| 246 Views

Makna Toleransi dalam Islam

Oleh : Diana Nofalia, S.P. 
Aktivis Muslimah

Pemkot Surabaya memastikan kesiapan menyambut perayaan Natal dan Tahun Baru (Nataru) 2024/2025, dengan fokus utama pada pengamanan tempat ibadah dan menjaga kerukunan umat beragama. Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi menegaskan pentingnya kerja sama semua pihak untuk memastikan keamanan dan kenyamanan warga, terutama umat Kristiani yang merayakan Natal. (https://www.jawapos.com/surabaya-raya/015419930/jelang-momen-nataru-20242025-wali-kota-eri-cahyadi-ajak-warga-surabaya-perkuat-toleransi-beragama)

Seruan senada juga disampaikan oleh Menteri Agama Republik Indonesia, Nasaruddin Umar, mengajak seluruh masyarakat untuk terus menjaga keharmonisan antarumat beragama menjelang perayaan Natal dan Tahun Baru 2024/2025. Ia juga menekankan pentingnya saling mendukung dan menghormati dalam merayakan hari besar keagamaan masing-masing. (https://radarsampit.jawapos.com/nasional/2345425544/jaga-keharmonisan-bangsa-perkuat-toleransi-sambut-natal-dan-tahun-baru)

Pada rabu 1 1/12/2024. Perayaan yang bertema "Marilah Sekarang Kita Pergi ke Betlehem" (Lukas 2:15) di GBI MHCC Abadi, Paal Merah, Kota Jambi. Acara yang dihadiri berbagai tokoh agama, Wali Kota Jambi terpilih periode 2024-2025 Dr. dr. Maulana MKM, masyarakat, dan jemaat gereja tersebut dipenuhi dengan pesan-pesan damai dan persatuan. Tema Natal tahun ini mengajak umat Kristiani untuk merenungkan kembali inti kelahiran Yesus, yang membawa harapan baru bagi umat manusia.

Dr. Maulana mengungkapkan pentingnya semangat Natal untuk mempererat keharmonisan dalam masyarakat, dan menjaga toleransi dan kerukunan antar umat beragama. (https://www.rri.co.id/jambi/nataru/1186349/semangat-natal-serukan-toleransi-dan-kerukunan)

Tidak ada yang salah dengan seruan toleransi, khususnya terhadap umat Islam, jika seruan toleransi tersebut tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Tapi, jika makna toleransi diarahkan kepada pluralisme agama, menyamakan semua agama dan menganggapnya semua agama benar. Ini jelas berbahaya dan bertentangan dengan keyakinan seorang muslim. Tidak ada agama yang Allah ridai dan tidak ada agama yang benar di sisi Allah, kecuali Islam. Artinya, tidak mungkin ada kemaslahatan di dunia dan keselamatan di akhirat, kecuali dengan Islam.

Dijadikannya HAM sebagai pijakan dan ditambah masifnya kampanye moderasi beragama, membuat umat makin jauh dari pemahaman yang lurus terkait toleransi. Hal ini bisa saja terjadi karena tidak adanya pemahaman akan tugas penguasa dan pejabat negara dalam menjaga urusan umat termasuk dalam penjagaan negara atas akidah umat.

Umat Islam harus paham bahwa kebebasan menganut agama sesuai keyakinan bukan berarti kebebasan mengacak-acak ajaran agama dan membiarkan syariat Islam seenaknya dilecehkan dan diganti sesuai kehendak hawa nafsu.

Pada akhir tahun ini umat perlu waspada dan menjaga diri agar tetap dalam ketaatan pada Allah Swt. Umat membutuhkan pengingat karena adanya kecenderungan masyarakat makin longgar.
Benar adanya bahwa masyarakat negeri ini adalah masyarakat yang majemuk. Dalam hal ini ini diharuskan untuk saling menghormati dan menjalin kerukunan satu sama lain. Hanya saja, sebagai muslim, tentu yang harus dijadikan standar adalah syariat Islam, bukan akal manusia dalam menjalankan prinsip toleransi ini.

Bicara toleransi, umat Islam sudah sangat jelas juga mengajarkan hal ini. Seperti yang dicontohkan baginda Rasulullah dalam aktivitas dengan nonmuslim, Rasulullah saw. pernah menjenguk orang Yahudi yang sedang sakit, melakukan transaksi jual beli, menghargai tetangga nonmuslim, dan sebagainya. Daulah Islamiah pertama di Madinah yang Rasul saw. pimpin menunjukkan kecemerlangannya dalam mengelola kemajemukan.

Umat Islam, Nasrani, dan Yahudi hidup berdampingan satu sama lain. Meski mereka hidup dalam naungan pemerintahan Islam, masyarakat nonmuslim mendapatkan hak-hak yang sama sebagai warga negara, memperoleh jaminan keamanan, juga bebas melakukan peribadatan sesuai keyakinannya masing-masing.

Jejak peradaban Islam tentang perlakuan adil Khilafah terhadap nonmuslim bukan sekadar konsep, tetapi benar-benar diaplikasikan. Bukan juga berdasar pada tuntutan toleransi ala Barat, melainkan karena menjalankan syariat Islam.

Toleransi dalam pandangan Islam tentu tidak bisa disamakan dengan toleransi ala barat. Dalam menjalankan toleransi Islam memiliki batasan-batasan ketentuan-ketentuan tersebut antara lain sebagai berikut.

Pertama, Islam tidak akan pernah mengakui kebenaran agama dan keyakinan selain Islam. Seluruh keyakinan dan agama selain Islam adalah kekufuran. Kapitalisme, demokrasi, pluralisme, sekularisme, liberalisme, dan segala sesuatu yang lahir dari paham-paham tersebut adalah kufur.

Agama selain Islam semuanya kufur karena agama yang Allah ridai hanyalah Islam. Siapa pun yang meyakini agama atau paham tersebut, baik sebagian maupun keseluruhan, adalah kafir. Ini berdasarkan firman Allah dalam QS Ali Imran ayat 19 bahwa ad-diin (agama) yang diterima di sisi Allah hanyalah Islam.

Kedua, tidak ada toleransi dalam perkara-perkara yang telah ditetapkan oleh dalil-dalil qath’i, baik menyangkut masalah akidah maupun hukum syariat. Dalam perkara akidah, Islam tidak pernah menoleransi keyakinan yang bertentangan dengan akidah Islam, seperti ateisme, politeisme, keyakinan bahwa Al-Qur’an tidak lengkap, keyakinan adanya nabi dan rasul setelah wafatnya Nabi saw., pengingkaran terhadap Hari Akhir, dan lain-lain.

Berkaitan dengan syariat, Islam tidak menoleransi orang yang menolak kewajiban salat, zakat, puasa, keharaman zina, pergaulan bebas, membunuh tanpa hak dan kewajiban, serta larangan yang telah ditetapkan berdasarkan dalil qath’i.

Ketiga, Islam tidak melarang kaum muslim berinteraksi dengan kaum nonmuslim dalam perkara-perkara mubah, seperti jual beli, kerja sama bisnis, dan sebagainya. Larangan berinteraksi dengan nonmuslim terbatas pada perkara yang dilarang syariat, seperti menikahi wanita musyrik, menikahkan muslimah dengan nonmuslim, dan sebagainya. Ketentuan ini tidak bisa diubah dengan alasan toleransi.

Keempat, adanya ketentuan sebelumnya tidak menafikan kewajiban kaum muslim untuk berdakwah dan berjihad melawan orang-orang kafir di mana pun mereka berada dan ini harus sejalan dengan syariat. Nonmuslim yang hidup di Negara Islam dan tunduk pada kekuasaan Islam, dalam batas-batas tertentu diperlakukan sebagaimana kaum muslim. Hak dan kewajiban mereka sebagai warga Daulah Islamiah sama dengan kaum muslim. Harta dan jiwa mereka dilindungi.

Adapun terhadap kafir harbi, hubungan dengan mereka adalah hubungan perang. Seorang muslim dilarang berinteraksi dalam bentuk apa pun dengan kafir harbi fi’lan, yaitu orang kafir atau warga negara kafir yang sedang berperang secara riil dengan Negara Islam atau kaum muslim.

Islam telah mengajarkan dan memperagakan toleransi dengan begitu indah sejak masa Rasulullah. Umat Islam terdahulu sudah mempraktikkannya dengan baik selama kurang lebih 13 abad, hingga kaum muslim maupun nonmuslim hidup sejahtera di bawah naungan Islam.

Dengan penerapan Islam secara sempurna oleh Negara Islam, cahaya Islam menerangi seluruh dunia. Wajar jika kemudian nonmuslim berbondong-bondong memeluk Islam atau meminta perlindungan dari kekuasaan Islam. Islam telah memberikan tuntunan dalam menghargai dan menghormati pemeluk agama lain, yakni dengan membiarkan mereka menjalankan ibadahnya sesuai dengan keyakinannya. Sabda Rasulullah saw., “Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.” (QS Al-Kaafirun ayat 6).

Dari pemaparan makna toleransi diatas, sudah sangat jelas Islam memiliki pemahaman yang terang tentang toleransi sehingga seharusnya umat Islam tidak tergelincir kepada toleransi yang didasari oleh pemikiran diluar ajaran Islam. Sudah seharusnya umat Islam memahami dengan benar makna toleransi dalam pandangan Islam. Pemahaman inilah yang kemudian dijadikan perisai untuk selalu waspada terhadap orang-orang yang berupaya memanfaatkan jargon toleransi, padahal merusak makna toleransi yang sebenarnya.

Wallahualam bissawab.


Share this article via

48 Shares

0 Comment