| 45 Views

Lebaran di Tengah kesedihan, dimana Nurani Dunia Islam ?

Oleh : Ummu Syifa

Kesedihan ditengah perayaan hari raya lebaran itulah yang dirasakan oleh saudara kita di Palestina, khususnya di Gaza. Kebiadaban Zion*s laknatullah membuka mata dunia tapi tetap tidak menggerakkan nurani melakukan aksi nyata pembelaan bagi saudara seimannya. Rupanya ada hal yang membuat semuanya terjadi yaitu terpupusnya persatuan ukhuwah.

TEMPO.CO, Jakarta - Militer Israel telah menewaskan sedikitnya sembilan warga Palestina di Gaza pada pagi hari Idul Fitri, Ahad 30 Maret 2025. Seperti dilansir Al Jazeera, para korban tewas termasuk lima anak.

Serangan ini terjadi saat warga Palestina di Gaza menggelar salat Id untuk menandai akhir bulan suci Ramadhan dan dimulainya Idul Fitri.

Israel telah membunuh lebih dari 900 warga Palestina di Gaza sejak melanggar gencatan senjata dengan Hamas dan melanjutkan serangan 11 hari lalu.

Hingga kini, Israel membunuh seorang anak Palestina di Gaza setiap 45 menit. Itu adalah rata-rata 30 anak yang terbunuh setiap hari selama 535 hari terakhir.

Untuk menempatkan ini dalam perspektif, jika Anda memiliki kamar dengan 100 anak:

Dua dari anak-anak itu telah terbunuh; dua hilang, diduga tewas; tiga telah terluka, banyak yang kritis; lima telah menjadi yatim piatu atau terpisah dari orang tua mereka.

Sementara lima anak memerlukan pengobatan untuk kekurangan gizi akut. Anak-anak lainnya menanggung bekas luka perang dan trauma yang tidak terlihat yang memengaruhi kesehatan mental, keselamatan, dan masa depan mereka.

Meski demikian, semua itu tidaklah menyurutkan muslim Gaza untuk melaksanakan salat Id berjemaah meski akhirnya menjadi Idulfitri berdarah. Mereka melakukannya di antara puing-puing reruntuhan dan di tengah kesulitan bahan pangan akibat blokade yang makin ketat sejak berakhirnya gencatan senjata tahap pertama dan pembatalan sepihak Zion*s atas fase gencatan senjata berikutnya.

Sebetulnya bukan hanya di Gaza, umat Islam di Tepi Barat pun tidak luput dari teror mereka. Beberapa wilayah yang diduduki sejak 21 Januari 2024 seperti Kota Jenin, Tulkarm, Hebron, Al-Quds, dan Nur Shams diketahui menjadi target yahudisasi terstruktur di bawah kawalan tentara Zion*s. Kaum muslim di sana dirampas hak-haknya, termasuk hak untuk beribadah di masjid-masjid mereka. Saat Idulfitri, sebagian mereka bahkan merayakannya di tengah serangan gas air mata.

Kondisi kaum muslim Palestina, khususnya Gaza, makin hari memang makin sulit saja. Berbagai protokol perjanjian gencatan senjata yang sebelumnya disepakati dilanggar sepihak oleh entitas Zion*s. Mereka bukan hanya melakukan berbagai serangan bersenjata, sejak awal Maret ini mereka juga memblokade Gaza. Mereka dengan sengaja menghalang-halangi masuknya bantuan berupa 600 truk bahan pangan dan obat-obatan, serta 50 truk bahan bakar setiap hari seperti sebelumnya disepakati.

Beberapa hari ke depan, sekira 2,4 juta warga Gaza yang tersisa akan menghadapi kesedihan dan ancaman kelaparan serius di tengah kondisi keamanan yang makin parah. Dikabarkan, banyak dapur umum yang mulai tutup. Krisis tepung juga menyebabkan toko-toko roti menghentikan produksinya. Organisasi Pangan Dunia PBB (WFP) bahkan telah memperingatkan bahwa stok makanan yang tersisa di Gaza bisa habis dalam waktu sekitar 10 hari ke depan.

Selain menghadapi ancaman kelaparan dan agresi yang makin brutal, warga Gaza pun menghadapi ancaman pengusiran. Beberapa media menyebutkan bahwa pihak Zion*s telah memaksa warga asli Palestina meninggalkan 20% wilayah Gaza, termasuk di wilayah-wilayah yang selama ini dikenal sebagai zona kemanusiaan.

Rupa-rupanya, pihak Zion*s benar-benar bertekad merealisasikan rencana Trump untuk merekonstruksi Gaza bertajuk proyek Riviera Timur Tengah. Lalu menjadikan Gaza sebagai kawasan yang bersih dari warga asli Palestina.

Sebagaimana diketahui, pada 1 Maret 2025, pihak Zion*s menyatakan lepas dari perjanjian gencatan senjata dengan dalih Ham*s telah melanggar perjanjian. Pihak Zion*s lalu mulai memblokade kembali Gaza dan pada 18 Maret mereka kembali melancarkan serangan militernya seraya melancarkan invasi darat baru ke seluruh wilayah di jalur Gaza.

Tercatat sejak dimulainya serangan tersebut, lebih dari 912 orang tewas dan 2.054 orang luka-luka, sebagian besarnya perempuan dan anak-anak. Adapun jika dihitung sejak agresi dimulai pada 7 Oktober 2023 korban genosida menjadi lebih dari 50.200 orang, 164.000 luka-luka, dan 14.000 orang dinyatakan hilang.

Meski saat ini pihak Ham*s intens melakukan negosiasi ulang dengan pihak Zion*s di bawah kawalan Mesir, Qatar, dan AS, tampak bahwa perang ini sangat tidak imbang. Terlebih keterlibatan para pihak dalam negosiasi ini dibungkus oleh kepentingan nasional dan kepentingan pragmatis masing-masing, terutama jika mengingat posisi mereka adalah sekutu utama non-NATO bagi AS di Timur Tengah.

Sebagaimana diketahui, Qatar adalah rumah bagi pangkalan militer AS terbesar di Timur Tengah. Begitu pun dengan Mesir. Mesir, selain dikenal sebagai sekutu utama non-NATO bagi AS di Timur Tengah, jugs sempat menjadi penerima bantuan militer AS non-NATO terbesar kedua, setelah negara ilegal buatan Zion*s.

Saat genosida di Gaza terjadi, tidak ada yang dilakukan para penguasa negeri ini. Alih-alih fokus menghilangkan akar problem Palestina, yakni membantu rakyat Palestina mengusir penjajah dengan mengirimkan pasukan militernya, sekadar membuka pintu perbatasan untuk memperlancar pengiriman bantuan kemanusiaan pun tidak mampu dilakukan dengan dalih harus menjaga kepentingan nasional.

Saat terjadi pelanggaran perjanjian gencatan fase pertama oleh pihak Zion*s, tidak ada yang dilakukan kedua negara mediator ini selain meminta warga Gaza dan Ham*s bersabar dan menerima keputusan lawan. Mesir bahkan berinisiasi menyusun proposal rekonstruksi Gaza sebagai alternatif pengganti ide Trump yang kemudian disetujui oleh Liga Arab. Padahal, isinya sama sekali tidak menyinggung soal mewujudkan independensi Gaza dan Palestina, tetapi malah memperkuat ketergantungan pada bantuan komunitas dan lembaga-lembaga internasional, terutama PBB maupun WB yang terbukti selalu menjadi perpanjangan kepentingan AS.

Semua ini menegaskan bahwa masa depan Gaza dan Palestina memang sejatinya tidak mungkin diserahkan kepada negara-negara yang penguasanya tidak berkhidmat kepada Islam dan kaum muslim meski mereka mengaku sebagai negara Islam. Apalagi kepada komunitas internasional yang cenderung memilih diam.

Sejarah kemunculan negara-negara bangsa berikut para penguasanya ini adalah hasil dari skenario Barat dalam rangka melemahkan posisi politik Dunia Islam di kancah politik internasional. Oleh karenanya, sampai kapan pun, konsep negara bangsa dengan konsep nasionalismenya akan menjadi racun bagi cita-cita pembebasan Palestina, termasuk Gaza pada masa mendatang.

Tentu saja kita sangat percaya pada kesungguhan Ham*s dan keikhlasannya dalam memperjuangkan kemuliaan Islam dan kaum muslim. Bagaimanapun juga, posisi Ham*s adalah sebuah pergerakan atau milisi bersenjata—sebagaimana Houtsi di Yaman dan Hizbullah di Lebanon yang kedudukannya ada di bawah kekuatan negara—sehingga akan sulit mengambil keputusan-keputusan independen dalam level negara, jika tanpa campur tangan negara.

Cara yang bisa diharapkan mampu membebaskan Palestina dan mengusir penjajah dari seluruh wilayahnya hanyalah sebuah negara kuat yang tegak semata di atas visi Islam, bukan sekularisme nasionalisme yang terbukti menjadi batu sandungan persatuan hakiki umat Islam. Negara seperti ini akan memimpin jihad melawan penjajah dan vis-à-vis berhadapan dengan semua negara yang turut bertanggung jawab dalam melanggengkan penjajahan untuk memaksa mereka kembali pada posisi seharusnya.

Inilah negara Khilafah yang kemunculannya sangat ditakuti Amerika dan para penguasa muslim yang menjadi sekutu setianya. Khilafah pernah menaungi umat Islam sejak Rasulullah Saw wafat dan menjadikan mereka sebagai sebaik-baik umat dan memimpin peradaban dunia hingga runtuh pada 1924 atas konspirasi Barat. Ketiadaan Khilafah inilah yang menjadi awal munculnya berbagai penderitaan, kehinaan dan keterpecahbelahan umat Islam, termasuk munculnya problem penjajahan di Palestina.

Selain merupakan kewajiban dan konsekuensi iman, upaya menegakkan kembali Khilafah sejatinya merupakan sebuah kebutuhan mendesak bagi umat Islam. Upaya ini harus menjadi visi seluruh pergerakan Islam dan umat Islam yang ada di seluruh dunia karena Khilafah merupakan solusi tuntas atas seluruh persoalan di negeri-negeri Islam, bahkan seluruh dunia, termasuk persoalan Palestina.

Khilafah adalah satu-satunya institusi penegak syariat kafah yang diturunkan Allah Taala sebagai tuntunan sekaligus problem solver bagi seluruh masalah kehidupan. Syariat Islam menjadikan negara dan penguasanya berfungsi sebagai pengurus dan penjaga, menghapus kezaliman, mengharamkan tunduk pada penjajah, dan mensyariatkan jihad fi sabilillah. Khilafah akan menyatukan umat Islam di bawah satu kepemimpinan, memobilisasi seluruh potensi yang dimilikinya, mulai dari SDA, SDM, termasuk tentaranya untuk mewujudkan keadilan bagi semua.

Mewujudkan Khilafah tidak semudah membalik telapak tangan. Terlebih kehadirannya di masa depan telah menjadi mimpi buruk bagi penguasa negara-negara adidaya dan para anteknya. Ini karena Khilafah akan menggantikan kepemimpinan mereka yang destruktif dengan kepemimpinan yang menebarkan rahmat.

Menghalangi kemunculan Khilafah menjadi salah satu agenda utama mereka. Negara-negara adidaya bahkan memaksa seluruh negara di dunia untuk turut menyukseskan proyek tersebut atas nama perang global melawan terorisme dan radikalisme di negeri-negeri Islam. Mereka menggunakan berbagai cara, baik melalui tekanan ekonomi, politik, bahkan militer untuk mencapai tujuan.

Janji Allah pasti benar setiap upaya mereka dipastikan akan berujung pada kegagalan. Allah Swt. berfirman, “Mereka ingin memadamkan cahaya Allah dengan mulut (tipu daya) mereka, tetapi Allah (justru) menyempurnakan cahaya-Nya, walau orang-orang kafir membencinya.” (QS Ash-Shaff: 8).

Solusi tuntas masalah Palestina adalah kembali pada sistem Islam yaitu Khilafah yang mampu menjadi Pelindung dan pengurus umat diseluruh belahan dunia, keberadaannya adalah janji Allah yang sudah jadi kewajiban seluruh umat muslim untuk menerapkankannya kembali dengan terus berdakwah ditengah umat hingga umat sadar  akan hal itu.

Wallahu'alam.


Share this article via

57 Shares

0 Comment