| 101 Views
Penegakkan Korupsi di Sistem Kapitalisme Tak Semanis Gula Impor

Penulis : Ariefdhianty Vibie
Pegiat Literasi, Muslimah Bandung
Menteri Perdagangan periode 2015-2016, Thomas Trikasih Lembong, resmi ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi impor gula oleh Kejaksaan Agung (Selasa, 29/10/2024). Thomas Lembong dianggap merugikan negara hingga 400 miliar rupiah saat menjabat sebagai Menteri Perdagangan era Jokowi (tvonenews, 31/10/2024).
Namun, penetapan Tom Lembong sebagai tersangka kasus korupsi ini menuai banyak opini di kalangan pejabat dan pakar. Pasalnya, mereka menilai, penetapan ini dianggap prematur dan memuat kesan pencitraan terhadap pemerintahan yang baru. Padahal menteri-menteri yang menjabat setelah Tom Lembong juga melakukan kebijakan impor saat barang-barang surplus, seperti Bulog yang mengimpor beras saat panen raya Mei 2024 silam.
Impor memang menjadi daya tarik yang menggiurkan bagi para pemegang kebijakan di negeri ini. Tak heran jika impor komoditas pangan masih menjadi lahan basah bagi praktik korupsi. Impor sering menjadi celah bagi para elit tertentu untuk mengambil keuntungan. Bahkan, persetujuan impor sering dilakukan tanpa pembahasan di rapat koordinasi antar kementerian, tidak kuat dalam menganalisis kebutuhan dalam negeri, serta lemahnya pengawasan terhadap realisasi impor, maupun terhadap importir. Wajar akhirnya kasus korupsi di sektor impor lebih sering terjadi.
Namun, jangan terpaku pada impor saja. Pada faktanya, korupsi di negara ini sudah sangat menjamur dari rakyat kecil sampai kalangan elit marak terjadi praktik korupsi. Bisa dibilang korupsi sudah menjadi budaya yang sangat sulit diberantas. Seperti gratifikasi misalnya. Gratifikasi adalah praktik korupsi yang paling dekat dengan keseharian masyarakat, bahkan jarang disadari jika gratifikasi merupakan bagian dari tindak korupsi, sehingga praktik ini masih bisa ditemukan di berbagai sektor.
Jika dianalisis, setidaknya ada tiga penyebab menjamurnya tindak pidana korupsi. Pertama, asas sekulerisme sebagai landasan dari sistem demokrasi kapitalisme, telah menjauhkan peran agama dari semua aspek kehidupan. Sekulerisme membuat manusia jauh dari agama, mengerdilkan aturan agama dalam pemerintahan, serta mengikis akidah individu. Asas ini menjadikan individu berpeluang besar untuk melakukan dosa, yang termasuk korupsi di dalamnya, tanpa adanya rasa takut dan bersalah kepada Tuhannya. Akibatnya, tidak ada kontrol dalam dirinya dalam berperilaku. Tidak ada standar halal dan haram, yang ada kepentingan dan hawa nafsu saja.
Kedua, sistem politik demokrasi telah menjadikan politik berbiaya mahal. Untuk bisa mendapatkan jabatan tinggi, tidak sedikit modal yang dikeluarkan oleh mereka yang mengincar. Sehingga, ini menjadikan cukong kapitalis berani memberi modal untuk para calon. Walhasil ketika menjabat, bukan demi kepentingan rakyat mereka bekerja, melainkan untuk kepentingan sendiri dan para elit oligarki, sebagai upaya ‘balik modal’ dan balas jasa.
Ketiga, sanksi bagi para koruptor sama sekali tidak memberikan efek jera, bahkan hukumannya terkesan ringan dan tidak sebanding dengan kejahatan yang mereka perbuat untuk rakyat. Berdasarkan riset ICW, rata-rata koruptor hanya dihukum selama dua tahun oleh pengadilan. Belum lagi sel tahanan yang mewah seperti hotel. Sungguh sangat tidak adil.
Sungguh miris memang. Hidup di negara yang mengadopsi sistem demokrasi kapitalisme, membuat tindak pidana korupsi menjamur, bahkan hingga tidak disadari dilakukan. Jika masyarakat kecil saja bisa terjebak pada korupsi, apalagi para pejabat elit. Korupsi dalam pemerintahan memang sistemik, peluangnya sangat besar dan banyak orang tergiur untuk melakukannya. Hal ini membuat pemberantasan korupsi sangat mustahil dilakukan sekalipun ada lembaga yang menangani. Oleh karena itu, tidak cukup memberantas para pelakunya saja, melainkan harus ke akar-akarnya, yakni sistemnya demokrasi kapitalisme itu sendiri.
Dalam Islam, korupsi jelas perbuatan haram. Sehingga hukumannya pun mesti tegas, pemberantasannya pun harus serius. Negara ini tidak akan mampu memberantas korupsi selama demokrasi kapitalisme masih diterapkan. Maka dari itu, masyarakat Indonesia sudah seharusnya memperjuangkan sistem politik dan pemerintahan yang berasal dari wahyu Allah SWT., yaitu Islam kaffah. Individu dan negara yang berlandaskan akidah Islam akan menjadikan mereka bertakwa, senantiasa takut kepada Allah dalam berperilaku, serta menjalankan aturan Allah sesuai dengan tuntunan Quran dan Sunnah. Akidah Islam akan menjadikan seseorang sadar bahwa segala sesuatunya akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak. Oleh karena itu, seminimal mungkin ia akan memelihara dirinya dari dosa, termasuk dari berbuat korupsi dan tidak amanah. Begitu juga dengan pemerintah, mereka akan menerapkan dan menjalankan aturan Islam, serta tidak mengkhianati kepercayaan umat.
Selain itu, sanksi mengenai tindak pidana korupsi juga akan ditindak tegas oleh para qadhi (hakim) sesuai dengan tuntunan syariat, yaitu berupa ta’zir, yang kadar dan bentuknya sesuai dengan hasil ijtihad para qadhi atau khalifah. Seperti misalnya, penyitaan harta sebagaimana yang Khalifah Umar bin Khaththab ra. lakukan; ataupun diekspos (tasyhir), penjara, hingga hukuman mati jika itu menyebabkan dharar bagi umat dan negara.
Dengan demikian, pemberantasan korupsi tidak hanya berlaku bagi para koruptor saja, melainkan dari akarnya. Oleh karena itu, sudah saatnya penerapan Islam kaffah diberlakukan di semua aspek kehidupan.
Wallahu’alam bishowab.