| 81 Views
Mencetak Generasi Berkualitas dengan Pendidikan Aqidah Islam

Oleh: Essy Rosaline Suhendi
Aktivis Muslimah Karawang
Kasus perundungan tak kunjung usai, seorang siswa SMP mengalami kekerasan fisik dari sejumlah pelaku karena korban menolak untuk meminum tuak. Pelaku tersebut berusia 12 dan 13 tahun, juga ada satu orang pelaku dewasa berumur 20 tahun warga Kampung Sadang Sukaasih, Desa Bumiwangi, Kecamatan Ciparay, Kabupaten Bandung (www.cnnindonesia.com, 26/06/25).
Kasus perundungan tidak lah jarang terjadi dan malahan semakin mengkhawatirkan. Korban yang mendapati perundungan bukan hanya mengalami kekerasan verbal tapi seringkali juga diserang secara fisik yang terkadang juga membuat nyawa melayang.
Rata-rata para pelaku perundungan ini bisa terbebas dari hukum hanya karena usia mereka berstatus pelajar dan bahkan diantaranya baru usia prabaligh. Bukan kah nampak mengerikan, jika generasi yang saat ini hadir adalah para penerus bangsa yang tidak segan melakukan perbuatan tercela seperti perundungan, bahkan berawal dari perundungan dampaknya bisa sampai fatal karena mengarah pada tindakan kejahatan.
Walaupun memang, pemerintah telah menerapkan aturan dalam undang-undang juga pasal terkait kasus perundungan dan membuat berbagai macam program, semisal kota layak anak, Revolusi Mental, pendidikan karakter, sekolah ramah anak, hingga kurikulum merdeka, demi tercapainya tujuan melindungi anak dari kekerasan. Pada akhirnya, semua upaya seakan sia-sia sebab sistem sanksi yang lemah nyatanya membuat kasus perundungan semakin merajalela.
Jika mau dikuliti, kasus perundungan memiliki berbagai faktor penyebab. Diantaranya; sistem sekularisme yang saat ini diterapkan. Sistem sekularisme adalah sistem yang memisahkan agama dengan kehidupan. Sistem ini melahirkan manusia yang tidak tahu tujuan hidupnya di dunia untuk apa karena sistem ini menjauhkan agama dari kehidupan, agama hanya dipakai ketika melakukan ibadah ritual, sedangkan dalam urusan lain semisal dalam berperilaku dan berbicara, manusia diberikan kebebasan untuk boleh melakukan apa saja.
Sebagaimana dalam sistem demokrasi yang terlahir dari sekularisme. Sistem demokrasi sangat menjunjung tinggi HAM, menihilkan nilai agama juga memberi ruang kebebasan berpendapat, berbicara, berprilaku dan beragama. Wajarlah, jika sebagian besar pelajar saat ini jauh sekali dari memiliki akhlak mulia dan faham agama.
Diperparah, dengan kondisi pola asuh orang tua yang terbius sistem sekularisme. Orang tua disibukan untuk memenuhi tanggung jawab menghidupi anak secara fisik sehingga orang tua hanya memikirkan urusan duniawi. Namun, lalai terhadap hak anak dalam mengayomi anak agar kenal dan cinta kepada Allah Swt dan Rasul Nya, juga mengikuti perintah dan menjauhi larangan Nya.
Seringkali orang tua pun malah menyerahkan pendidikan anak kepada fasilitator seperti sekolah. Padahal, tokoh utama pendidikan adalah orang tua. Ayah sebagai qowam tidak hanya cukup memberi nafkah namun juga wajib memastikan dan mendidik istri serta anak-anaknya mendapatkan pemahaman agama yang menyeluruh. Sedangkan posisi istri adalah pengatur rumah tangga dan madrasah pertama bagi anak-anaknya, maka bisa dibayangkan, jika pasangan suami isteri juga tidak memiliki tujuan hidup yang jelas dan benar. Maka keluarga yang terbangun bisa menjadi petaka ditengah-tengah masyarakat. Contohnya banyak kasus kriminal terjadi seperti pembunuhan sesama anggota keluarga atau inses.
Belum lagi, lingkungan sekolah dan masyarakat turut terombang-ambing dalam sistem rusak. Pandangan norma masyarakat yang kini mulai bergeser karena justru malah menormalisasi tindakan tercela seperti boleh pacaran sebelum menikah dan arah pendidikan disetiap sekolah pun semakin kacau, karena sekolah malah fokus melahirkan para pelajar yang siap kerja dan fokus mencetak nilai akademis tinggi walau akhlak dan adab minim. Akhirnya terlahirlah lingkungan masyarakat yang hedon, individualis, egois, apatis, dampaknya akan menciptakan manusia yang cinta pada dunia, kurang memiliki kepekaan sosial dan empati pada sesama.
Semakin diperburuk pula, dengan lemahnya hukum yang diterapkan oleh negara, akibat ketidakjelasan istilah anak dalam UU yang mengatur tindak kekerasan dan kriminalitas pada anak. Hukum sekuler memandang, bahwa anak atau anak di bawah umur adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Hal tersebut dijadikan alasan bagi orang tua untuk menyelamatkan anaknya menjadi kebal hukum, dampaknya anak tidak bertanggung jawab atas tindakan kriminalnya walaupun ia sudah akil baligh setingkat SMP atau SMA dan anak pun tak kunjung dewasa karena masih dianggap anak-anak. Selain itu kurikulum yang diterapkan negara dalam setiap sekolah negeri dan swasta justru condong dari menjauhkan anak untuk memiliki visi dan misi pembentukan kepribadian mulia.
Ditambah, negara yang seakan merestui tontonan, konten, media yang memuat pornoaksi, pornografi, kekerasan juga nilai budaya sekuler bebas bergentayangan, semakin memperburuk kepribadian anak. Anak bebas mengakses tanpa saringan yang kuat dan pengawasan ketat dari negara.
Oleh karenanya, dibutuhkan penyelesaian yang mengakar untuk menghentikan kasus perundungan dan kekerasan anak. Negara membutuhkan sebuah sistem kehidupan sempurna untuk mengatur semua aspek kehidupan, sistem kehidupan tersebut hanyalah sistem Islam.
Islam adalah agama sekaligus sistem kehidupan manusia yang mencakup aturan berlandaskan syariat Islam Kaffah. Setiap aturan yang tercipta berlandaskan pada akidah yang bersumber dari Al-Qur'an dan AS Sunnah. Tentulah sebagai seorang muslim sudah saling tahu, bahwa Al Qur'an dan Sunnah adalah petunjuk hidup manusia yang bisa menyelamatkan dari kehidupan dunia dan akhirat.
Islam adalah agama yang memuliakan manusia, memerintahkan manusia supaya senantiasa menjaga lisan dan perbuatan dari tindakan semena-mena, maka Islam melarang perundungan. Allah SWT berfirman dalam surah Al-Hujurat ayat 11 yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik daripada mereka (yang mengolok-olok). Dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olok) perempuan lain (karena) boleh jadi perempuan (yang diolok-olokkan) lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela satu sama lain dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman. Dan barang siapa tidak bertobat, mereka itulah orang-orang yang zalim.”
Islam juga menetapkan bagi setiap mukalaf (sudah baligh) untuk terikat pada hukum syara. Maka, ketika ada seorang mukalaf yang melakukan kemaksiatan atau tidak kejahatan, negara dalam Islam akan memberikan sanksi tegas dan adil yang ditetapkan oleh qadhi/hakim negara sesuai dengan jenis kejahatannya.
Negara akan menerapkan sistem pendidikan Islam yang berlandaskan akidah Islam. Pendidikan Islam memiliki tujuan mulai yaitu membentuk pelajar berkepribadian Islam yang memiliki pola sikap dan pola pikir Islam. Sistem pendidikan Islam dapat berjalan jika negara menerapkan sistem politik ekonomi Islam supaya supaya negara dapat dengan mudah memberikan fasilitas dan sarana untuk menunjang kegiatan belajar dan mengajar di sekolah.
Masyarakat pun akan didorong oleh negara supaya melakukan aktifitas amar makruf nahi mungkar dan hanya melakukan kegiatan yang bermanfaat. Negara pun ikut mengkondisikan supaya keluarga juga berperan dalam menanamkan pemahaman akidah Islam sejak dini pada anak.
Oleh karena itu, negara akan memastikan bahwa semua kepala keluarga mampu memberi nafkah dan mendidik anak juga istrinya dengan pemahaman Islam. Sedangkan posisi seorang ibu, akan fokus mendidik dan mengurus rumah juga suaminya, jikapun ada seorang ibu pekerja, perempuan tersebut hanya boleh bekerja di ranah publik, seperti menjadi guru, kepala sekolah, dokter, perawat, tenaga kesehatan, dan sebagainya. Meskipun Islam menghukumi boleh seorang perempuan bekerja, namun kewajiban utamanya sebagai seorang istri atau ibu tidak boleh dilalaikan.
Bukan hanya itu, negara memiliki kuasa untuk menutup akses segala macam tontonan, konten, media yang menyesatkan, menyimpang, menjauhkan manusia dari keta'atan atau apapun yang merusak pola pikir dan sikap manusia. Sehingga manusia akan terjaga fitrahnya dan cenderung sibuk dalam kebaikan.
Begitulah negara yang dibangun diatas sistem Islam. Islam mampu menjadi solusi atas setiap problematika manusia, termasuk perundungan. Perundungan lebih mudah diberantas jika diselesaikan secara sistemik melalui perubahan mendasar yaitu mengganti sistem sekularisme yang jelas merusak dengan sistem Islam yang terbukti mampu menyelamatkan manusia dari kegelapan menuju cahaya dan berhasil mencetak generasi berkualitas yang hidup di masa kekhalifahan Islam seperti Imam Syafi'i , Ibnu Sina, Fatimah Al Fihri.
Wallahu'alam bishowab