| 391 Views

Layanan Pendidikan dan Kesehatan Meningkat, Butuh Kebijakan Nyata

Oleh : Ummi Alif
Muslimah Pemerhati Umat

Pernyataan bahwa pendidikan dan kesehatan berpengaruh dalam pengentasan kemiskinan adalah pernyataan yang tepat. Harapan muncul ketika dinyatakan akan adanya peningkatan anggaran untuk dua bidang tersebut. Sayangnya pernyataan tersebut belum didukung dengan kebijakan yang sejalan. Bahkan adanya kebijakan yang membuat hidup rakyat makin sulit termasuk dalam memenuhi kebutuhan pendidikan dan kesehatan.

Dikutip dari presidenri.com, Presiden Prabowo Subianto menegaskan komitmen pemerintah untuk menjadikan pendidikan dan kesehatan sebagai prioritas utama dalam alokasi anggaran tahun 2025. Presiden Prabowo juga mengungkapkan bahwa perlindungan sosial, bantuan sosial, dan subsidi akan menjadi langkah-langkah menuju kebangkitan ekonomi melalui hilirisasi. Namun, menurut Kepala Negara, pendidikan dan kesehatan tetap akan menjadi pilar utama untuk terhindar dari kemiskinan. Presiden menuturkan bahwa makan bergizi juga hal yang strategis. Kita selamatkan anak-anak kita, tapi dengan itu kita akan memberdayakan ekonomi pedesaan, ekonomi kecamatan, ekonomi kabupaten, ekonomi provinsi. Puluhan triliun akan beredar di daerah-daerah. Presiden Prabowo menegaskan pentingnya subsidi dan perlindungan sosial yang tepat sasaran. Dan saat ini pemerintah tengah merumuskan langkah-langkah untuk memastikan bahwa bantuan sosial dapat dirasakan secara adil dan merata. Secara sekilas betapa program Presiden sangan peduli terhadap kepentingan rakyat tetapi dari manakah sumber anggaran semua ini?

Berbanding terbalik dengan kebijakan kesehatan yang di rancang pemerintah akan adanya penyesuaian tarif  BPJS di bulan Desember ini, sebagaimana dikutip dari viva.co.id.10/12/2024, bagi banyak masyarakat Indonesia, iuran BPJS Kesehatan selalu menjadi topik pembicaraan yang tak terhindarkan. Sebagian besar masyarakat sudah merasakan manfaatnya, tetapi juga tak sedikit yang merasa terbebani dengan kenaikan tarif iuran yang sering terjadi. Apalagi menjelang akhir tahun 2024, perubahan iuran BPJS Kesehatan menjadi perhatian besar bagi seluruh peserta. Mulai 9 Desember 2024, iuran BPJS Kesehatan Kelas 1, 2, dan 3 akan mengalami penyesuaian yang tentunya akan mempengaruhi anggaran rumah tangga setiap peserta.: Bagi keluarga yang berusaha mencukupi kebutuhan sehari-hari, kenaikan iuran ini bisa menjadi beban tambahan. Di tengah tantangan ekonomi, masyarakat dihadapkan pada dua pilihan sulit: tetap membayar iuran dengan konsekuensi mengurangi pengeluaran lain, atau berhenti menjadi peserta BPJS dan berisiko kehilangan akses terhadap layanan kesehatan yang vital. Selain itu, dengan ketidakpastian terkait iuran BPJS ke depan, banyak orang merasa bingung bagaimana cara merencanakan keuangan mereka, terutama setelah perubahan tarif yang berlaku mulai 9 Desember 2024. Adapun perubahan tarif tersebut sebagai berikut; kelas I ditetapkan sebesar Rp 150.000 per orang per bulan, kelas II sebesar Rp 100.000 per orang, kelas III sebesar Rp 42.000 per orang per bulan

Dalam sistem kapitalisme, kapitalisasi pendidikan dan kesehatan adalah sesuatu yang tak terelakkan. Di saat negara tidak menjadikan sumber daya alam menjadi sumber anggaran negara, maka mereka mengalihkan sumber anggaran kepada pajak, utang luar negeri, serta dengan dalih peran serta masyarakat dan gotong royong sebagai pengalihan tanggungjawab yang seharusnya di emban oleh negara. Kenaikan pungutan pajak menjadi 12 % jelas memberatkan rakyat. Semua adalah konsekuensi penerapan sistem kapitalisme, sistem ini mendukung terwujudnya penguasa populis penuh pencitraan

Dalam geliat aktivitas perekonomian Indonesia, pajak telah menjadi “tulang punggung” keuangan negara. RAPBN 2025 menargetkan pendapatan negara sebesar Rp3.005,1 triliun atau 12,32% terhadap PDB. Penerimaan perpajakan ditargetkan sebesar Rp2.189,3 triliun atau 72,85% dari target pendapatan negara, naik sebesar 13,8% dari outlook 2024. Penerimaan kepabeanan dan cukai pada 2025 ditargetkan mencapai Rp301,6 triliun, sedangkan target Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) ditetapkan sebesar Rp513,64 triliun.

Untuk mencapai target fantastis ini, salah satu kebijakan yang pemerintah ambil adalah menaikkan tarif PPN dari 11% menjadi 12% yang akan diberlakukan pada Januari 2025 mendatang. Ini sebagaimana ketetapan UU 7/2021. Juga dengan memperluas objek sasaran PPN 12% pada barang dan jasa premium.

Jika postur APBN bergantung pada pajak, terutama pajak konsumsi seperti PPN dan PPh dari individu, sedangkan PPN adalah jenis pajak regresif, tentu beban pajak relatif lebih besar bagi masyarakat miskin yang menghabiskan sebagian besar pendapatannya untuk konsumsi. Akibatnya, terjadi pemiskinan secara struktural yang mana rakyat kecil menanggung beban yang lebih berat dibandingkan dengan kelompok kaya. Akibatnya, beban pembiayaan negara akan makin berat bagi rakyat, terutama kelas menengah ke bawah. Hal ini justru memperburuk kesejahteraan masyarakat dan menambah kesulitan ekonomi rakyat.

Ketika pendapatan negara dari pajak tidak memadai, menambah utang pun menjadi solusi yang ditempuh. Ini mengantarkan pada ketidakmandirian negara mengurus rakyat dan pintu masuk berbagai intervensi asing yang akan melemahkan negara, menjadi masalah jangka panjang dan makin menyengsarakan rakyat.

Sejatinya, Indonesia memiliki SDA yang melimpah. Jika dikelola dengan baik oleh negara, pembiayaan APBN akan lebih dari cukup dan tidak diperlukan adanya pungutan pajak dari rakyat. Menurut ekonom muslim Muhammad Ishak (2024), potensi pendapatan negara dari kekayaan SDA negeri ini adalah sebagai berikut; minyak mentah, gas alam, batu bara, emas, tembaga, nikel, hutan, kelautan. Berdasarkan hitungan potensi pendapatan dari delapan harta milik umum ini saja, dapat diperoleh laba sebesar Rp5.510 triliun (melebihi kebutuhan APBN yang hanya sekitar Rp3.005,1 triliun). Hanya saja, dalam sistem kapitalisme yang diterapkan negara hari ini, kepemilikan SDA cenderung terkonsentrasi pada pihak-pihak tertentu melalui privatisasi atau pemberian hak konsesi. Akibatnya, keuntungan besar dari eksploitasi SDA tidak kembali ke rakyat, melainkan masuk ke kantong pemilik modal. Negara sering kali hanya mendapatkan royalti kecil atau pajak terbatas dari pengelolaan SDA oleh pihak swasta. Sementara itu, dampak negatif seperti kerusakan lingkungan, konflik sosial, dan hilangnya potensi ekonomi, justru harus ditanggung oleh rakyat. Walhasil, negara tidak memiliki sumber pendapatan APBN yang mumpuni, kecuali pajak dan utang.

Berbeda dengan Islam menetapkan bahwa layanan pendidikan dan kesehatan adalah kebutuhan pokok rakyat dan menjadi hak seluruh rakyat yang wajib dipenuhi oleh penguasa. Penguasa dalam Islam memiliki kewajiban mengurus rakyat dengan baik dan tidak menimbulkan kesusahan pada rakyat. Islam memiliki mekanisme untuk menjamin pemenuhan kebutuhan pokok tersebut, termasuk sumber dana yang banyak sesuai dengan sistem ekonomi Islam.

APBN dalam negara Islam disusun berdasarkan hukum syara yang sudah ditetapkan oleh yang Maha Pengatur baik sumber pendapatannya ataupun pengeluarannya, tidak berdasarkan kepada keinginan nafsu manusia ataupun undang undang buatan manusia yang hanya berpihak pada segelintir orang saja. Kepala negara berwenang untuk mengatur pemasukan dan pengeluaran dengan berpegang teguh pada ketetapan Islam, tidak boleh menjadikan pajak sebagai salah satu pos vital pendapatan belanja negara.

Adapun sumber pendapatan APBN Khilafah, di antaranya ialah anfal, ganimah, fai, khumus, kharaz, jizyah usyur, harta milik umum serta harta milik negara. Khalifah juga tidak boleh menempatkan semua bentuk kegiatan yang bertentangan dengan Islam pada pos pengeluaran. Pajak atau dharibah adalah harta yang diwajibkan oleh Allah Swt. kepada kaum muslim untuk membiayai berbagai kebutuhan dan pos pengeluaran yang memang diwajibkan atas mereka pada kondisi di baitulmal tidak ada uang atau harta.

Adapun belanja atau pengeluaran baitulmal (APBN), dibagi menjadi enam bagian; Pertama, delapan golongan yang berhak menerima zakat. Kedua, untuk memenuhi kebutuhan orang fakir, miskin, ibnusabil dan kebutuhan jihad, Ketiga, orang-orang yang menjalankan pelayanan bagi negara, seperti para pegawai, penguasa, dan tentara. Keempat, pembangunan sarana pelayanan masyarakat yang vital, seperti jalan raya, masjid, rumah sakit, dan sekolah. Kelima, pembangunan sarana pelayanan pelengkap, jika dana baitulmal tidak mencukupi, pendanaannya akan ditunda. Keenam, bencana alam mendadak, seperti gempa bumi dan angin topan.

Allah Swt. telah merancang APBN Khilafah (baitulmal) untuk mewujudkan keadilan ekonomi, pemerataan kekayaan, dan kesejahteraan rakyat, sambil memperkuat negara secara keseluruhan. Dengan diterapkannya APBN Khilafah, rakyat tidak terbebani pajak berlebih, tidak juga memikirkan biaya Pendidikan yang mahal ataupun membayar iuran BPJS yang memberatkan kehidupan. Kebutuhan dasar rakyat akan terpenuhi dari zakat dan pendapatan dari SDA tanpa harus menguras dompet mereka.

Selain itu, terjadi redistribusi kekayaan yang adil melalui zakat dan pengelolaan kepemilikan umum. Kekayaan tidak hanya berputar di tangan segelintir orang, tetapi didistribusikan untuk kepentingan umat. Dengan keuangan negara yang stabil tanpa utang luar negeri dan rakyat yang kebutuhannya telah terpenuhi, negara tentu menjadi lebih kuat secara ekonomi dan politik.

Wallahualam bishawab.


Share this article via

126 Shares

0 Comment