| 244 Views
Marak Kekerasan Pada Anak, Butuh Jaminan Perlindungan

Oleh : Wahyuni Mulya
Aliansi Penulis Rindu Islam
Polisi mengklaim tersangka dalam kasus pencabulan siswi sekolah dasar (SD) berusia 13 tahun di Baubau, Buton, Sulawesi Tenggara (Sultra) yang dilakukan 26 orang rata-rata anak di bawah umur alias masih berstatus pelajar. Sejauh ini polisi sudah memeriksa 17 saksi terkait kasus pencabulan yang diduga dilakukan puluhan orang pada bulan April lalu. Korban dicabuli oleh 26 orang pria dilakukan sebanyak tujuh kali sejak April dan baru dilaporkan pada bulan Mei 2024.
Sementara di Sumatera Barat, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang membeberkan dugaan kasus penganiayaan AM (13) oleh oknum polisi hingga tewas di Kuranji. Diduga akan melakukan tawuran, AM dan korban lainnya ditangkap dan diinterogasi oleh oknum kepolisian. Selama proses interogasi AM dan korban lainnya dianiaya dengan ditendang di bagian muka, disetrum, hingga diperintahkan jongkok berguling sampai muntah. Setelahnya, korban AM ditemukan meninggal dengan kondisi luka lebam di bagian pinggang sebelah kiri, luka lebam di bagian punggung, luka lebam di bagian pergelangan tangan dan siku, pipi kiri membiru, dan luka yang mengeluarkan darah di kepala bagian belakang dekat telinga. Orang tua korban diberitahukan bahwa AM meninggal akibat tulang rusuk patah 6 buah dan robek di paru-paru.
Kasus kekerasan pada anak semakin hari kian marak terjadi. Berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA), kekerasan terhadap anak yang terjadi di rumah sebanyak 2.132 kasus, fasilitas umum 484 kasus dan sekolah 463 kasus. Kemudian pelaku terbanyak merupakan teman atau pacar yakni 809 pelaku, 702 orang tua, keluarga atau saudara 285 orang, hingga guru 182 pelaku.
Sasaran Kekerasan
Anak menjadi korban kekerasan di lingkungan masyarakat, sekolah, bahkan keluarga. Pelakunya bisa orang dewasa termasuk orang tua dan guru, teman sebaya, bahkan aparat. Sistem pendidikan yang berlandaskan sekularisme gagal melahirkan individu yang berakhlak mulia. Negara sejatinya menjadi sumber kekerasan sebenarnya, karena menerapkan aturan yang memberi celah lebar bagi terjadinya kekerasan terhadap anak. Bahkan sistem sanksi pun tak mampu mencegahnya
Semua realitas anak pada era sekuler kapitalisme saat ini jelas menunjukkan bahwa mereka tidak mendapatkan iklim kehidupan yang kondusif untuk menjadi para calon generasi terbaik. Ini tentu saja menyelisihi fitrah penciptaan bahwa Allah Taala telah menciptakan manusia dalam rangka mengisi peradaban terbaik pula, berikut seperangkat karakter mereka yang akan mengisi peradaban tersebut.
Solusi yang Menjadi Ilusi
Tindak kasus yang melibatkan remaja sering tidak tersentuh hukum. Perangkat hukum yang ada belum memberikan efek jera. Regulasi seperti UU Perlindungan Anak, faktanya belum mampu mengurangi jumlah kasus kekerasan pada anak yang terus meningkat. Artinya, negara lemah dalam menjamin dan melindungi anak dari kekerasan. Sekalipun di tiap kota atau kabupaten telah diterapkan kota atau sekolah ramah anak, jika sistem sekuler masih bernaung, dampak positifnya tidak akan terlihat.
Begitu pula dengan program edukasi anti kekerasan atau sejenisnya, juga tidak akan mampu mencegah kekerasan pada anak ketika paradigma sekuler masih mengakar dalam kehidupan hari ini. Sekularisme membuat orang tua lengah memberikan konsep keimanan dan ketaatan pada Allah Taala. Sekularisme membuat aktivitas amar makruf nahi mungkar hilang dalam kehidupan masyarakat. Sekularisme juga membuat peran negara sangat minimalis dalam melindungi anak dari berbagai kejahatan dan kekerasan.
Perhatian Negara Pada Seluruh Warganya
Perlindungan dalam Islam meliputi aspek fisik, psikis, intelektual, moral, ekonomi, dan seterusnya. Hal ini dijabarkan dengan memenuhi semua hak warga, seperti menjamin kebutuhan sandang dan pangan, menjaga nama baik dan martabat, menjaga kesehatan, memilihkan teman bergaul yang baik, menghindarkan dari kekerasan, dan lain-lain.
Dalam Islam, terdapat tiga pihak yang berkewajiban menjaga dan menjamin kebutuhan anak-anak. Pertama, keluarga sebagai madrasah utama dan pertama. Ayah dan ibu harus bersinergi mendidik, mengasuh, mencukupi gizi anak, dan menjaga mereka dengan basis keimanan dan ketakwaan kepada Allah Taala.
Kedua, lingkungan. Dalam hal ini masyarakat berperan dalam menciptakan lingkungan yang kondusif bagi tumbuh kembang anak. Masyarakat adalah pengontrol perilaku anak dari kejahatan dan kemaksiatan. Dengan penerapan sistem sosial Islam, masyarakat akan terbiasa melakukan amar makruf nahi mungkar kepada siapa pun. Budaya amar makruf inilah yang tidak ada dalam sistem sekuler kapitalisme.
Ketiga, negara sebagai peran kunci mewujudkan sistem pendidikan, sosial, dan keamanan dalam melindungi generasi. Dalam hal ini, fungsi negara adalah memberikan pemenuhan kebutuhan berupa sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan setiap anak. Negara juga menerapkan sistem sanksi Islam. Sepanjang hukum Islam ditegakkan, kriminalitas jarang terjadi. Ini karena sanksi Islam memberi efek jera bagi pelaku sehingga tidak akan ada cerita kasus kejahatan atau kekerasan berulang terjadi.
Anak adalah amanah dan titipan dari Allah Taala. Sudah semestinya kita semua mendidik dan mengasuh mereka sesuai kehendak yang menitipkan, yakni mendidik anak agar memiliki ketaatan serta kepribadian yang sesuai dengan syariat Islam. Tiga pilar pelindung generasi, yaitu keluarga, masyarakat, dan negara, tidak akan berjalan optimal tanpa penerapan syariat Islam secara kafah.