| 6 Views

Fatherless: Luka Sosial dari Sistem yang Merenggut Peran Ayah

Oleh : Kursiyah Azis

Penulis dan Aktivis Muslimah

Fenomena fatherless atau ketiadaan figur ayah dalam kehidupan anak hari ini kian marak dibicarakan. Bukan hanya karena meningkatnya perceraian, tetapi juga karena sistem hidup modern telah menyingkirkan ayah dari peran sejatinya sebagai pemimpin dan pendidik keluarga. Akibatnya, banyak anak tumbuh tanpa arah, kehilangan teladan, hingga akhirnya rapuh dalam menghadapi kehidupan.

Melansir dari Kompas.co, 10/10/2025 di salindia terakhir yang berisi balon obrolan berwarna putih-hijau, Rut Helga (31) meminjamkan papanya pada warganet. Sang papa tersentuh menanggapi cerita warganet yang mengalami fatherless. Konten yang terdiri dari empat salindia itu terbit di Instagram @ruthhelga pada 17 Juli 2025. Hingga Senin (18/8/2025), konten tersebut sudah disukai 32.400

Tagar.co juga dipublikasikan Kompas 8 Oktober 2025 menunjukkan kenyataan mengejutkan, yakni sekitar seperlima anak Indonesia, atau 20,1 persen (15,9 juta anak), tumbuh tanpa pengasuhan ayah atau mengalami kondisi yang dikenal sebagai fatherless.

Angka ini bukan sekadar statistik. Ini adalah cermin persoalan mendalam dalam struktur keluarga dan budaya kerja di Indonesia yang sering menempatkan ayah sebagai sosok pencari nafkah semata, bukan pendidik emosional dan teladan utama bagi anak-anaknya. Semua itu disebabkan oleh beberapa hal, di antaranya: pertama. Krisis Institusi Keluarga.

Banyak keluarga saat ini  kehilangan fungsi utamanya sebagai tempat pembentukan karakter dan pendidikan pertama anak. Ditambah pula ketika terjadi perceraian, maka pernikahan otomatis kian rapuh akibat tekanan ekonomi, gaya hidup individualis, dan lemahnya komitmen terhadap nilai agama.

Ke dua. Tekanan Ekonomi dan Sistem Kapitalisme. Dalam sistem kapitalis, ayah lebih diposisikan sebagai pencari nafkah semata, bukan sebagai pendidik dan pemimpin keluarga. Sehingga tidak heran ketika banyak ayah sibuk bekerja berlebihan, jauh dari rumah demi bertahan hidup. Sebaliknya, ada pula ayah kehilangan pekerjaan atau peran ekonomi, lalu merasa tidak berharga, sehingga menjauh dari keluarga.

Ketiga. Pengaruh Ideologi Sekuler dan Feminisme. Tak di pungkiri bahwa arus sekularisme telah menyingkirkan nilai agama dari tata keluarga. Sekularisme menolak campur tangan agama dalam pengaturan kehidupan sosial, ekonomi, dan keluarga. Akibatnya, nilai-nilai keluarga yang semestinya dibangun di atas prinsip tanggung jawab, kepemimpinan, dan kasih sayang dalam bingkai syariat menjadi kabur atau bahkan nyaris tak kasat mata.

Sistem Sekuler Merusak Peran Ayah

Pemisahan agama dari kehidupan memunculkan Ide kebebasan yang merupakan misi utama sistem Sekuler telah nyata merusak peran ayah. Para ayah tereduksi hanya menjadi pencari nafkah, bukan pemimpin dan pendidik keluarga. Akibatnya Keluarga kehilangan arah spiritual karena agama dianggap urusan pribadi, bukan pondasi sosial.

Jika sudah demikian maka Ikatan pernikahan akan melemah, karena tidak lagi dianggap sakral, tetapi kontrak sosial yang bisa diputus kapan saja. Peran agama nihil. Sehingga tak heran, jika  angka perceraian meningkat, dan anak-anak tumbuh tanpa figur ayah yang hadir secara fisik maupun emosional.

Sistem sekuler yang mengatur kehidupan saat ini perlahan telah sukses menggerus peran ayah. Kapitalisme selalu menuntut laki-laki bekerja tanpa batas demi bertahan hidup, hingga mereka kehilangan waktu dan kesempatan membina keluarga. Sementara disisi lain ide feminisme modern mendorong perempuan untuk mengambil semua peran, bahkan mereka menolak kepemimpinan laki-laki dalam rumah tangga. Dua ide besar ini, yakni kapitalisme dan feminisme telah menciptakan keluarga tanpa keseimbangan.

Peran Ayah dalam Pandangan Islam

Dalam pandangan Islam, ayah bukan sekadar pencari nafkah. Ia adalah qawwam, pemimpin dan penjaga keluarga. Ia bertanggung jawab membimbing istri dan anak dalam ketaatan kepada Allah, memastikan rumah menjadi tempat tumbuhnya iman dan akhlak. Ketika peran ini hilang, maka lahirlah generasi tanpa pegangan, mudah terpengaruh gaya hidup liberal, dan jauh dari nilai Islam.

Akibatnya nyata. Berbagai penelitian menunjukkan, anak-anak yang tumbuh tanpa figur ayah lebih rentan mengalami masalah kepribadian, kenakalan remaja, hingga gangguan mental. Di Barat, fenomena fatherless generation sudah menjadi krisis sosial yang menahun. Ironisnya, negeri-negeri Muslim yang meniru sistem mereka kini mulai menuai dampak serupa tanpa adanya kesadaran sedikitpun.

Islam Menawarkan Solusi Kaffah

Islam sejatinya memiliki solusi agar terhindar dari kondisi fatherless. Dalam sistem Islam, ayah tidak dibiarkan tenggelam dalam tuntutan ekonomi yang menindas. Negara berkewajiban menjamin kebutuhan dasar rakyat, sehingga laki-laki bisa menunaikan fungsi kepemimpinannya dengan tenang. Islam juga tidak menempatkan perempuan sebagai pesaing laki-laki, melainkan sebagai mitra yang saling melengkapi dalam membangun generasi beriman.

Karena itu, solusi fatherless bukanlah dengan “memberdayakan” ibu agar menggantikan ayah, tetapi dengan mengembalikan sistem hidup kepada syariat Islam secara kaffah. Hanya sistem Islam yang mampu menempatkan peran keluarga sesuai fitrahnya. Karena seharusnya fitrah ayah sebagai pemimpin, ibu sebagai pendidik utama, dan anak sebagai amanah yang dijaga bersama.

Olehnya itu maka meneguhkan Kembali Kepemimpinan Ayah menjadi sebuah keharusan agar fenomena fatherless tak lagi merajalela di tengah kehidupan keluarga.

Di tengah gempuran nilai sekuler yang menormalisasi fatherless, kaum Muslim justru harus tampil meneguhkan kembali peran ayah sebagai penjaga keluarga dan pelindung generasi. Bukan hanya demi ketahanan keluarga, tetapi demi tegaknya peradaban Islam yang kokoh.

Karena sesungguhnya, hilangnya sosok ayah bukan sekadar masalah keluarga namun ia adalah luka sosial dari sistem yang rusak. Dan luka itu hanya akan sembuh bila kehidupan kembali diatur oleh sistem yang benar, yaitu Islam kaffah, dalam naungan khilafah.

Wallahu alam.


Share this article via

0 Shares

0 Comment