| 188 Views
Kenapa Kekerasan Anak terus Kembali Terulang Seperti Kaset Rusak?

Oleh : Elma Pebiriani
Anak merupakan suatu anugrah dan titipan yang diberikan oleh Allah, hanya kepada orang-orang tertentu dan terpilih sajalah Allah percayakan kehadirannya. Ada yang benar-benar siap tetapi Allah belum berikan, sedangkan ada juga yang belum siap diamanahi tetapi Allah sudah berikan anak di dalam hidupnya. Ada yang bahagia menyambut kehadirannya tetapi ada juga yang sedih dan tidak suka kehadirannya.
Ingatkah kalian dengan slogan orang tua zaman dahulu yang mengatakan bahwa “banyak anak banyak rezeqi”?. Karena slogan tersebut itulah orang tua zaman dulu pasti memiliki anak lebih dari 2, ada yang memiliki anak 5 bahkan sampai 12 pun ada. Dengan keadaan yang sederhana mereka bisa mencetak generasi yang sukses dunia akhirat.
“2 anak cukup”. Itulah slogan yang digencarkan oleh pemerintah sekarang. Nyatanya menghidupkan dan mendidik 2 orang anak saja dizaman kapitalis sekarang memang benar-benar menguras fisik dan mental. Jika tidak kuat iman dan ilmu agama yang benar pastilah kita akan gugur ditengah jalan.
Zaman kapitalis ini kita dituntut untuk bekerja banting tulang dengan alasan ingin hidup kaya raya, ingin hidup berkecukupan atau bahkan ingin hidup bahagia ala-ala kapitalis, bukan bahagia ala-ala yang telah Islam ajarkan, sehingga peran kita sebagai seorang manusia, sebagai orang tua, sebagai anak, sebagai ciptaan pun melupakan tujuan hidup yang sebenarnya karena sistem kapitalis sekuler telah memisahkan kehidupannya dari aturan agama.
Contoh nyata hasil dari kerusakan sistem yang sekarang ini adalah masalah anak. Bila kita kaji dan kita perhatikan, kasus kekerasan terhadap anak meningkat 3x lipat dari tahun sebelumnya. Sepanjang tahun 2023 ini sudah terdapat 2.797 kasus kekerasan anak yang meliputi kekerasan fisik/psikis bahkan kekerasan secara seksual terhadap anak menempati urutan yang paling pertama dari jumlah korban terbanyak sejak tahun 2019 hingga 2023. Mirisnya, tingginya angka kekerasan terhadap anak pada tahun 2023 tersebut baru sampai bulan November, masih ada data bulan Desember lagi yang belum diolah. [Sumber: Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (simfoni PPA)].
Mungkin kita akan biasa saja melihat data tersebut, tetapi setelah kita melihat dan mengikuti secara langsung kasus yang sedang viral disosial media, yang dimana ada seorang anak dari selegram tanah air yang dianiaya dan dihajar oleh pengasuhnya sendiri secara sadis hingga babak belur, barulah kita merasa ngeh dengan keadaan sekitar bahwa sekarang ini kasus kekerasan anak bukanlah kasus yang biasa saja, tetapi ini membuktikan bahwa hak dan perlindungan seorang anak perlu dipertanyakan kembali, sudahkah anak kita aman? Sudahkah anak kita terlindungi?.
Pengasuh anak tersebut mengatakan alasanya mengapa sampai tega menganiaya anak yang berumur 3 tahun tersebut. Dia mengatakan bahwa si anak menolak diobati untuk menyembuhkan luka cakarnya, dan alasan lainnya karena ada salah satu anggota keluarga yang sedang sakit, namun itu bukanlah menjadi alasan agar bisa membenarkan perbuatan tersebut. Akibat perbuatannya itu, si pengasuh dijerat dengan Pasal 80 (1) sub (2) Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 23/2002 sub Pasal 77 UU No. 35/2014 Perubahan atas UU No. 23/2022 tentang Perlindungan Anak, dengan ancaman 5 tahun penjara dan denda Rp 100 juta. Dengan hukuman tersebut apakah akan membuat efek jera dan takut untuk orang melakukan tindakan kekerasan terhadap anak?. Nyatanya kasus ini kian tahun kian meningkat tajam.
Disekolah pun tidak luput dari masalah ini. Banyak kasus bullying dan perundungan yang terjadi disekolah dengan alasan kasta dan kekayaan, kearoganan, game online, sosial media, serta jabatan dan kekuasaan sehingga mereka dengan semena-mena menindas yang lemah.
Menurut KPAI, ada 7 penyebab maraknya kekerasan pada anak, diantaranya budaya patriaki, penelantaran anak, pola asuh, rendahnya kontrol anak, menganggap anak sebagai aset dari orang tua, kurangnya kesadaran melaporkan anaknya tindakan kekerasan, pengaruh media dan maraknya pornografi, disiplin identik dengan kekerasan, serta merosotnya moral.
Tapi apakah kalian semua percaya, bahwa faktor atau penyebab yang paling utama disini adalah sistem sekuler yang diterapkan oleh kebanyakan Negara termasuk Indonesia?. Pemikiran serta cara pandang sekuler yang tidak menjadikan Islam sebagai standar dan dasar dalam mendidik, mengakibatkan anak tumbuh dengan kepribadian yang jauh dari ketakwaan. Bagaimana korelasi sekularisme dengan faktor-faktor penyebab yang dikemukakan KPAI?.
Apakah budaya patriaki memberi kontribusi kekerasan pada anak?. Seperti yang kita tahu bahwa patriaki ini memandang perempuan lah yang dianggap sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam mengurus dan mengasuh anak. Lalu peran seorang ayah hanya dimaknai sebagai pencari nafkah saja, sehingga alasan sibuk bekerja menjadi pembenaran bagi para ayah tidak banyak ikut terlibat dalam pengasuhan anak. Sedangkan di dalam islam memang benar ibu adalah madrasah utama, tetapi ada peran ayah juga di dalamnya.
Seorang ayah bukan hanya sebagai pencari nafkah saja, tetapi sebagai panutan, pembimbing dan sahabat bagi anak-anaknya. Di dalam Al-qur’an banyak mengisahkan bagaimana Nabi sekaligus sebagai ayah mendidik anak-anaknya dengan baik. Seperti Nabi Ibrahim kepada Nabi Ismail serta Nabi Zakaria kepada Nabi Yahya. Disini terlihat jelas bagaimana pentingnya peran seorang ayah dalam membentuk sifat dan akhlak anak-anak mereka sehingga menjadi anak yang taat serta shaleh.
Zaman sekarang banyak orang tua yang menelantarkan anak, salah dalam pola asuh, rendahnya kontrol terhadap anak serta merosotnya moral. Hal ini sebenarnya kembali lagi kepada pemikiran orang tua dalam mendidik anak mereka. Jika menggunakan pemikiran sekuler, anak terlantar terjadi karena banyak faktor, seperti kesibukan orang tua dalam bekerja, orang tua tidak memahami tanggung jawab pengasuhan atau bahkan perceraian. Alhasil, anak tumbuh dengan sendirinya tanpa bimbingan serta pengawasan dan pendidikan.
Ketika keluarga tidak menerapkan pola asuh sesuai Islam, seperti penanaman akidah Islam pada anak sejak dini, maka anak akan kehilangan identitas dirinya sebagai hamba Allah yang taat. Hasilnya, anak yang tidak terbentuk ketaatan pada Tuhannya cenderung permisif dan rentan berbuat maksiat.
Pengaruh media dan maraknya pornografi seharusnya menjadi ranah Negara dalam melakukan pencegahan. Negara harusnya melalukan kontrol serta pengawasan terhadap situs, konten, tayangan, tontonan serta film yang berbau pornografi serta kekerasan. Akan tetapi, Negara yang menganut sistem sekuler mematahkan peran Negara dalam aspek ini. Film-film maupun konten yang berbau maksiat bertebaran dimana-mana, bahkan aksesnya pun mudah dijangkau. Tontonan pun menjadi tuntunan. Penuntun mereka dalam bertingkah laku bukan lagi Islam. Pandangan sekuler melahirkan gaya hidup dan pemikiran liberal yang menghasilkan kebebasan berekspresi dan bertingkah laku.
Selanjutnya, perangkat hukum yang belum memberikan efek jera. UU dalam Perlindungan Anak faktanya belum mampu mengupas tuntas masalah kekerasan anak ini, bahkan angka kekerasan terhadap anak kian meningkat bukan menurun. Artinya, Negara lemah dalam menjamin dan melindungi anak dari kekerasan. Meskipun diseluruh Indonesia diterapkan kota atau sekolah ramah anak, jika sistem sekuler masih eksis, dampak positifnya tidak terlihat.
Di dalam Islam, anak adalah aset berharga sebuah bangsa. Karena mereka inilah calon generasi masa depan yang akan membangun peradaban manusia. Seberapa gemilang dan seburuk apa peradaban tersebut bergantung pada kualitas SDM. Jika generasi penerus kita menjadi pelaku atau korban kekerasan, bisakah kita bayangkan peradaban yang seperti apa yang akan terbentuk nantinya?. Oleh karena itu, Islam meletakkan perhatiannya secara penuh dalam mewujudkan generasi cerdas dan berkualitas, baik secara akademis, emosional dan spiritual.
Perlindungan dalam Islam meliputi, fisik, psikis, intelektual, moral, ekonomi, dan lainnya. Dalam Islam juga terdapat 3 pihak yang berkewajiban menjaga dan menjamin kebutuhan anak-anak. Pertama, keluarga sebagai madrasah utama dan pertama. Ayah dan ibu harus bekerja sama mendidik, mengasuh, mencukupi gizi anak, dan menjaga mereka dengan basis keimanan dan ketakwaan kepada Allah Ta’ala.
Kedua, lingkungan. Dalam hal ini masyarakat berperan dalam menciptakan lingkungan yang kondusif bagi tumbuh kembang anak. Masyarakat adalah pengontrol perilaku anak dari kejahatan dan kemaksiatan. Dengan penerapan sistem sosial Islam, masyarakat akan terbiasa melakukan amar makruf nahi mungkar kepada siapa pun sehingga orang tua tidak akan was-was ketika anaknya bermain dan bersosialisasi diluar. Budaya inilah yang tidak akan ada dalam sistem sekuler kapitalis.
Ketiga, Negara sebagai peran kunci mewujudkan sistem pendidikan, sosial dan keamanan dalam melindungi generasi. Fungsi Negara adalah memberikan pemenuhan kebutuhan berupa sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan dan keamanan setiap anak. Negara juga menerapkan sistem sanksi Islam. Sepanjang hukum Islam ditegakkan, kriminalitas jarang terjadi, karena sanksi Islam memberikan efek jera bagi pelaku sehingga tidak akan ada cerita kasus kejahatan atau kekerasan berulang terjadi.
Tiga pilar pelindung generasi, yaitu keluarga, masyarakat dan Negara, tidak akan berjalan maksimal dan optimal tanpa penerapan syariat Islam secara kaffah atau menyeluruh. Penerapan Islam secara menyeluruh ini hanya bisa dilakukan dalam wujud sistem khilafah. Wallahu’alam. Jadi, Yuk Ngaji.
Sumber:
https://muslimahnews.net/2024/04/02/28462/