| 10 Views
Gaza Tak Butuh Solusi Dua Negara

Oleh: Nanggi Q. Febriana
Kondisi kemanusiaan di Gaza kini berada pada titik kritis. Menurut laporan Kementerian Kesehatan Palestina (2025), lebih dari 41.000 warga tewas dan 90.000 terluka sejak agresi Israel dimulai pada Oktober 2023. Serangan udara dan darat telah menghancurkan lebih dari 70% infrastruktur sipil, termasuk rumah sakit, sekolah, dan tempat pengungsian. Laporan PBB (OCHA, 2025) mencatat hampir dua juta warga—lebih dari 85% populasi—terpaksa mengungsi akibat operasi militer yang terus berlangsung. Sementara itu, dukungan dunia internasional minim karena banyak negara mengikuti kebijakan Amerika Serikat yang terus mendorong “solusi dua negara”, padahal AS tetap menjadi pemasok utama senjata bagi Israel. Hal ini menunjukkan bahwa penderitaan rakyat Gaza tidak hanya disebabkan oleh perang, tetapi juga oleh kegagalan moral dan politik global dalam menegakkan keadilan.
Meski demikian, sejumlah negara dan organisasi internasional masih menegaskan dukungannya terhadap solusi dua negara, seperti tertuang dalam New York Declaration (30 Juli 2025) yang ditandatangani 16 negara termasuk Indonesia, Turki, Prancis, dan Arab Saudi. Deklarasi ini menyerukan perdamaian berdasarkan hukum internasional dan perbatasan 1967, sejalan dengan pernyataan Liga Arab yang menekankan pentingnya pembentukan negara Palestina merdeka dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kota.
Apakah Solusi Dua Negara Menjadi Jalan Keluar untuk Konflik Palestina–Israel ?
Jika kita cermati, gagasan solusi dua negara tampak sebagai bentuk keputusasaan Amerika Serikat dalam menghadapi keteguhan rakyat Gaza dan perlawanan para mujahidin. Demi menopang agresi Israel terhadap Gaza, AS telah mengucurkan dana yang sangat besar — termasuk bantuan militer tambahan senilai sekitar US$17,9 miliar (AP News, 2024), di luar komitmen bantuan tahunan sebesar US$3,8 miliar hingga tahun 2028 (Congressional Research Service, 2024). Meski Israel dipersenjatai dengan kekuatan luar biasa, semangat perjuangan rakyat Gaza tidak surut. Bahkan, hasil survei Gallup tahun 2024 menunjukkan bahwa mayoritas warga, baik di Palestina maupun Israel, menolak solusi dua negara, dan sekitar dua pertiga responden meyakini bahwa solusi tersebut tidak akan membawa perdamaian yang permanen.
Seluruh fakta ini menunjukkan bahwa gagasan “dua negara” hanyalah ilusi politik yang gagal dan justru menjadi legitimasi atas perampasan tanah Palestina. Persetujuan terhadap solusi dua negara sama artinya dengan mengakui bahwa 78% wilayah Palestina sah dimiliki oleh Israel, sementara umat Islam Palestina hanya berhak atas 22% sisanya. Padahal, menurut catatan sejarah Islam, sejak penaklukan Syam pada tahun 15 Hijriah oleh Khalifah Umar bin Khattab, seluruh wilayah Palestina sepenuhnya merupakan milik umat Islam.
Menurut Ustaz Siddiq Aljawi dalam kajian subuh edisi Rabu, 1 Oktober 2025, terdapat tiga alasan mengapa solusi dua negara dianggap haram. Pertama, menyetujui solusi dua negara berarti mengakui keabsahan eksistensi negara Yahudi dan secara tidak langsung membenarkan perampasan tanah kaum Muslimin di Palestina. Padahal, merebut tanah milik orang lain, bahkan hanya sejengkal, merupakan bentuk kezaliman yang sama sekali tidak boleh diakui maupun dilegitimasi. Rasulullah ﷺ bersabda, “Barang siapa mengambil sejengkal tanah dengan zalim, maka Allah pada hari kiamat akan mengalungkan tujuh lapis bumi di lehernya” (HR. Muttafaq ‘Alaih).
Kedua, menerima konsep dua negara juga berarti menyetujui hidup berdampingannya Palestina dan Israel dalam kedamaian. Ini sama saja dengan meninggalkan kewajiban berjihad fi sabilillah melawan Zionis Israel yang telah merampas tanah dan menindas kaum Muslimin Palestina. Dalam kondisi tersebut, jihad telah menjadi fardhu ‘ain, sebab selain menghadapi genosida, mereka juga telah kehilangan tanah airnya. Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam Surah Al-Baqarah ayat 190–191: “Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, tetapi janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. Bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu.”
Ketiga, persetujuan terhadap solusi dua negara berarti membuka jalan bagi kaum kafir—baik Yahudi (Israel) maupun Kristen (AS dan sekutu Baratnya)—untuk menguasai dan mendominasi kaum Muslimin, khususnya di Palestina. Padahal, Islam melarang segala bentuk dominasi orang kafir atas kaum beriman. Sebagaimana firman Allah dalam Surah An-Nisā’ ayat 141: “Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang yang beriman.”
Satu-satunya solusi hakiki atas genosida di Gaza adalah pengerahan pasukan muslim untuk jihad Fisabilillah. Kaum muslimin sangat mampu melawan Zionis, bahkan akan memenangkan perang hanya dalam waktu 1 jam saja. Hanya Daulah Khilafah Islamiyah yang mampu menyatukan seluruh umat Islam dan yang akan memobilisasi tentara dan pasukan militernya untuk mengalahkan entitas Zionis beserta negara-negara kafir yang menjadi pendukungnya. Daulah Khilafah inilah yang kelak akan memimpin pasukan membebaskan Palestina dan mengembalikan tanahnya ke pangkuan umat Islam dan mengganti kesedihan mereka dengan kebahagiaan serta mengembalikan kemuliaan mereka dan umat Islam sedunia. Sungguh masa itu akan segera tiba dengan izin Allah.