll) dikumpulkan di Baitul Mal. Dana ini dialokasikan langsung untuk memenuhi kebutuhan pokok rakyat: sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, keamanan. Negara wajib memastikan setiap individu terpenuhi kebutuhan dasarnya (pangan, sandang, papan). Bila ada yang lemah/tidak mampu, negara akan menanggungnya dengan dana Baitul Mal.
Tak heran dimasa sejarah Khilafah, rakyat hidup terjamin dan sejahtera. Diantaranya pada masa Khalifah Umar bin Khaththab, dimana pada saat itu beliau menyediakan Baitul Mal untuk menjamin kebutuhan pokok rakyat miskin. Saat paceklik (tahun Ramadah), Umar bahkan langsung membagikan makanan dari Baitul Mal ke setiap rumah rakyat. Juga pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz, distribusi zakat dan dana Baitul Mal begitu merata hingga sulit menemukan rakyat miskin yang berhak menerima. Rakyat bukan hanya tercukupi pangan dan sandangnya, bahkan hingga pernikahan dan ternaknya ditanggung.
Selain itu, Pendidikan diberikan gratis dan merata, dari dasar hingga tinggi. Kesehatan dijamin gratis, dengan rumah sakit, obat, dan tenaga medis dibiayai negara. Pada masa Daulah Abbasiyah, negara membangun banyak madrasah, universitas, dan perpustakaan, seperti Baitul Hikmah di Baghdad. Semua pendidikan diberikan gratis, bahkan murid diberi beasiswa berupa kitab, pena, dan kertas. Gaji guru pun terjamin. Pada masa Harun ar-Rasyid, rumah sakit (bimaristan) dibangun di berbagai wilayah. Pelayanan, obat, hingga perawatan diberikan gratis untuk semua rakyat, kaya atau miskin. Di masa Al-Walid bin Abdul Malik (Khalifah Umayyah), dibangun rumah sakit permanen pertama di Damaskus. Bahkan pasien kusta diberi tempat khusus, dirawat gratis, dan diberi tunjangan hidup.
Negara membuka lapangan kerja dengan mengelola sumber daya alam. Distribusi kekayaan dilakukan adil, tidak terkonsentrasi pada segelintir orang. Rakyat dipacu untuk bekerja dan berusaha, namun yang tidak mampu tetap ditanggung.
Dalam sistem Khilafah, sumber daya alam (SDA) dikelola langsung oleh negara sebagai milik umat, sehingga tidak boleh diswastanisasi atau dikuasai segelintir korporasi. Seluruh bentuk riba, monopoli, dan pajak mencekik dihapuskan karena bertentangan dengan syariah. Kekayaan strategis seperti tambang, minyak, gas, hutan, dan air dikelola negara untuk kepentingan seluruh rakyat, hasilnya dikembalikan dalam bentuk layanan publik seperti pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan jaminan sosial, sehingga kesejahteraan dirasakan secara merata.
Inilah mekanisme Khilafah yang telah terbukti selama lebih dari 13 abad mampu menghadirkan keadilan, kesejahteraan, serta kejayaan peradaban. Kini saatnya umat kembali menjadikan Khilafah sebagai solusi nyata untuk mewujudkan kehidupan yang diridhai Allah dan terbebas dari jeratan sistem kapitalisme yang zalim.
Wallahualam bishawwab.