| 7 Views

Program MBG, Cerminan Sistem Rusak

Dok. Dinas Kesehatan Kebumen

Oleh : Ummu Zubair

Gagasan awal Program Makan Bergizi Gratis ( MBG) dicetuskan oleh Presiden Prabowo Subianto sejak tahun 2006. Konsep awalnya dikenal dengan nama “Revolusi Putih” yang berfokus pada pemberian susu gratis untuk anak-anak sekolah, kemudian berkembang menjadi program makan bergizi yang lebih komprehensif.

Peluncuran resmi Program MBG dijadwalkan pada 6 Januari 2025, bertepatan dengan pelantikan Prabowo Subianto sebagai Presiden. Keberadaan konsep MBG ini juga tak terlepas dari peringatan hari anak Nasional yang ditetapkan presiden Soekarno pada 25 Januari 1960.

Tujuan awal direncanakan program MBG nasional adalah untuk perbaikan gizi nasional terlebih untuk pencegahan stunting pada anak. Strategi yang dilakukan adalah dengan meningkatkan gizi anak melalui penyediaan makanan bergizi di sekolah. Target penerima manfaat Program MBG mencakup anak-anak sekolah, balita, dan ibu hamil dan memastikan bahwa anak-anak menerima nutrisi yang cukup selama masa pertumbuhan mereka.

Pemberian makanan bergizi juga kepada ibu hamil dan menyusui. Kesehatan ibu sangat berpengaruh terhadap perkembangan janin dan bayi, sehingga perhatian khusus diberikan pada kelompok ini.

Memberdayakan ekonomi lokal dengan melibatkan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Dengan cara ini, MBG tidak hanya mendukung kesehatan masyarakat tetapi juga mendorong perekonomian lokal melalui pemanfaatan sumber pangan domestik.

Pendekatan terintegrasi ini diharapkan dapat menciptakan generasi yang lebih sehat dan produktif serta mengurangi angka stunting secara signifikan. Program MBG menargetkan hingga 30  juta penerima manfaat pada akhir tahun 2025.

Banyaknya masalah yang ditimbulkan oleh kebijakan Makan Bergizi Gratis (MBG), menurut Praktisi Pendidikan Abdullah Makhrus, menunjukkan cermin sistem kapitalisme yang rusak. 

Makhrus memaparkan berbagai masalah  yang muncul dalam program seperti Makanan Bergizi Gratis (MBG). Dimulai dari adanya nampan yang diduga mengandung minyak babi, kasus keracunan, hingga potensi korupsi, sejatinya bukan hanya persoalan teknis. Ini adalah cerminan dari sistem rusak yang sedang diterapkan di negeri ini, yaitu sistem kapitalisme sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan.

Pakar Fikih Kontemporer KH Muhammad Shiddiq al-Jawi menilai Presiden Prabowo tidak manusiawi karena data statistik 0,00017 persen dari 30 juta orang penerima manfaat MBG digunakan untuk angka toleransi terkait keselamatan dan nyawa manusia yang ribuan di antaranya positif keracunan makanan MBG.

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digadang pemerintah sebagai solusi atas masalah stunting, dinilai sebagai kebijakan yang belum menyentuh akar persoalan, karena problem kemiskinan dan ketimpangan sosial yang meluas tidak akan terselesaikan dengan kebijakan parsial semacam itu, melainkan hanya dapat dituntaskan melalui penerapan sistem Islam yang menjamin keadilan distribusi.

Masalah sistemik tidak bisa diatasi dengan solusi parsial. Harus sistem ekonomi Islam yang menjamin distribusi.

Banyak pihak yang menilai program MBG hanyalah respons politik jangka pendek yang tidak menyentuh akar kemiskinan. Kebijakan semacam ini sekadar menambah proyek tanpa memperbaiki sistem ekonomi yang timpang. Akar masalahnya adalah kemiskinan dan distribusi yang buruk. Sebenarnya, akar persoalan stunting bukan terletak pada kurangnya gizi, melainkan pada ketimpangan distribusi kekayaan akibat penerapan sistem ekonomi kapitalistik.

Hal yang perlu kita pahami,  ketimpangan itu nyata dari penguasaan sumber daya oleh segelintir elite yang menikmati kekayaan luar biasa, sementara jutaan rakyat hidup dalam kemiskinan ekstrem. Sekitar 24 juta orang yang hidup di bawah garis kemiskinan, sementara satu orang bisa pegang 6,7 persen saham tambang batu bara dan dapat dividen Rp2,4 triliun setahun. Ini ketimpangan.

Ketimpangan yang terjadi bukan semata akibat ulah pemilik modal, tetapi justru karena negara dalam sistem kapitalistik berpihak pada korporasi besar dan membuka jalan bagi mereka, sehingga pelaku utama ketimpangan itu adalah negara sendiri, bukan rakyat yang seharusnya dilindungi. Maka sudah saatnya ketimpangan tersebut diakhiri dengan sistem politik Islam yang benar-benar melayani umat tanpa mencari ridho manusia, melainkan hanya mencari keridhoan Allah SWT.


Share this article via

0 Shares

0 Comment