| 6 Views

Bak Buah Simalakama: Dilema Guru Membiarkan Dicela, Mendisiplinkan Dipenjara

Oleh: Ika Kusuma 

Satu pekan terahir telah terjadi 2 kasus berbeda terkait pelanggaran siswa yang merokok di lingkungan sekolah. Di Makasar, beredar luas di media sosial foto seorang guru yang diam seolah membiarkan seorang siswa SMA yang duduk disebelahnya merokok sambil mengangkat kaki. (suara.com, 18 Oktober 2025). 

Sementara itu di Banten, Kepala Sekolah SMAN 1 Cimarga sempat dilaporkan ke polisi meski akhirnya berujung damai setelah sebelumnya diduga menampar siswanya yang kedapatan melanggar peraturan merokok di lingkungan sekolah. (detiknews, 16 Oktober 2025). 

Dua peristiwa pelanggaran yang sama namun dengan respons berbeda nyatanya juga menuai reaksi yang berbeda di hadapan publik hari ini. Ketika seorang guru lebih memilih untuk berhati-hati bertindak,  justru dianggap sebagai sikap pembiaran. Namun ketika guru memilih untuk tegas, nyatanya dinilai melakukan kekerasan yang  dan dianggap melanggar HAM. Sungguh situasi yang membingungkan untuk bersikap bagi tenaga pendidik hari ini. Adanya ruang abu-abu dalam penerapan disiplin serta runtuhnya marwah kewibawaan guru adalah akar masalahnya. 

Pada satu sisi, siswa merasa punya hak mengekspresikan diri meskipun keluar dari batas etika dengan berlindung dibalik HAM. Sedangkan seorang guru seolah terkekang tak berdaya dengan konsekuensi yang harus diterima andai dia memilih tegas mendisiplinkan muridnya. 

Kehidupan sekular hari ini telah menjanjikan kebebasan yang kebablasan. Terlebih nilai agama  tak lagi dipakai sebagai pedoman dalam bertindak. Begitupula dalam dunia pendidikan sekular yang terbukti gagal membentuk moral generasinya. Pemuda hari ini jauh dari pemahaman agama yang sarat moral dan etika. Mereka juga seolah kehilangan pedoman yang benar dalam bertindak. 

Nasib seorang guru juga tak mendapat perlindungan jelas dalam sistem pendidikan sekular hari ini. Dalam sistem kapitalisme sekularisme, guru tak ubah hanya sebuah komponen penggerak ekonomi, tak berbeda jauh dari seorang buruh hingga hilang marwah sebagai pendidik yang harus ditaati dan dihormati. 

Sementara itu, meskipun saat ini merokok di kalangan remaja seolah menjadi trend yang dinormalisasi, mirisnya lagi  WHO menyebut remaja menjadi sasaran baru industri rokok, namun negara seolah abai. Mengapa? Sebab kapitalisme yang dianut negara saat ini menjadikan asas manfaat sebagai fondasi di setiap kebijakan yang diambil. Industri rokok menjanjikan keuntungan besar, sebab itulah industri ini tetap eksis dan terus berkembang meskipun berisiko mengancam keselamatan masyarakat. 

Jelas sudah akar permasalahan semua ini adalah pada penerapan sistem yang salah,  yakni kapitalisme sekularisme. Negara menjadi kehilangan fungsinya dan rakyat kehilangan pelindungnya. Padahal Allah telah menghadirkan sistem yang sempurna untuk mengatur manusia, yaitu sistem Islam. 

Mari coba kita simulasikan andai sistem Islam yang diterapkan dalam kasus hari ini. Dalam hukum Islam, merokok memang mubah, namun Islam juga melarang segala bentuk kegiatan yang membahayakan diri sendiri dan orang lain. Dalam hal ini merokok jelas berisiko, baik bagi perokok pasif maupun aktif, jadi lebih utama untuk ditinggalkan. Negara dalam sistem Islam hadir sebagai pemelihara umat (raa' in) sekaligus pelindung (junnah). Negara akan mengutamakan kemaslahatan umat dibandingkan keuntungan materi dalam menentukan kebijakan terkait beredarnya rokok dalam masyarakat. 

Pada aspek pendidikan, dalam kitab Nidhamul  Islam  karya Syekh Taqiyuddin An-Nabhani dijelaskan bahwa sistem pendidikan Islam dibangun berlandaskan Islam dan menjadikan tsaqafah Islam sebagai kurikulumnya. Sistem pendidikan ini mampu mencetak  generasi yang bersyakshiyah (berkepribadian) Islam, di mana pola pikir dan sikapnya hanya dilandaskan pada syariat Islam.

Pemudanya akan tumbuh menjadi pemuda yang beretika dan bermoral sesuai standar Allah SWT. Setiap murid paham bagaimana adab memperlakukan gurunya. Demikian pula sebaliknya, guru akan senantiasa berusaha menjadi teladan yang baik bagi muridnya. 

Guru mendapatkan posisi yang mulia dalam Islam sebab keberadaanya sebagai pilar peradaban, yang tak hanya sebagai gudang ilmu, namun juga membentuk generasi cemerlang. Karena posisi penting itulah, negara menjamin kesejahteraan guru dengan gaji besar dan layak sehingga guru bisa lebih fokus mengajarkan ilmu tanpa perlu gusar memikirkan kehidupan ekonominya. 

Islam tidak membenarkan segala bentuk kekerasan tanpa adanya unsur syar'i. Namun, Islam memperbolehkan memukul dalam rangka mendisiplinkan seperti disebutkan dalam hadis:

Rasulullah SAW berikut, “Suruhlah anak-anakmu melaksanakan salat ketika mereka berumur tujuh tahun dan pukullah mereka karena meninggalkan salat itu jika berumur sepuluh tahun dan pisahkanlah tempat tidur mereka." (HR Abu Dawud). Tentunya saja pukulan tersebut dengan  syarat tidak menyakitkan dan bertujuan untuk mengajarkan disiplin. 

Maka ketika hari ini posisi guru tak lagi berwibawa serta bak buah simalakama ketika ingin bertindak tegas, semua karena penerapan sistem kehidupan yang salah. Sistem buatan manusia ini jauh dari kata sempurna dan penuh problematika dari segala sisi. Jadi ketika ada sistem Allah yang jelas sempurna mengatur kehidupan manusia, mengapa kita harus ragu untuk menerapkannya? Bukankah sejarah panjang telah jelas membuktikan ketika kehidupan diatur dengan sistem Islam, peradaban manusia menjadi sejahtera. Bahkan peradaban Islam jadi mercusuar ilmu dan ekonomi di dunia pada saat itu selama 13 abad. Bukankah umat telah merindu kehidupan yang sejahtera dan damai seperti kala itu? Maka tak ada jalan lain selain menerapkan sistem Islam secara kafah dalam naungan institusi khilafah.  

Wallahulam bishawab.


Share this article via

0 Shares

0 Comment