| 12 Views

Manipulasi Stok Beras, Kapitalisme Biang Kegaduhan Pangan

Oleh : Al Juju

Potensi produksi beras pada 2025 memang berlimpah. Negara lain dan lembaga internasonal pun mengakuinya. Janji pemerintah tak mengimpor beras juga sudah pasti terpenuhi. Mimpi tahunan memiliki cadangan beras yang kuat juga sudah pasti terealisasi.

Namun, jangan keburu tersenyum bangga. Kenaikan harga beras masih belum mereda. Perum Bulog masih memiliki problem ”kegemukan” stok beras. Krisis mutu beras di pasar juga telah mengemuka. Bahkan, di balik berbagai problem itu, mencuat oligopoli pasar beras.

Harga beras masih tinggi di berbagai daerah. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan bahwa harga beras masih naik di 214 kabupaten/kota pada Agustus 2025. Data harga beras medium maupun premium pada laman panel harga milik Badan Pangan Nasional (Bapanas) pada Ahad, 7 September 2025 di Zona 1, 2, dan 3 masih berada di atas Harga Eceran Tertinggi (HET).

Harga beras makin tinggi. Biaya hidup makin susah dijangkau karena serba mahal akibat cengkeraman kuat kapitalis sekuler yang mengimpit rakyat di segala sektor. Ironis, negeri dengan SDA yang kaya raya,tetapi rakyatnya jelata.

Anomali harga pangan yang tinggi di tengah stok melimpah bukan hanya terjadi kali ini saja. Kasus ini terus berulang karena penyelesaiannya tidak menyentuh akar persoalan. Buruknya tata niaga perberasan di tanah air tidak bisa dilepaskan dari tata kelolanya yang kapitalistik.

Karut-marut tersebut berpangkal dari paradigma tata kelola yang keliru. Sistem pangan dan pertanian di negeri ini lahir dari sekularisme kapitalisme yang telah mengaburkan, bahkan meniadakan visi politik pangan. Pangan tidak lagi dikelola untuk menyejahterakan rakyat dan menjamin kedaulatan, tapi sebaliknya dilepaskan dari tanggung jawab negara.

Negara hanya berperan sebagai regulator dan fasilitator, serta pelayan korporasi, bukan pengurus rakyat. Akibatnya, mulai dari produksi, distribusi, hingga konsumsi, semua dikendalikan korporasi swasta. Aturan pun dibuat sesuai kepentingan mereka untuk meraih keuntungan materi.

Paradigma kapitalistik inilah yang melahirkan krisis berulang. Pangan tidak lagi dikelola untuk menyejahterakan rakyat, melainkan dilepaskan kepada mekanisme pasar demi keuntungan. Akibatnya, petani, pengusaha kecil, hingga masyarakat luas hidup dalam kesulitan.

Di dalam sistem Islam (Khilafah), negara berperan sebagai pengurus rakyat (raa’in) yang bertanggung jawab terhadap rakyat. Rasulullah saw. bersabda,

فَالْإِمَامُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

“Penguasa yang memimpin rakyat banyak akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR Bukhari).

Beras merupakan bahan pangan pokok sehingga termasuk kebutuhan pokok manusia. Penguasa dalam sistem Islam (khalifah) akan menjalankan seluruh aturan Islam sebagaimana perintah Allah Swt.. Selain itu, Islam menjamin terwujudnya penguasa yang amanah dan bertakwa melalui sistem pendidikan sehingga setiap kebijakannya berorientasi pada terwujudnya kemaslahatan rakyat.

Negara Islam (Khilafah) akan memegang kendali atas distribusi kebutuhan pokok rakyat, termasuk beras. Khilafah wajib menjamin pemenuhan beras bagi tiap-tiap individu rakyat, baik yang kaya maupun miskin, muslim maupun nonmuslim. Negara akan memastikan produksi dan distribusi beras berjalan dengan efektif sehingga mampu menyediakan beras dalam jumlah cukup dan mudah dijangkau oleh rakyat, baik dari sisi lokasi distribusi maupun harga yang murah.

Khilafah akan menghitung kebutuhan beras dalam negeri berdasarkan jumlah penduduk dan rata-rata kebutuhan mereka. Khilafah akan memastikan produksi beras mencukupi kebutuhan dalam negeri dan mempersiapkan stok yang mencukupi untuk kondisi darurat. Khilafah akan mendukung dan memfasilitasi petani untuk meningkatkan produksi beras.

Khilafah akan memberikan kemudahan akses terhadap benih, pupuk, pestisida (untuk digunakan dalam jumlah yang aman), dan semua sarana produksi pertanian (alat, mesin, dll.). Negara juga memberikan subsidi sehingga berbagai sarana tersebut bisa diperoleh dengan harga terjangkau.

Negara harus mengambil peran besar dalam distribusi beras, yaitu dengan membeli gabah petani dan menyalurkan beras ke pasar-pasar hingga terwujud kecukupan pasokan. Dengan menguasai distribusi, negara juga akan mudah menyediakan pasokan jika tiba-tiba ada paceklik, bencana alam, dll. yang mengganggu rantai pasokan di sebuah wilayah. Negara tinggal mengirim pasokan dari wilayah lain dan kendala pasokan mudah diatasi.

Negara akan menyediakan sarana dan prasarana dalam mendukung proses pendistribusian beras dengan infrastruktur publik yang memadai. Hal ini dilakukan agar akses pangan menjangkau seluruh wilayah, terutama wilayah terpencil yang mengalami keterbatasan pasokan pangan. Terhambatnya aksesibilitas masyarakat terhadap pangan akan memicu kenaikan harga dan mengurangi daya beli masyarakat. Oleh karenanya, negara akan memperhatikan akses pangan ke daerah terpencil dan terluar dengan mekanisme penyaluran yang lancar hingga sampai di tangan konsumen dengan mudah.

Negara juga akan mengoptimalkan fungsi lembaga pengawasan serta penegakan hukum yang tegas bagi para pelanggar. Dalam kitab Ajhizah ad-Dawlah al-Khilâfah hlm.197, struktur khusus yang mengawasi berjalannya pasar secara sehat ialah kadi hisbah. Tugasnya adalah melakukan pengawasan dan berwenang memberikan putusan dalam berbagai penyimpangan secara langsung begitu ia mengetahuinya, di tempat mana pun tanpa memerlukan adanya sidang pengadilan.

Negara Khilafah akan memastikan agar rakyat dapat memenuhi kebutuhan pangannya, bantuan pangan tepat sasaran, distribusi adil dan merata, serta teknis administratif yang mudah dan tidak memberatkan. Semua itu dapat terwujud dengan diterapkannya sistem Islam secara kafah dalam mengelola pangan, baik dari rantai produksi, distribusi, maupun konsumsi.


Share this article via

6 Shares

0 Comment