| 80 Views
Iran dan Israel Bersitegang, Dimanakah Peran Kita?

Oleh : Gien Rizuka
Beberapa waktu lalu konflik antara Iran dan Israel tengah mengalami penurunan intensitas berkat gencatan senjata sejak 24 Juni, isu program nuklir Iran kembali mengemuka, yang memicu ketegangan antara Teheran dan Badan Energi Atom Internasional (IAEA).
Sengketa nuklir inilah yang menjadi akar utama konflik Iran-Israel. Perang yang berlangsung selama 12 hari ini dipicu oleh serangan udara Israel terhadap Iran pada 13 Juni lalu, dengan motif mencegah pengembangan senjata nuklir oleh Teheran. Kemudian serangan ini dibalas oleh Iran yang menyebabkan ratusan korban jiwa serta ribuan orang terluka.
Selama perang berlangsung, hanya jaringan nuklir Iran yang menjadi sasaran serangan intensif AS. Amerika saat itu telah membombardir tiga situs utama nuklir Iran, yaitu Natanz, Isfahan, dan Fordow.
Namun ketika rentetan serangan tersebut mereda, di sisi lain muncul informasi yang saling bersebrangan terkait sejauh mana kerusakan fasilitas yang terjadi di wilayah tersebut.
Donald Trump, sebagai presiden AS menyatakan bahwa fasilitas tersebut hancur total, meskipun beberapa data intelijen mengklaimnya. Bahkan Iran saja menyatakan bahwa sebelumnya mereka telah memindahkan bahan nuklir dari lokasi sebelum fasilitas itu diserang.
Ketegangan terus berlanjut tatkala IAEA, sebagai lembaga otonom yang berafiliasi dengan PBB, berusaha untuk melakukan inspeksi dan memasang kamera pemantau di lokasi nuklir Iran, namun ditolak oleh Teheran. Bahkan, Direktur Jenderal IAEA, Rafael Mariano Grossi, dilarang memasuki wilayah Iran.
Teheran menuduh IAEA berpihak pada kepentingan politik AS dan Israel, serta menjadikan laporan teknis sebagai alasan untuk membenarkan intervensi militer.
Dari sini pemerintah Iran secara terbuka menuduh Grossi dan IAEA bersikap tidak netral, serta memiliki kedekatan dengan Israel. Kementerian Luar Negeri Iran bahkan menyebut Grossi sebagai “sekutu” dalam apa yang mereka anggap sebagai agresi Israel terhadap Iran.
Iran menyebut bahwa selama ini data-data laporan IAEA telah dijadikan Israel sebagai dasar untuk menyerang fasilitas nuklir mereka. Iran pun menyoroti kebijakan IAEA pada Israel yang demikian juga memiliki senjata nuklir tetapi tidak pernah ditegur IAEA. Menurut Iran, sampai saat ini AS belum menandatangani Traktat Nonproliferasi Nuklir (NPT).
Hasil dari respon tersebut, parlemen Iran pun bersegera menyusun undang-undang untuk memutuskan kerja sama dengan IAEA.
Kebijakan ini mencakup pada penghentian inspeksi, pelaporan rutin dan pengawasan IAEA terhadap program nuklir Iran. Meski belum disahkan Dewan Keamanan Nasional Tertinggi Iran, akan tetapi membuat langkah Iran kian signifikan di kebijakan nuklir Teheran.
Iran berinisiatif mempercepat pengembangan teknologi nuklir untuk kepentingan sipil dan menegaskan bahwa mereka tidak lagi terikat dengan kewajiban di bawah NPT. Iran mencap IAEA yang dinilai tidak objektif dan tidak bisa mencegah aksi serangan Israel pada fasilitas nuklir mereka.
Apa kabar Gerak Negeri-Negeri Arab?
Dalam konflik Iran dan Israel ini tidak terlepas dari Amerika Serikat sebagai negara adidaya kapitalisme yang memiliki banyak sekutu dan beberapa wadah untuk menjalankan programnya. Melalui tangan-tangan termasuk IAEA, AS berusaha menaklukkan kembali Iran untuk mempertahankan adikuasa di Timur tengah dan menggunakan Israel sebagai tameng untuk menekan Iran.
Namun kembali hal yang disayangkan, tatkala Iran beraksi melawan Israel, justru negeri-negeri Arab diam seribu bahasa melihat penderitaan Palestina. Negeri-negeri ini tidak mampu menerapkan prinsip Islam di ranah politik dan tidak menjadikan konflik ini sebagai mercusuar untuk mengobarkan semangat menolong pada saudaranya di Gaza.
Akan tetapi, beginilah negeri-negeri Arab di sekarang ini. Apa pun yang mereka saksikan dalam perpolitikan internasional tidak menjadi patokan bahwa mereka bisa melepaskan tali nasionalisme. Urusan negera lain bukan urusan kami, walau pun sesungguhnya muslim dengan muslim bagaikan satu tubuh.
Negeri-negeri berlabel Arab tersebut hanya fokus pada membangun kekuatan internal, apalagi dari segi ekonomi. Jutsru ekonomi atau pun politik negeri-negeri Arab sendiri diketahui berada dalam rotasi Amerika (AS). Dari itu dalam mempersiapkan untuk menghadapi tantangan global, mereka bisa aman jika saja taat terhadap negara penguasa timteng saat ini, yakni negara adidya Amrika.
Padahal sesungguhnya AS sendiri mulai resah dengan kekuatan kaum muslimin. Belajar dari konflik dengan Iran saja yang bermula bahwa AS mencium aroma produksi nuklir di Teheran salah satu kota di Iran. Itu menunjukkan bahwa sadar- tidak sadar AS takut akan datangnya kebangkitan musuhnya ideologi Islam.
AS sebagai pengemban Kapitalis tentu tidak akan berdiam diri tatka kaum muslimin bersatu dalam wadah yang dipimpin oleh satu komando, mengemban ideologi yang shahih. Karena terbayang jika itu terjadi, jangankan Palestina, seluruh apa-apa yang dikuasai oleh AS hari ini bisa dibebaskan oleh daulah Islam.
Dari sini seharusnya cukup bisa menjelaskan bahwa persatuan kaum muslimin adalah hal yang sangat urgensi. 50 lebih negeri-negeri muslim bercerai berai pasca runtuhnya sistem Islam, namun bisa disatukan kembali dengan meninggalkan paham-paham penjajahan yang selama ini mencengkram negeri-negeri kaum muslimin, seperti sekularisme, kapitalisme, nasionalisme, demokrasi dll.
Seperti negara lainnya, Iran pun demikian masih dalam lingakaran pengemban mabda sekularisme-nasionalisme. Contoh saja tersiar kabar, pasca genjatan senjata dalam konflik ini Iran telah meminta bantuan ke China dan Rusia yang dikenal sebagai negara penjajah (kalbar. antaranews.com, 8 Juli 2025). Maka, tentu hal ini mampu menunjukkan bahwa kaum muslimin tidak bisa berharap terhadap Iran dalam menolong Gaza.
Islam Merahmati seluruh Umat
Islam memiliki prinsip-prinsip yang jelas untuk menyelesaikan konflik dan membangun perdamaian. Negeri-negeri muslim seharusnya berusaha untuk menerapkan prinsip-prinsip tersebut dalam hubungan internasional mereka melalui tariqah dakwah dan jihad.
Hanya saja perilaku para pemimpin negeri-negeri muslim hari ini telah mengingatkan bahwa mereka tengah lemah tak berdaya. Negeri-negeri muslim kini hanya bisa sebagai penonton tatkala saudara seakidahnya ditindas. Di sisi lain mereka tidak malu bercengkrama dengan para penjajah. Pemimpin negeri muslim mengambil sikap berani dan lebih independen dalam menghadapi tantangan global apabila terkait ekonomi yang berakhir pada gambaran bagaimana mereka adalah negeri-negeri pengekor barat.
Para pemimpin di negeri-negeri muslim mestinya menyadari pentingnya menerapkan yang haq di antara konflik tersebut. Islam bukan hanya sebagai agama, akan tetapi juga sebagai ideologi yang miliki aturan mampu memberikan rahmat, penolong bagi seluruh umat, terlebih umat yang tertindas.
Islam memandang dunia wajib diperbaharui oleh aturan sang pencipta, agar manusia kembali pada fitrahnya, mendapat ketenangan, kedamaian dan ketentraman.
Lihatlah bagaimana sejarah Islam tatkala Islam berjaya dapat melindungi negeri-negeri kafir sekalipun. Sebagaimana negara-negara barat yang pernah menjadi bagian dari Daulah Islam dan Islam mampu mempengaruhi dalam kehidupan mereka serta memajukan wilayahnya.
Contohnya Spanyol (Al-Andalus). Spanyol dan Portugal pernah menjadi bagian dari Kekhalifahan Umayyah pada abad ke-8 Masehi. Periode ini dikenal sebagai Al-Andalus, di mana Islam memiliki pengaruh besar dalam budaya, arsitektur, dan ilmu pengetahuan di wilayah tersebut.
Kemudian kemajuan arsitektur pun dirasakan pulau Sisilia di Italia yang pernah menjadi bagian dari Kekhalifahan Islam pada abad ke-9 Masehi. Periode ini yang dinamai dengan Emirat Sisilia.
Ada juga di Balkan. Beberapa wilayah di Eropa Tenggara itu, seperti Albania, Bosnia dan Herzegovina, Kosovo, dan bagian dari Bulgaria, juga pernah menjadi bagian dari Kekaisaran Ottoman (Daulah Utsmaniyah) pada abad ke-14 hingga ke-20 Masehi.
Begitulah Islam yang sesungguhnya jika diterapkan secara utuh. Negeri kecil atau pun negara besar bakal mampu dibebaskan dari penghambaan pada manusia yang banyak menimbulkan kemudratan, seperti sekarang ini.
Wallahu alam.