| 301 Views
Pajak dalam Sistem Kapitalisme VS Pajak dalam Sistem Islam

Oleh : Siti Martiana
Pada peringatan Hari Pajak 14 Juli lalu, Menkeu Sri Mulyani mengatakan bahwa pajak merupakan tulang punggung dan instrumen penting bagi bangsa dan negara menjadi negara maju. (Kompas, 2024). Dengan bangga juga disampaikan bahwa penerimaan negara yang berasal dari pajak meningkat setiap masa.
Ia mengatakan, pada 1983, penerimaan pajak hanya sebesar Rp13 triliun. Kemudian merangkak naik pada masa reformasi (1999-2000) sebesar Rp400 triliun. Lalu hingga saat ini penerimaan pajak terus meningkat dan ditargetkan dapat menyentuh Rp1.988,9 triliun pada 2024. (Kompas, 2024).
Selama 22 tahun terakhir, realisasi penerimaan perpajakan menyumbang porsi terbesar penerimaan negara, yang selama 2000-2022 terus tumbuh. Pengecualian terjadi pada tahun 2009 dan tahun 2020 akibat krisis. Pada 2022, porsi penerimaan perpajakan mencapai 77,5%, melejit melebihi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang kontribusinya hanya 22,4%, kemudian hibah 0,1%. Kontribusi tertinggi penerimaan perpajakan selama 22 tahun terakhir terjadi pada tahun 2016, yaitu mencapai 82,6% (Datanesia, 2023).
Sri pun mengatakan,untuk membangun negara yang sejahtera dan adil di perlukan dukungan pajak yang baik.Pajak yang optimal,menurutnya merupakan modal terciptanya kesejahteraan. Inilah yang menjadikan dirjen pajak melakukan berbagai cara untuk menarik pajak dari rakyat.Mulai dari menaikkan hingga perluasan jenis barang yang dikenakan pajak.
Peningkatan penerimaan pajak yang dibanggakan ini sejatinya menunjukan peningkatan pungutan atas rakyat. Sudahlah penghasilan tidak menentu, rakyat masih harus dibebani pungutan pajak yang makin hari nominalnya makin besar, dan jenisnya makin banyak. Di antara contoh pajak yang baru-baru ini mengalami kenaikan signifikan adalah Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) .
Namun demikian, pemerintah tetap saja bersikukuh dengan alasan bahwa pungutan pajak adalah demi kemajuan bangsa. Kalimat “Orang bijak Taat Pajak menjadi slogan .agar terbentuk opini umum di tengah tengah masyarakat bahwa yang peduli akan nasib bangsa dan wujud kontribusi rakyat dengan membayar pajak.
Padahal pada saat yang sama mayoritas masyarakat kesusahan. Untuk memenuhi kebutuhan pokok yang harganya kian melambung. sebagai contohnya adalah kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), yaitu pajak yang dikenakan kepada perusahaan yang menjual produk atau jasa. Pelaku usaha/perusahaan membebankan PPN kepada konsumen dengan menaikan harga jual barangnya.
Sedangkan di sisi lain, rakyat merasa tidak mendapatkan apapun dengan taat membayar pajak.
Pada faktanya sebagian infrastruktur di bangun di perkotaan dan pusat ekonomi. Sebaliknya di daerah terpencil, jembatan reyot ,jalan rusak yang membahayakan nyawa tidak di perhatikan.
Masyarakat pun lebih sering disuguhi gambaran gaya hidup mewah para pejabat. Sementara itu, terus bermunculannya pejabat pajak yang tersandung korupsi seolah menjadi hal biasa. Belum lagi saat pemerintah menetapkan tax amnesty (pengampunan pajak) kepada orang-orang kaya dengan alasan optimalisasi pungutan pajak.
Pajak dalam Sistem Kapitalisme
Beban berat masyarakat dalam memenuhi pungutan pajak merupakan konsekwensi di terapkannya sistem ekonomi kapitalisme neoliberal, yang menjadikan pajak sebagai sumber utama dalam pendapatan negara. kebebasan berkepemilikan menjadi salah satu pilar kebebasan, ruang besar diberikan bagi mereka yang kuat modal untuk menguasai sumber-sumber ekonomi. Tanpa melihat sumber ekonomi tersebut menguasai hajat hidup orang banyak atau kah tidak. Sebagai timbal baliknya, negara memungut pajak dari penghasilan badan usaha ataupun orang pribadi agar bisa membiayai penyelenggaraan pemerintahan. Jumlah yang jauh lebih sedikit dibandingkan apabila sumber-sumber ekonomi tersebut dikelola langsung oleh negara sebagai kepemilikan umum. Inilah yang menyebabkan APBN selalu mengalami defisit dan harus ditambal dengan utang.
Walhasil, meskipun negeri ini dikenal kaya raya dan sumber dayanya melimpah ruah, tetapi penguasa tidak pernah mampu menyejahterakan rakyatnya. Ini karena seluruh SDA tersebut jadi rebutan pengusaha yang berkolaborasi dengan para penguasa. Pada saat yang sama, modal untuk menyejahterakan rakyatnya hanya bertumpu pada pajak dan utang yang ujung-ujungnya tetap saja membebani pundak rakyat, bahkan makin mencekik .
Pandangan Islam Tentang Pajak
Islam tidak menjadikan pajak sebagai sumber utama pemasukan negara. Pajak atau dharibah adalah pajak yang dipungut hanya kepada warga kaya laki-laki saja. Warga yang tidak memiliki kelebihan harta, yang dengan kata lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya saja pas-pasan, tidak akan ditarik pajak.
Selain itu, pungutan pajak bersifat temporer dan hanya diberlakukan jika baitulmal (kas negara) kosong. Artinya, jika kas baitulmal sudah terpenuhi, maka pungutan akan dihentikan. Penggunaan dana dari dharibah, misalnya untuk jihad, gaji tentara, maupun industri militer, yang itu semua sangat urgen dipenuhi.
Contoh lainnya adalah pembangunan infrastruktur seperti pembangunan jembatan atau jalan. Jika infrastruktur tersebut urgen untuk dibangun, sedangkan baitulmal kosong, maka negara akan memberlakukan pajak. Namun, jika pembangunan itu tidak urgen, misal sudah ada jembatan atau jalan alternatif, maka negara tidak akan memaksakan pembangunan tersebut. Dengan begitu, alokasi anggaran baitulmal benar-benar tepat sasaran dan menurut skala prioritas.
Dharibah atau pajak bagi negara Islam (Khilafah) bukanlah sumber pemasukan utama, bahkan negara akan sangat jarang menggunakan pajak sebagai sumber pemasukan utama,bahkan negara akan sangat jarang menggunakan pajak sebagai pendapatan baitulmal .penerimaan baitulmal yang begitu besar dan banyak berasal dari sumber selain pajak dan jika dioptimalkan, Jumlahnya akan sangat besar dan melimpah.
Dalam sistem Islam, sumber penerimaan negara yang masuk ke baitulmal (kas negara) diperoleh dari (1) fai (anfal, ganimah, khumus), (2) Jizyah, (3) Kharaj, (4) ‘Usyur, (5) harta milik umum yang dilindungi negara, (6) harta haram pejabat dan pegawai negara, (7) Khumus rikaz dan tambang, (8) harta orang yang tidak mempunyai ahli waris, dan (9) harta orang murtad.
Pajak yang diberlakukan dalam baitulmal sangat berbeda dengan sistem pajak hari ini, baik ditinjau dari aspek subjek pajak, objek pajak, maupun tata cara pemungutannya. Kalaupun ada kesamaan penggunaan istilah "pajak", ini semata karena sama-sama dipungut dari negara.
Adapun pajak dalam sistem Islam dikenal dengan istilah dharibah. Ia adalah jalan terakhir yang diambil apabila baitulmal benar-benar kosong dan sudah tidak mampu memenuhi kewajibannya. Dalam kondisi ini, pajak diberlakukan atas kaum muslim saja. Pengenaan pajak dilakukan dari sisa nafkah (setelah dikurangi kebutuhan hidup), dan harta orang-orang kaya, yaitu dari sisa pemenuhan kebutuhan primer dan sekundernya yang makruf.
Pajak dipungut berdasarkan kebutuhan baitulmal dalam memenuhi kewajibannya. Pajak tidak boleh dipungut melebihi kebutuhan sebagaimana mestinya. Apabila kebutuhan baitulmal sudah terpenuhi dan sudah mampu memenuhi kewajiban-kewajibannya dari sumber-sumber penerimaan rutin, pungutan pajak harus dihentikan. Pajak dalam Islam diterapkan secara temporal, bukan menjadi penerimaan rutin sebagaimana yang kita rasakan hari ini.
Dalam sistem ekonomi Islam, masih ada sumber penerimaan negara yang bisa diandalkan untuk pembiayaan pembangunan, yaitu bagian kepemilikan umum. Syekh An-Nabhani dan Abdul Qadim Zallum menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan kepemilikan umum itu adalah sebagai berikut.
Pertama, fasilitas/sarana umum yang jika tidak ada pada suatu negeri/komunitas akan menyebabkan banyak orang bersengketa untuk mencarinya, seperti air, padang rumput, dan jalan-jalan umum.
Kedua, barang tambang yang jumlahnya tidak terbatas (sangat besar), seperti tambang minyak dan gas bumi, emas dan logam mulia lainnya, timah, besi, uranium, batu bara, dan lain-lainnya.
Ketiga, sumber daya alam yang sifat pembentukannya menghalangi untuk dimiliki individu, seperti laut, sungai, dan danau.
Sumber penerimaan dari kepemilikan umum inilah yang berpotensi besar memberikan pendapatan terbesar bagi negara. Negara mengelola kepemilikan ini secara mandiri. Menjadikan pajak sebagai salah satu sumber pemasukan negara hanya akan memperburuk kondisi ekonomi negara. Berpotensi pula terhadap peningkatan angka kemiskinan.
Oleh karena itu, sudah saatnya negeri ini berbenah secara sistemis. Dengan penerapan sistem Islam secara kafah, kebijakan negara akan mengacu pada hukum-hukum syariat sehingga negara tidak akan bingung mencari sumber pendapatan negara. Negara juga tidak akan mudah menjerat rakyat dengan pajak. Wallahualam.