| 10 Views
Fenomena Lavender Marriage, Buah Sistem Kapitalisme

(Foto: Pinterest)
Oleh: Sri Wahyuningsih
Muslimah Peduli Generasi
Istilah lavender marriage akhir-akhir ini ramai diperbincangkan di media sosial. Banyak yang salah paham mengira ini sekadar “pernikahan berwarna ungu”. Menurut Hallodoc (2025), lavender marriage adalah pernikahan antara laki-laki dan perempuan di mana salah satu atau bahkan keduanya memiliki orientasi seksual non-hetero. Mereka menikah bukan karena cinta yang tulus, tetapi karena tekanan sosial, tuntutan keluarga, atau demi menjaga citra dan karier.
Fenomena ini menunjukkan bagaimana standar hidup modern membuat banyak orang kehilangan keberanian untuk jujur terhadap diri sendiri. Demi terlihat “normal” dan diterima masyarakat, mereka rela membohongi hati dan menutupi fitrah.
Kasus seperti ini bukan sekadar cerita asing. Dunia pernah dikejutkan oleh kisah aktor terkenal Rock Hudson yang diam-diam seorang gay. Ia menikah dengan sekretarisnya, Phyllis Gates, pada tahun 1955 hanya untuk menjaga citra publiknya. Namun, pernikahan itu berakhir pahit. Gates mengaku merasa dibohongi karena ternyata Hudson tidak pernah mencintainya. Dari luar tampak indah, tetapi di dalamnya penuh luka batin (LGBT national help center)
Menurut Hallodoc (2025), orang yang menjalani lavender marriage rentan mengalami stres, depresi, dan rasa rendah diri karena hidup dalam kepalsuan. Mereka harus berpura-pura bahagia, padahal hatinya penuh konflik. Fenomena ini mirip unggahan pasangan mesra di media sosial—tampak bahagia di layar, namun di baliknya penuh air mata.
Fenomena lavender marriage mencerminkan rusaknya tatanan moral dalam sistem kehidupan sekuler. Nilai agama tidak lagi menjadi pedoman utama, digantikan oleh standar “kebebasan” dan “toleransi”. Akibatnya, banyak orang kehilangan arah dalam memaknai cinta dan pernikahan. Dalam sistem kapitalisme, citra dan penerimaan sosial sering dianggap lebih penting daripada kejujuran dan ketenangan batin. Pernikahan dijalankan bukan sebagai ibadah, melainkan sebagai alat pencitraan. Padahal, hubungan tanpa kejujuran hanya melahirkan penderitaan.
Islam memandang, pernikahan adalah ikatan suci yang bertujuan menghadirkan sakinah, mawaddah, wa rahmah, ketenangan, cinta, dan kasih sayang. Allah berfirman dalam QS. Ar-Rum ayat 21: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu pasangan dari jenismu sendiri, supaya kamu merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.”
Islam menolak segala bentuk pernikahan yang dibangun di atas kepura-puraan dan kebohongan.
Rasulullah SAW bersabda: “Kejujuran membawa kepada kebaikan, dan kebaikan membawa kepada surga. Sedangkan dusta membawa kepada keburukan, dan keburukan membawa kepada neraka.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Pernikahan sejati hanya lahir dari hati yang lurus dan niat yang bersih karena Allah, bukan karena tekanan sosial atau citra duniawi. Lavender marriage adalah cermin dari krisis kejujuran dalam masyarakat modern. Ketika cinta tidak lagi berpijak pada iman, yang tersisa hanyalah kepura-puraan. Islam mengingatkan bahwa kebahagiaan sejati tidak lahir dari citra, tetapi dari hati yang jujur dan taat kepada Allah. Cinta sejati tidak butuh topeng. Ia cukup tumbuh dalam keimanan, bersemi dalam keikhlasan, dan berbuah dalam kasih sayang yang diridhai Allah SWT.
Fenomena lavender marriage tidak akan berhenti selama masyarakat masih hidup dalam sistem yang menomorsatukan kebebasan pribadi dan mengabaikan aturan Allah. Islam memberikan solusi yang menyentuh akar persoalan, bukan hanya permukaan ada beberapa pencegahan yang seharusnya kita terapkan yaitu, pertama pendidikan akidah sejak dini. Anak-anak perlu dibekali pemahaman tentang siapa dirinya, dari mana dia berasal, untuk apa dia diciptakan, dan mau kemana setelah kehidupan berakhir. Tujuan hidup sesuai syariat, agar tidak bingung terhadap identitas.
Kedua, bimbingan dan lingkungan yang sehat. Islam menekankan pentingnya nasihat, konseling, dan komunitas yang saling menolong dalam ketaatan, bukan menghakimi atau menormalisasi penyimpangan. Lingkungan yang aman dan tidak toxic juga sangat berperan penting dalam proses pertumbuhan anak sehingga intelegensinya akan berkaitan dengan aspek spiritual
Ketiga, menegakkan nilai Islam segera.
Negara seharusnya menjadi penjaga moral masyarakat dengan menerapkan aturan syariat secara menyeluruh. Hukuman serta pencegahan yang berat akan menimbulkan efek jera pada pelaku sehingga tidak ada lagi korban kepura puraan dalam rumah tangga. Dengan sistem Islam yang kaffah, kehidupan sosial dapat kembali pada fitrah dan kejujuran.
Wallahu a’lam bishshawab.