| 9 Views
Judol Menyasar Anak, Bukti Negara Gagal Melindungi Generasi

Oleh : Siti Rodiah
Indonesia masih menjadi basis maraknya kasus judi online yang melibatkan atau menyasar anak-anak. Diberitakan dari CNBCIndonesia.com (8/5/2025) bahwa transaksi judi online atau judol tersebut telah dilakukan oleh anak-anak sejak berusia 10 tahun di Indonesia. Ini merupakan hasil temuan Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
Temuan ini diungkap PPATK dalam Program Mentoring Berbasis Risiko (Promensisko). Promensisko bertujuan memperkuat kapasitas pemangku kepentingan dalam memahami pola, mendeteksi dini, dan merespons secara efektif tindak pidana pencucian uang berbasis digital.
Data kuartal I-2025, yang dikumpulkan oleh PPATK menunjukkan jumlah deposit yang dilakukan oleh pemain berusia 10-16 Tahun lebih dari Rp 2,2 miliar. Usia 17-19 tahun mencapai Rp 47,9 miliar dan deposit yang tertinggi usia antara 31-40 Tahun mencapai Rp 2,5 triliun.
Meski demikian, PPATK mencatat, jumlah transaksi judi online mengalami penurunan sekitar 80% pada kuartal I-2025 bila dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu. Jumlah transaksi pada periode Januari hingga Maret 2025 sebesar 39.818.000 transaksi, Jika dipertahankan, hingga akhir tahun 2025 diperkirakan jumlah transaksi akan tertekan hingga sekitar 160 juta transaksi.
Fenomena maraknya judi online yang menyasar anak-anak bukanlah sebuah kebetulan atau hanya sekadar dampak sampingan dari perkembangan teknologi digital, melainkan sebuah konsekuensi yang logis dari penerapan sistem kapitalisme. Sistem kapitalisme menjadikan keuntungan sebagai tujuan utama, meski harus merusak generasi muda. Para pelaku industri judol dengan sengaja membuat tampilan permainan yang menarik, penuh warna dan mirip game yang disukai anak-anak sehingga membuat mereka tertarik, kecanduan dan akhirnya menjadi konsumen tetap. Dengan kata lain industri ini memanfaatkan celah psikologis dan visual untuk menarik anak-anak. Inilah wajah asli kapitalisme, rakus dan tidak mengenal batas moral.
Pemerintah tidak memiliki upaya serius dan sistematis dalam mencegah maupun mengatasi judi online. Pemutusan akses dilakukan setengah hati dan tebang pilih, sementara banyak situs tetap aktif. Ini membuktikan bahwa demokrasi kapitalisme tidak memiliki solusi hakiki dalam menyelamatkan generasi muda dari kriminalitas.
Apalagi industri bisnis judol juga didukung oleh teknologi yang canggih dan unggul. Para bos atau bandar judol memiliki banyak uang sehingga dengan mudah mampu membeli teknologi sekaligus pakarnya. Inilah salah satu sebab yang membuat pemerintah kerepotan menghadang banjir website atau situs judi karena kalah unggul dalam teknologi.
Orang tua khususnya ibu punya peran sentral dalam membentengi anak dari kerusakan moral, termasuk jebakan judi online. Keluarga Muslim akan melahirkan anak-anak yang kuat secara akidah dan tidak mudah bermaksiat. Namun ini akan sulit jika orang tua sendiri terbebani ekonomi dan tak sempat mendidik anak. Sistem ekonomi kapitalisme telah memaksa banyak ibu untuk bekerja demi memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Sehingga wajar saja waktu para ibu untuk mendidik anak menjadi terbatas, maka tak ayal generasi semakin hancur akibat jerat judi online.
Disisi lain kurikulum pendidikan dalam sistem kapitalisme tidak dirancang untuk membentuk anak didik yang sholih dan sholihah (berkepribadian Islam), tetapi semata-mata untuk memenuhi kebutuhan pasar industri. Sistem pendidikan tersebut otomatis akan melahirkan generasi yang berkepribadian lemah, sehingga mereka tidak mampu menyaring berbagai informasi yang benar dan salah. Akibatnya anak-anak tersebut mudah terbawa arus informasi, apalagi di era revolusi industri berbasis internet yang mudah diakses oleh siapa pun.
Berbeda dengan sistem pendidikan Islam yang tidak hanya fokus pada akademik, tapi juga membentuk pola pikir dan sikap sesuai ajaran Islam. Anak-anak dididik untuk menjadikan halal-haram sebagai standar dalam berperilaku, termasuk literasi digital sesuai batasan syariat. Dalam pasal 167 Rancangan Undang-Undang Negara Islam meyebut, "Tujuan pendidikan adalah membentuk kepribadian Islam (syakhshiyah islamiah) dan membekalinya dengan ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan masalah kehidupan. Metode pendidikan dirancang untuk merealisasikan tujuan tersebut. Setiap metode yang berorientasi bukan kepada tujuan tersebut dilarang.”
Negara dalam sistem Islam (Khilafah) bertugas menjaga rakyat dari segala bentuk kerusakan, termasuk judi online. Negara mampu menutup akses secara menyeluruh dan mencegah konten-konten merusak lainnya. Digitalisasi akan diarahkan untuk kemaslahatan rakyat.
Dalam sistem Khilafah, tidak akan ada celah bagi transaksi ekonomi yang diharamkan syariat termasuk judi apa pun bentuknya, baik online ataupun offline. Sistem Khilafah akan menerapkan sanksi bagi para pelaku judi yang tentunya dapat menjadi pencegah (zawajir) dan penebus (jawabir). Sanksi pidana perjudian adalah takzir, yakni hukuman atas tindak pidana yang sanksinya sepenuhnya ditentukan berdasarkan ijtihad khalifah. Dengan sistem Khilafah, generasi akan terselamatkan dari berbagai kerusakan, termasuk judol.
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan,” (QS. Al-Maidah: 90)
Wallahu a'lam bisshawab