| 221 Views
Penyelesaian Judol Hanya dengan Islam

Oleh : Eva Ummu Naira
Anggota Komunitas Muslimah Menulis (KMM) Depok
Sungguh memprihatinkan, penduduk Indonesia yang mayoritas Muslim ternyata banyak yang kecanduan judi online (judol). Marak pemberitaan di berbagai linimasa terkait maraknya judol telah menjangkiti berbagai kalangan di tengah masyarakat.
Memang, pemerintah pun tak tinggal diam. Berbagai cara diakukan untuk memberantas judol ini. Seperti yang dilansir Kompas.com, (17/7/2024), Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI dari daerah pemilihan (dapil) Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta Fahira Idris mengapresiasi Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), khususnya Kepolisian Resor (Polres) Metro Jakarta Barat (Jakbar) beserta polsek-polsek di bawahnya, atas keberhasilan dalam mengungkap 23 kasus tindak pidana judol selama satu bulan terakhir, dari Sabtu (8/6/2024) hingga Kamis (11/7/2024).
Keberhasilan tersebut menurut Fahira merupakan langkah strategis dalam upaya besar negara memberantas praktik judol yang telah menyebabkan banyak korban. Salah satu kasus yang terkuak yakni penggerebekan sindikat judol di sebuah apartemen di kawasan Grogol Petamburan, Jakbar, yang berhasil diungkap oleh Polres Metro Jakarta Barat. Cara yang digunakan oleh sindikat tersebut dengan berbagai teknik seperti meretas situs dan memanfaatkan optimisasi mesin pencari untuk meningkatkan visibilitas situs mereka, serta menyewakan alamat situs kepada sindikat lain di luar negeri, termasuk di Kamboja.
Menko Polhukam Hadi Tjahjanto, pun mengungkap ada sekitar 4 juta orang yang terdeteksi judol di Indonesia. Usia pemain judol pun bervariasi, mulai dari anak-anak sampai orang tua. Sesuai data demografi pemain judol, usia di bawah 10 tahun ada 2% atau 80 ribu orang, usia 10-20 tahun ada 11% (440 ribu), usia 21-30 tahun 13% (520 ribu), usia 31-50 tahun 40% (1,64 juta) dan usia di atas 50 tahun 34% (1,35 juta).
Adapun pelaku judol ini rata-rata kalangan menengah ke bawah, jumlahnya 80% dengan nominal transaksi mulai Rp10.000 sampai Rp100.000, sedangkan di kelas menengah ke atas mulai dari Rp100.000 hingga Rp40 miliar (Databoks Katadata, 24/6/2024).
Melihat fakta di atas sungguh sangat miris betapa judol ini pelakunya hampir dari semua kalangan, mulai dari kalangan miskin, menengah dan kaya, bahkan terjadi juga di kalangan intelektual sampai para pejabat negara.
Maraknya judol hari ini bukan semata karena masalah kemiskinan, tetapi lebih dari itu, gaya hidup hedonistik masyarakat negeri ini sudah makin parah, budaya flexing di media sosial pun sudah menjadi hal biasa. Akhirnya, judol menjadi jalan pintas bagi mereka yang cepat kaya tanpa perlu kerja keras.
Aktivitas judol yang diharamkan agama ini justru semakin marak di negeri yang mayoritasnya beragama Islam, berbagai upaya dilakukan negara untuk memberantas judol ini, akan tetapi justru semakin banyak kasus judol di tengah masyarakat. Solusi yang diberikan negara hanya menjadi angin lalu bagi masyarakat tanpa efek jera bagi pelakunya.
Tidak dipungkiri memang ada beberapa upaya yang dilakukan pemerintah untuk menyelesaikan masalah ini, di antaranya dengan membekukan akun-akun judol, pembentukan satgas judol yang tertuang dalam Keppres No. 21 Tahun 2024 yang diterbitkan di Jakarta pada 14 Juni 2024.
Sejatinya permasalahan judol ini akan dapat terselesaikan dengan mudah jika berpedoman pada syariat Islam, betapa Islam dengan tegas mengharamkan aktivitas judol ini, sebagimana firman Allah SWT dalam Qur’an surah al-Maidah ayat 90 yang artinya, “Wahai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya minuman keras, berjudi, berkurban untuk berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung.”
Penguasa dalam sistem Islam akan berupaya mengurus rakyatnya dengan baik dan bukan menyulitkan rakyat dengan membiarkan fasilitas judol tersebar bebas dan tidak mendidik rakyat sesuai tuntunan syariat.
Pada aspek preventif, negara akan menguatkan akidah rakyat dan ketaatan mereka pada syariat melalui jalur pendidikan, dakwah, dan media massa sehingga terbentuk benteng diri sebagai pertahanan dari godaan judol. Pada aspek kuratif, negara akan menindak tegas semua orang yang terlibat judol, baik sebagai pelaku maupun bandar. Mereka akan mendapatkan sanksi takzir yang menjerakan. Bisa berupa hukuman cambuk, penjara, maupun yang lainnya. Maka hanya dengan sistem Islam sajalah persoalan judol ini akan terselesaikan.[]