| 13 Views
Krisis Fatherless, Runtuhnya Nahkoda Keluarga

Pentingnya Figur Ayah, Fatherless Berdampak Signifikan dalam Tumbuh Kembang Anak. (source: iStock/ ImagineGolf)
Oleh: Nuril Ma’rifatur Rohmah
Muslimah Peduli Generasi
Peristiwa ketiadaan figur seorang ayah dalam sebuah keluarga atau yang sering disebut dengan fatherless menjadi persoalan yang nyata. Banyak anak yang tumbuh tanpa peran ayah, baik secara fisik maupun mental. Akibatnya, perkembangan karakter, emosional dan masa depan mereka teganggu. Bicara perihal fatherless berarti meninjau bagaimana pentingnya peran seorang ayah dalam mempengaruhi kehidupan anak secara menyeluruh.
Dari data yang telah dipublikasikan, sekitar seperlima anak di Indonesia atau 20,1 persen (15,9 juta anak), tumbuh tanpa pengasuhan ayah atau mengalami keadaan yang sering disebut sebagai fatherless. Data ini bukanlah sekedar angka. Ini merupakan cerminan persoalan yang mendalam dalam keluarga dan budaya kerja di Indonesia, yang sering menempatkan ayah sebagai sosok pencari nafkah saja, bukan pendidik emosional dan teladan utama bagi anak-anaknya. Ketiadaan peran ayah dalam pengasuhan tidak selalu memandang fisik ayah saja, melainkan ketidakhadiran secara emosional dan pengasuhan. Survei menunjukkan banyak ayah yang bekerja lebih dari 60 jam per pekan, sehingga waktu berinteraksi dengan anak sangatlah terbatas. (Tagar.co, 8/10/25)
Peristiwa ini tidak selalu terjadi karena perpisahan secara fisik, tetapi juga kadang muncul ketika seorang ayah hadir secara biologis namun hilang secara paikologis. Banyak ayah menyerahkan fungsi pendidikan sepenuhnya kepada ibu atau lembaga pendidikan. Sedangkan dalam stuktur keluarga, seorang ayah bagaikan nahkoda yang menentukan arah dalam keluarga. Tidak hanya itu, perannya penting dalam penanaman nilai agama, tanggung jawab, disiplin, membentuk identitas dan kepercayaan diri anak. Seorang ayah yang tidak mengambil andil dalam hal pendidikan, maka anak akan mencari figur pengganti itu di luar rumah, melalui media sosial, lingkungan, atau teman sebaya yang tidak selalu memberikan figur panutan yang benar.
Tidak jarang juga karena sebab tuntutan ekonomi dalam sistem kapitalisme ini, yang membuat para ayah lebih memilih fokus mencari nafkah dibanding mengasuh dan mendidik anak. Tekanan ekonomi membuat ayah harus bekerja lebih lama, apalagi harus merangkap pekerjaan. Jam kerja yang panjang dipandang biasa, sedangkan waktu kebersamaan dengan anak dianggap urusan sampingan, sehingga waktu habis di luar rumah dan rasa lelah membuat ayah tidak sanggup lagi mendampingi anak.
Alhasil, komunikasi dan interaksi kepada anak-anak berkurang, dan hilangnya pelindung dan pendengar yang baik. Selain itu, anak laki-laki akan tumbuh tanpa arah pembentukan jati diri. Anak perempuan kehilangan rasa aman dan kehilangan figur laki-laki yang benar. Batasan, nilai, dan arahan yang seharusnya diberikan oleh sang ayah tidak tersampaikan, sehingga ikatan emosional antara anak dan ayah menjadi lemah. Dari segi sosial, masyarakat sering menilai bahwa tanggungjawab seorang ayah hanya dari sisi finansial saja, bukan dari kehadirannya dalam proses pembentukan karakter anak. Situasi ini jika terus dibiarkan akan menjauhkan seorang fungsi ayah dari keluarga dan perlahan meruntuhkan tugas ayah dalam memimpin dan mendidik keluarga.
Sistem Kapitalisme sekuler yang diterapkan saat ini telah memisahkan urusan keluarga dari tanggung jawab negara. Akibatnya, peran ayah sebagai qowwam, pelindung, penafkah dan teladan bagi anak- anak melemah oleh tuntutan ekonomi dan sistem kerja yang menyita waktu. Berbeda dalam sistem islam, negara wajib menyediakan kebutuhan dasar masyarakat yang dikelola dari kekayaan sumber daya alam yang benar, dan membuka lapangan kerja yang luas. Selain itu, upah diberikan secara layak dan jaminan hidup yang ditetapkan dari baitul mal. Ayah tidak akan dipaksa bekerja tanpa batas demi bertahan hidup, sehingga memiliki waktu dan energi untuk mendidik dan mengontrol tumbuh kembang anak.
Peran ayah dan ibu adalah sebagai satu tim yang sama-sama menanggung amanah mendidik generasi. Seorang ayah bukan hanya pencari nafkah tetapi merupakan panutan pembentukan karakter dan akhlak.
Sebagaimana firman allah SWT :
“Dan (ingatlah) ketika Luqmān berkata kepada anaknya, ketika ia memberi pelajaran kepadanya: ‘Wahai anakku! Janganlah engkau mempersekutukan Allah. Sesungguhnya syirik adalah benar-benar kezaliman yang besar.” (TQS. Luqman: 13)
Ayat ini menegaskan bahwa peran utama seorang ayah adalah sebagai nahkoda keluarga, pemberi nasehat, pendidik dan pembentuk karakter anak. Adapun ibu berperan strategis dalam pengasuhan, pendidikan dasar, menyusui dan mengelola rumah tangga. Jika peran ini berjalan seimbang, maka anak akan tumbuh dalam suasana kasih sayang, kontrol moral dan dapat mengelola emosi yang sehat. Oleh karena itu, solusi Islam tidak hanya mengatur akhlak individu.
Islam hadir secara menyeluruh dengan memperkuat peran ayah dan ibu dalam sebuah keluarga. Serta mewujudkan negara sebagai penunjang bukan beban. Jika syariat Islam saat ini diterapkan secara kaffah, maka peran ayah dan ibu menjadi optimal dan generasi akan tumbuh dengan kasih sayang, panutan yang baik dan generasi akan terlindungi dari kerusakan yang diakibatkan fatherless.
Wallahu a’lam bishowab