| 215 Views

Makan Gratis - Kapitalis Meringis, Konsep Kesejahteraan Semu

Oleh : Verry Verani

Anggaran Program Makan Bergizi Gratis tetap berada di angka Rp 71 triliun meski alokasi per porsinya turun dari Rp 15 ribu menjadi Rp 10 ribu per porsi. Penurunan nilai tiap porsi ini diungkapkan Presiden Prabowo Subianto. "Anggaran (Program) Makan Bergizi Gratis untuk tahun 2025 tetap 71 triliun," kata Kantor Komunikasi Kepresidenan (Presidential Communication Office/PCO) Hasan Nasbi, dilansir dari detikFinance,  (2/12/2024)

Prabowo mengungkapkan per porsi Program Makan Bergizi Gratis akan ditetapkan sebesar Rp 10 ribu. Awalnya dia ingin Rp 15.000 per porsi, tetapi anggarannya ternyata tidak mencukupi.

Dibalik Alasan Keterbatasan Anggaran

Alasan keterbatasan anggaran yang digunakan pemerintah untuk menurunkan subsidi program Makanan Bergizi Gratis (MBG) patut dipertanyakan. Jika dilihat lebih dalam, masalah ini bukan sekadar soal teknis keuangan, melainkan menunjukkan adanya kegagalan dalam pengelolaan prioritas dan sumber daya negara.

Sepertinya pemerintahan prabowo bimbang niatan mensubsidi program MBG,   beberapa analisa terkait alasan tersebut diantaranya :

- Ketimpangan Prioritas Anggaran
Pengurangan anggaran MBG mencerminkan ketidak-seimbangan dalam menentukan prioritas pembangunan. Di satu sisi, rakyat diminta untuk menerima "keterbatasan anggaran," tetapi di sisi lain, pemerintah tetap melaksanakan proyek-proyek besar yang manfaatnya tidak langsung dirasakan oleh masyarakat luas.  Seperti, pembangunan infrastruktur yang megah atau pengeluaran untuk kepentingan politik yang tidak mendesak. Padahal, anggaran untuk program seperti MBG yang langsung berdampak pada kehidupan masyarakat seharusnya menjadi prioritas utama.

- Hasil Pengelolaan Sumber Daya Alam Timpang

Indonesia memiliki sumber daya alam (SDA) yang melimpah, dari tambang emas hingga minyak bumi. Jika kekayaan ini dikelola dengan baik, negara seharusnya mampu mencukupi kebutuhan anggaran untuk program-program esensial seperti MBG. Namun, kenyataannya, banyak SDA dikuasai oleh korporasi asing atau swasta, sementara pendapatan negara dari sektor ini sering tidak cukup untuk mendukung kesejahteraan rakyat. Hal ini menunjukkan bahwa akar masalah bukanlah kekurangan sumber daya, melainkan ketimpangan hasil pengelolaan dan keadilan distribusi pada rakyat.

- Karakter Sistem Kapitalis yang Tidak Berpihak pada Rakyat

Alasan keterbatasan anggaran juga mengungkapkan kerusakan sistem kapitalis yang menjadi dasar pengelolaan negara saat ini. Sistem ini sering kali hanya menguntungkan segelintir elit dan korporasi besar, sementara kebutuhan dasar rakyat dikesampingkan. Dalam sistem ini, pemerintah cenderung bergantung pada pajak rakyat sebagai sumber utama pemasukan negara, tanpa memaksimalkan potensi SDA yang dimiliki untuk kesejahteraan rakyat.

Model Kesejahteraan Semu Tidak Mendukung Visi Generasi Emas 2045

Pemerintah Indonesia telah mencanangkan visi Generasi Emas 2045, yaitu generasi yang tangguh, cerdas, dan unggul untuk menghantarkan Indonesia menjadi negara maju pada usia 100 tahun kemerdekaannya. Namun, model pengelolaan negara yang dilakukan secara parsial, setengah hati, tidak menyeluruh bahkan justru bertentangan dengan visi mengurusi kebutuhan rakyat.  Diantatanya terkait masalah;
pertama, kesejahteraan  tidak menyentuh akar masalah.
Negara yang berlandaskan sekuler hanya berfokus pada program-program bersifat sementara, tidak berjangka panjang dan sektoral, seperti subsidi kecil untuk makanan bergizi, beasiswa pendidikan, atau bantuan tunai. Meskipun program ini penting bagi mereka yang tidak mampu menyelesaikan akar masalah kehidupannya. 

Upaya- upaya ini hanya untuk menutupi ketimpangan ekonomi yang tinggi,  disisi lain karena lemahnya akses masyarakat terhadap pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan berkualitas.
Rendahnya daya beli masyarakat akibat standar upah minimum yang tidak sesuai dengan kebutuhan hidup layak.

Untuk mewujudkan kesejahteraan generasi emas membutuhkan sistem komprehensif dan berkelanjutan, bukan sekadar bantuan insidental yang bergantung pada anggaran tahun tertentu.

Kedua, terbatasnya sasaran dan skala kebijakan
Model kesejahteraan parsial sering kali hanya menyasar kelompok tertentu, seperti ibu hamil, anak sekolah, atau masyarakat fakir, miskin itupun tidak menyeluruh.  Sementara, kelompok masyarakat lain yang juga membutuhkan dukungan seperti pada buruh berupah rendah atau petani kecil, justru terabaikan dan luput dari perhatian.

Bagaimana cara membangun generasi emas dengan pendekatan semacam ini ? tidak cukup.

Generasi emas membutuhkan ekosistem sosial yang sehat, di mana seluruh lapisan masyarakat memiliki akses terhadap kebutuhan pokok, kebutuhan dasar kehidupan sehingga berpeluang untuk berkembang pesat.

Ketiga, kebijakan tidak berbasis pembangunan jangka panjang.
Program parsial cenderung bersifat reaktif dan berorientasi jangka pendek dan hanya untuk merespons tekanan ekonomi atau politik tertentu.
Akibatnya, kebijakan sering tidak berkelanjutan karena bergantung pada ketersediaan anggaran.

Dampak program tidak terukur dalam jangka panjang, juga tidak ada kesinambungan antara program kesejahteraan dengan visi pembangunan generasi emas.
Generasi emas membutuhkan pendekatan pembangunan berbasis sistem shahih.

Keempat, tidak selaras dengan tujuan pembangunan generasi emas.
Visi generasi emas membutuhkan sumber daya manusia (SDM) yang unggul secara fisik, intelektual, dan mental. Namun, model kesejahteraan yang semu tidak mendukung upaya pencapaian terwujudnya target. 
Untuk pendidikan bersubsidi atau beasiswa saja tidak bisa dikejar dengan alakadarnya.
Dalam hal pendidikan perlu diprogram dengan baik, demi masa depan anak bangsa bukan angan-angan keserakahan para pemilik modal.
Karena itu negara sebaiknya memiliki akses pendidikan berkualitas, dalam menyongsong generasi emas 2045.

Demikian pula program kesehatan untuk membangun generasi emas, tidak cukup dengan vaksinasi massal atau pengobatan murah.
Melainkan  sangat dibutuhkan layanan  kesehatan sistemik, terjangkau dan berkualitas.

Negara Butuh Solusi Sistem Shahih

Untuk membangun generasi emas 2045, negara memerlukan model kesejahteraan yang mendasar dan menyeluruh.

Redistribusi kekayaan harus benar- benar nyata berkeadilan. Hasil pengelola sumber daya alam dan pendapatan negara wajib didistribusikan demi terpenuhinya kebutuhan dasar seluruh rakyat.

Kesejahteraan jangka panjang sangat dibutuhkan untuk mengintegrasikan program-program kesejahteraan ke dalam kebijakan pembangunan nasional yang berkelanjutan.

Islam menawarkan model konsep yang menyeluruh dengan menjadikan negara sebagai pengurus (raa’in) rakyat secara komprehensif.
Negara bertanggungjawab penuh atas kebutuhan dasar rakyat, baik dalam aspek pangan, pendidikan, kesehatan, maupun kesejahteraan ekonomi. Dengan mekanisme seperti zakat, fai, kharaj, dan pengelolaan SDA yang dikelola langsung oleh negara, kesejahteraan bisa dicapai tanpa bergantung pada utang atau pajak yang memberatkan rakyat.

Wallahu'alam.


Share this article via

90 Shares

0 Comment