| 7 Views
Ketahanan Pangan: Antara Citra Keberhasilan Kapitalisme dan Realitas Ketimpangan
program Gerakan Pangan Murah (GPM), yang dilaksanakan 21 – 24 Juli 2025
Oleh: Ema Fitriana Madi, S.Pd.
Pengamat Isu Sosial
Kemiskinan masih menjadi persoalan mendasar yang dihadapi banyak daerah di Indonesia, termasuk kota-kota berkembang seperti kota Kendari. Meski perekonomian terus tumbuh, kesenjangan sosial dan keterbatasan akses terhadap pendidikan, pekerjaan dan pendapatan yang layak, perumahan yang memadai, serta masih banyak lagi yang menjadi tantangan utama dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Wali Kota Kendari, Siska Karina Imran, menegaskan komitmennya dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui berbagai program strategis sepanjang 2025. Fokus utama diarahkan pada penurunan angka kemiskinan, peningkatan pertumbuhan ekonomi, serta pembangunan fasilitas pendidikan dan perumahan layak huni bagi warga kurang mampu. Angka kemiskinan berhasil ditekan dari 4,23% menjadi 4,18%, sementara pertumbuhan ekonomi daerah meningkat dari 3% menjadi lebih dari 4%. Pemerintah pusat juga memberikan dukungan besar melalui bantuan renovasi 500 rumah, dengan target tambahan 3.500 unit tahun depan. Selain itu, Kendari menjadi satu-satunya daerah di Sultra yang mendapatkan alokasi pembangunan Sekolah Rakyat, yang diharapkan menjadi pusat pendidikan dan pelatihan produktivitas bagi anak-anak maupun orang tua.
Di sisi lain, Pemkot Kendari juga memperkuat ketahanan pangan dan pengendalian inflasi melalui Gerakan Pangan Murah (GPM) yang telah digelar sebanyak 78 kali sejak awal tahun. Program ini tidak hanya menyediakan bahan pokok dengan harga terjangkau, tetapi juga memberi subsidi dan bantuan langsung bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Sinergi antara pemerintah daerah, Bank Indonesia Sultra, dan pemerintah pusat melalui skema “Seindah” (Sinergi Pengendalian Inflasi Daerah Berbasis Pangan) diklaim berhasil menjaga stabilitas harga kebutuhan pokok. Hingga kini, sebanyak 129 kios pangan modern telah beroperasi di Kendari, menjadikan kota ini peringkat pertama di Sulawesi Tenggara dan kedua secara nasional dalam penyaluran beras SPHP.
Meskipun berbagai program dan capaian tersebut menunjukkan keseriusan pemerintah dalam menekan kemiskinan dan menjaga stabilitas ekonomi, namun persoalan ketahanan pangan sejatinya tidak dapat diselesaikan hanya dengan pendekatan teknis dan program bantuan semata. Di balik angka-angka keberhasilan itu, masih tersimpan akar masalah yang lebih mendalam, yakni sistem ekonomi kapitalisme sekuler yang menempatkan mekanisme pasar sebagai penentu utama distribusi pangan dan kesejahteraan. Ketika pangan menjadi komoditas yang dikendalikan oleh kepentingan korporasi besar, bukan lagi sebagai kebutuhan dasar rakyat yang dijamin negara, maka akses terhadap pangan yang layak dan terjangkau akan selalu timpang. Inilah yang menuntut telaah kritis terhadap arah kebijakan dan paradigma ekonomi yang digunakan dalam mengelola sumber daya pangan di era modern.
Ilusi Ketahanan Pangan dalam Kapitalisme
Dalam sistem kapitalisme, ketahanan pangan sering direpresentasikan sebagai “ketahanan pasar” daripada ketahanan nyata rakyat. Artinya, negara maupun lembaga resmi akan menyatakan bahwa stok pangan cukup, cadangan nasional aman, dan impor serta ekspor seimbang, padahal itu bisa saja hanya ilusi jika akses masyarakat ke pangan masih timpang. Paradigma ini memposisikan pangan sebagai komoditas ekonomis yang dikendalikan oleh mekanisme pasar, sehingga aspek sosial, keadilan dan hak terhadap pangan sering tersingkir. Sebutir beras atau kilogram beras tidak lagi dinilai dari nilai gizi, budaya pertanian lokal, atau hak dasar masyarakat, melainkan dari harga pasar dan margin keuntungan. Dalam kerangka kapitalisme logistik, harga tukar keuangan mengalahkan nilai sosial pangan sebagai bagian dari pemenuhan hak hidup.
Salah satu manifestasi nyata dari ilusi tersebut muncul dalam buruknya sistem distribusi pangan. Meskipun produksi pangan secara agregat bisa tampak mencukupi, distribusi yang dikuasai oleh pemain besar (korporasi, perusahaan logistik besar, rantai ritel modern) menyebabkan celah besar antara pusat stok dan wilayah-wilayah perdesaan atau daerah terpencil. Infrastruktur logistik sering dibangun bukan demi pemerataan akses bagi petani kecil atau masyarakat termarjinalkan, melainkan demi efisiensi pengiriman massal korporasi besar yang pada gilirannya memperlebar jarak distribusi. Bahkan, tidak jarang stok impor atau produksi nasional mengendap dalam gudang besar, sementara masyarakat di daerah kekurangan pangan. Sebuah kasus menohok: Ombudsman RI pernah mengekspos bahwa hampir 4 juta ton beras impor mengendap di gudang Bulog selama lebih dari satu tahun, sebuah gambaran nyata bagaimana hambatan distribusi mengubah surplus menjadi kelangkaan yang dirasakan.
Dominasi kepentingan kapitalis dalam rantai pangan kemudian memperkuat ketimpangan akses. Di tiap mata rantai dari pengumpul gabah, pedagang pengumpul, pengepul, eksportir-impor, pedagang besar, hingga ritel modern margin keuntungan dan pengaturan harga cenderung berpihak pada entitas yang memiliki modal besar. Petani kecil dengan produksi terbatas sering menjadi pihak lemah yang harus melepas komoditasnya lebih murah karena kebutuhan likuiditas, akses pasar terbatas, atau berada di ujung rantai distribusi. Di sisi konsumen, korporasi ritel dapat menahan stok, menerapkan markup, atau mengatur mekanisme kontrak eksklusif sehingga mereka menjadi “gatekeeper” akses pangan. Dalam konteks ini, modal besar bukan hanya memfasilitasi efisiensi, tapi juga mengunci kontrol terhadap distribusi pangan, sehingga ketahanan pangan menjadi monopoli pasar tertentu.
Ironisnya, kenaikan harga pangan kerap menjadi “alarm” yang justru dipromosikan sebagai bukti bahwa intervensi pemerintah atau mekanisme pasar sedang diuji. Padahal, sering kali kenaikan itu disebabkan oleh faktor-faktor spekulatif, instabilitas distribusi, penimbunan, kenaikan biaya logistik dan tenaga kerja, serta tekanan permintaan sesaat bukan semata kelangkaan nyata stok. Misalnya, beberapa waktu terakhir para ekonom mencatat lonjakan signifikan harga komoditas pokok seperti cabai, ayam dan telur di pasar tradisional akibat gangguan distribusi meski stok nasional bisa masih mencukupi. Di tingkat institusional pun, Badan Pangan Nasional melaporkan bahwa meskipun beberapa komoditas di tingkat produsen turun di bawah Harga Pembelian Pemerintah (HPP), harga konsumen berada di atas Harga Eceran Tertinggi (HET), seperti beras premium Rp 15.941/kg, beras medium Rp 13.817/kg, dan minyakita Rp 17.457/liter (badan pangan.go.id, 7/10/2025). Ini menunjukkan bahwa jarak antara harga produsen dan harga konsumen sering kali dimanfaatkan sebagai ruang keuntungan oleh pihak-pihak di tengah rantai distribusi, sementara masyarakat yang rentan menanggung beban kenaikan.
Untuk skala Sulawesi Tenggara sendiri, data kemiskinan di provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) memperlihatkan bahwa masalah akses pangan berkorelasi erat dengan kemiskinan struktural. Pada Maret 2025, persentase penduduk miskin di Sultra tercatat sebesar 10,54 %, dengan jumlah penduduk miskin sekitar 304,43 ribu orang. Garis kemiskinan (GK) per kapita mencapai Rp 488.171 di mana komposisi untuk kebutuhan pangan (makanan) sendiri adalah Rp 364.299 dan non-pangan Rp 123.872. Dengan rata-rata anggota rumah tangga miskin 5,48 orang, garis kemiskinan per rumah tangga miskin rata-rata sekitar Rp 2.675.171/bulan . Fakta ini menunjukkan bahwa sebagian besar anggaran rumah tangga miskin sudah hampir terserap untuk konsumsi pangan saja, menyisakan ruang sangat sempit untuk kebutuhan lain.
Lalu, pada tingkat harga komoditas pangan di Sultra, terlihat fluktuasi yang cukup tajam — terutama pada komoditas rempah dan sayur — yang menciptakan beban tambahan bagi masyarakat miskin. Sebagai contoh, harga cabai merah keriting di pasar tradisional provinsi Sultra sempat mencapai kisaran Rp 44.400/kg dalam beberapa periode. Harga tersebut termasuk tinggi dibandingkan pendapatan per kapita miskin yang terbatas. Dalam catatan panel harga Bapanas, beras kelas medium juga dipantau dengan harga rata-rata sekitar Rp 13.817/kg (sebagai contoh nasional) dan minyak goreng (Minyakita) berada di kisaran Rp 17.457/liter — yang kadang kala jauh melampaui daya beli rumah tangga miskin. Di Kendari sendiri, Dinas Ketahanan Pangan menyebut bahwa selama periode Lebaran 2025 harga bahan pokok (beras, bawang, cabai, tomat, telur, kentang, wortel) relatif stabil karena intervensi “operasi pasar” pemerintah, namun stabil dalam konteks yang sudah tinggi, bukan berarti murah atau mudah diakses oleh rumah tangga sangat miskin.
Dari sisi produksi dan distribusi lokal, petani di Sultra mengalami tantangan dalam mendapatkan harga layak dan akses pasar yang adil. Indeks Harga yang Diterima Petani (IT) untuk Sultra (mengacu basis 2018 = 100) menunjukkan bahwa petani sering tidak memperoleh harga yang sepadan dengan biaya produksi akibat tekanan input produksi (pupuk, benih, transportasi). Karena sistem pasar dipengaruhi oleh tengkulak, biaya logistik dan rantai distribusi yang panjang, selisih antara harga di tingkat petani dengan harga di tingkat konsumen menjadi sangat besar, sementara petani kecil tak punya kekuatan tawar. Dalam sistem kapitalis pangan, para pemain besar logistik atau distributor mengambil banyak margin di tengah rantai, meninggalkan petani di ujung rantai dengan margin tipis, padahal mereka penyedia produksi dasar.
Ironinya, meskipun pemerintah melalui program seperti Gerakan Pangan Murah (GPM) melakukan intervensi penstabilan harga di berbagai daerah Sultra termasuk Kendari , kenyataannya harga pokok masih sangat rentan terhadap tekanan spekulasi, kenaikan biaya transportasi, cuaca ekstrem atau disrupsi logistik. Ketika distribusi tersendat, atau ketika pelaku pasar menahan stok, implikasi kenaikan harga langsung dirasakan masyarakat terutama bagi mereka yang sudah berada dekat atau di bawah garis kemiskinan. Contoh: jika cabai naik menjadi Rp 50.000/kg sementara rumah tangga miskin hanya menyisakan sedikit ruang anggaran setelah konsumsi dasar, maka pola pangan mereka bisa bergeser ke pilihan lebih murah dan kurang bergizi. Akibatnya, meskipun pada level nasional atau provinsi diklaim “stok pangan cukup,” realitas lokal menunjukkan bahwa ketahanan pangan bagi masyarakat yang rentan tetap rapuh. Sebuah ilusi ketika distribusi dan daya beli tidak dijamin.
Keadilan Distribusi dalam Islam
Dalam sistem Khilafah Islam, ketahanan pangan tidak berdiri di atas mekanisme pasar bebas seperti dalam kapitalisme, melainkan di atas asas kepemilikan yang ditetapkan syariat. Tanah pertanian, sumber air, hutan, padang rumput, dan seluruh sumber daya publik dikategorikan sebagai milkiyah ‘ammah (kepemilikan umum), bukan milik individu atau korporasi. Negara berfungsi sebagai pengelola amanah tersebut agar hasilnya dapat dimanfaatkan secara langsung oleh rakyat. Rasulullah ﷺ bersabda, “Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara: air, padang rumput, dan api” (HR. Abu Dawud). Dengan prinsip ini, monopoli lahan pertanian dan eksploitasi pangan oleh korporasi besar dapat dicegah, sementara rakyat memiliki akses yang luas terhadap sumber daya produksi pangan.
Sistem Khilafah menetapkan bahwa negara memiliki tanggung jawab langsung dalam memastikan distribusi pangan berjalan merata ke seluruh wilayah. Negara tidak membiarkan mekanisme pasar menentukan siapa yang bisa makan dan siapa yang lapar. Melalui lembaga seperti Baitul Mal, pemerintah akan mengatur mekanisme pendistribusian hasil pertanian, baik dengan memfasilitasi transportasi, membangun gudang-gudang penyimpanan di tiap wilayah, maupun mengelola sistem cadangan pangan negara (diwan al-muwazanah). Dalam kondisi paceklik, daerah yang surplus wajib membantu daerah yang kekurangan, bukan berdasarkan untung rugi, melainkan atas dasar kewajiban ukhuwah dan tanggung jawab pemerintahan terhadap rakyatnya.
Khilafah menempatkan sektor pertanian sebagai salah satu pilar strategis ekonomi. Negara memberikan tanah kepada petani yang mampu mengelolanya dan mencabut hak kepemilikan dari orang yang membiarkan tanahnya tidak produktif selama tiga tahun berturut-turut (ihya’ul mawat dan iqtha’). Kebijakan ini mendorong pemerataan lahan dan produktivitas nasional tanpa harus bergantung pada impor. Negara juga bertanggung jawab menyediakan sarana pertanian seperti irigasi, benih unggul, pupuk, serta teknologi yang efisien tanpa memungut biaya komersial. Dengan demikian, produksi pangan tidak hanya meningkat secara kuantitatif, tetapi juga mandiri dari ketergantungan luar negeri.
Dalam sistem Khilafah, negara tidak menetapkan harga secara sewenang-wenang, tetapi memastikan pasar berjalan jujur dan bebas dari manipulasi. Islam melarang praktik ihtikar (penimbunan barang untuk menaikkan harga) dan tadlis (penipuan harga atau kualitas). Negara mengawasi para pedagang, memastikan distribusi tidak didominasi segelintir korporasi, dan memberikan sanksi keras kepada pihak yang menimbun bahan pangan untuk mencari keuntungan di tengah kesulitan rakyat. Jika terjadi krisis, Khalifah wajib turun tangan langsung dengan mengeluarkan stok dari Baitul Mal dan mendistribusikannya ke rakyat tanpa menjadikan situasi tersebut sebagai ajang komersialisasi. Prinsipnya, pangan adalah kebutuhan dasar yang wajib dijamin negara, bukan sarana untuk memperkaya kelompok tertentu.
Khilafah tidak membangun ketahanan pangan dengan konsep “ketergantungan global” sebagaimana dalam sistem kapitalis, tetapi dengan prinsip kifayah dzatiyah (kemandirian diri). Negara berupaya agar setiap wilayah mampu memproduksi kebutuhan pokoknya sendiri dan hanya melakukan perdagangan luar negeri bila untuk kelebihan produksi (surplus), bukan untuk menutupi kekurangan. Selain itu, solidaritas antarwilayah dalam satu Daulah Islam menjadi faktor penting. Jika satu provinsi dilanda bencana atau kekeringan, wilayah lain berkewajiban membantu melalui sistem distribusi pusat. Dengan begitu, ketahanan pangan bukan sekadar slogan, tetapi menjadi wujud nyata dari tanggung jawab pemerintahan Islam dalam menyejahterakan rakyat dan menjaga stabilitas kehidupan.
Dalam sejarah Khilafah Islam, ketahanan pangan merupakan bagian integral dari tanggung jawab negara terhadap rakyatnya. Sejak masa Khalifah Umar bin Khattab ra., sistem distribusi pangan dijalankan dengan sangat teratur melalui lembaga Baitul Mal dan kebijakan cadangan pangan negara. Ketika terjadi paceklik hebat pada tahun Ramadah (18 H), Umar tidak hanya mengandalkan stok Madinah, tetapi juga mengirim utusan ke Mesir dan Syam untuk meminta bantuan logistik berupa gandum dan kurma. Bantuan itu didistribusikan langsung kepada rakyat miskin tanpa perantara pedagang atau tengkulak. Umar bahkan menolak makan daging dan minyak hingga rakyatnya kembali sejahtera — menunjukkan bahwa dalam sistem khilafah, pemimpin bukan sekadar pengatur ekonomi, tetapi pelindung yang ikut merasakan derita rakyatnya.
Pada masa Khilafah Abbasiyah dan Utsmaniyah, sistem ketahanan pangan semakin maju dengan pembentukan diwan al-zira‘ah (departemen pertanian) dan pembangunan irigasi besar-besaran seperti kanal-kanal di Irak dan Mesir. Negara mengatur distribusi hasil pertanian antarwilayah, membangun lumbung-lumbung pangan strategis, serta memberi insentif bagi petani produktif. Di masa Khalifah Harun ar-Rasyid, misalnya, Irak dikenal sebagai lumbung gandum dunia dan surplusnya dikirim ke wilayah Hijaz untuk memenuhi kebutuhan jamaah haji. Pada era Utsmaniyah, sistem waqf pertanian juga berkembang, di mana hasil panen dari tanah wakaf digunakan untuk memberi makan fakir miskin dan santri. Sejarah ini membuktikan bahwa dalam Khilafah Islam, ketahanan pangan bukan hasil manipulasi data ekonomi, melainkan buah dari tata kelola yang berlandaskan keadilan dan tanggung jawab syar’i.
Sejarah mencatat bahwa pada masa pemerintahan Khilafah Islam, hampir tidak ditemukan rakyat yang kelaparan karena negara menjalankan fungsi ri’ayah (pengurusan urusan rakyat) secara nyata, bukan simbolik. Khalifah memastikan bahwa kebutuhan dasar setiap individu termasuk pangan terpenuhi dengan sistem distribusi yang adil dan pengelolaan sumber daya yang amanah. Pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz, misalnya, para amil zakat di berbagai wilayah melaporkan bahwa mereka kesulitan menemukan orang miskin yang berhak menerima zakat, karena seluruh rakyat telah tercukupi kebutuhannya. Di Afrika Utara, bahkan zakat dikirim ke luar wilayah karena tidak ada lagi fakir miskin yang kelaparan. Kondisi ini menunjukkan bahwa di bawah kepemimpinan Islam yang berlandaskan syariat, kesejahteraan dan ketahanan pangan bukan sekadar wacana ekonomi, tetapi realitas yang dirasakan seluruh rakyat tanpa terkecuali.
Krisis ketahanan pangan hari ini sejatinya bukan semata persoalan produksi dan buruknya distribusi, melainkan cermin dari rusaknya sistem yang menuhankan pasar dan mengabaikan hak hidup manusia. Selama pangan diperlakukan sebagai komoditas, bukan amanah yang wajib dijamin negara, maka kemiskinan dan kelaparan akan terus berulang meski data menunjukkan “surplus.” Saatnya umat membuka mata bahwa solusi hakiki tidak lahir dari tambalan kebijakan kapitalistik, melainkan dari sistem yang menempatkan penguasa sebagai pelindung, bukan pedagang; yang menegakkan keadilan bukan untuk kepentingan modal, tetapi untuk kesejahteraan seluruh rakyat sebagaimana yang pernah terwujud gemilang dalam naungan Khilafah Islam.
Wallahualam bishshawab.