| 180 Views

food Estate, Mungkinkah Membuat Sejahtera Rakyat?

Oleh : Wakini
Aktivis Muslimah

Ketahanan pangan selalu menjadi persoalan masyarakat dunia yang membutuhkan pangan untuk bertahan hidup. Penambahan jumlah masyarakat dunia setiap tahunnya mendorong pemerintah di tiap-tiap negara untuk menemukan program yang mendukung kedaulatan pangan bagi warga negara mereka.

Food estate adalah salah satu program pemerintah untuk mewujudkan ketahanan pangan di tengah ancaman krisis pangan global. Food estate selalu menjadi perbincangan hangat di semua kalangan, menandakan bahwa ada perhatian khusus pada proyek ini. Kondisi ini tidak bisa dimungkiri karena food estate bertujuan untuk menciptakan lumbung pangan. Negara bercita-cita mewujudkan swasembada pangan untuk menguatkan ketahanan pangan nasional.

Food estate merupakan proyek yang menelan biaya cukup besar, pada 2024 saja menghabiskan Rp108,8 triliun. Proyek ini dilaksanakan di Sumatra Utara, Kalimantan Tengah, NTT, dan Papua. Dalam perjalanan waktu, meski ada beberapa proyek yang menghasilkan panen, beberapa pihak masih mengklaim bahwa proyek ini gagal. Sebagaimana tanggapan Peneliti Departemen Ekonomi Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Deni Friawan yang menganggap justru gagal total sebab lemahnya perencanaan dan terkesan asal.

Sejak proyek ini dicanangkan, banyak pihak yang sudah menyangsikan keberhasilan program ini. Berbagai permasalahan mulai timbul, tapi bukannya dievaluasi, pemerintahan Jokowi justru memperluas area food estate hingga lebih dari 16.000 hektare di Kabupaten Kapuas dan Pulang Pisau pada 2022.

Kondisinya saat ini dari 30 titik yang dipantau dan bersinggungan dengan kawasan gambut lindung, ditemukan 15 titik lahan food estate seluas 4.159,62 hektare yang terbengkalai. Selain itu, tiga titik lainnya seluas 274 hektare berubah menjadi kebun sawit. Padahal, perluasan area food estate telah menyebabkan hilangnya tutupan pohon seluas hampir 3.000 hektare atau setara 4.207 lapangan bola (BBC News).

Banyak pihak mengkritik food estate versi pemerintahan Jokowi. Salah satunya karena dianggap tidak berkaca pada program lumbung pangan serupa yang pernah dijalankan pemerintah sebelumnya.

Proyek itu adalah Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) atau Perkebunan Pangan dan Energi Terpadu Merauke (PPETM) di Merauke yang dilaksanakan di era kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono. Ada 36 perusahaan yang disebut terlibat dalam program MIFEE yang berjalan pada 2010 tersebut.

Sebelumnya ada pula Proyek Lahan Gambut (PLG) Sejuta Hektar yang dilaksanakan di Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng) di era mantan Presiden Soeharto. Proyek ini dijalankan di Kabupaten Kapuas dan Barito Selatan dengan misi membangun pertanian padi di atas lahan gambut untuk mendukung swasembada pangan.

Proyek PLG yang pernah dicetuskan Soeharto diputuskan berhenti berjalan pada tahun 1998 melalui Keppres 33/98 di masa pemerintahan BJ Habibie. Proyek ini gagal karena kurangnya kajian sosio-ekologis dalam ekosistem gambut.

Proyek MIFEE mengalami nasib sama. Menurut catatan Walhi, proyek MIFEE merusak tanaman sagu yang menjadi bahan pangan utama masyarakat Papua. Selain itu, diduga terjadi konflik horizontal karena proses pelepasan lahan yang bermasalah.

Selain MIFEE, SBY juga membuat program cetak sawah di Bulungan, Kalimantan utara, pada 2011, seluas 30 ribu hektare. Dilanjutkan dengan program cetak sawah seluas 100 ribu hektare di Ketapang, Kalimantan Barat, pada 2013. Sama seperti nasib MIFEE, kedua program tersebut dinyatakan gagal.

Saat pemerintah mengandalkan investor dalam berbagai bidang, tidak hanya pertanian, menunjukkan adanya peran negara yang terlalaikan. Negara yang harusnya menjamin pemenuhan kebutuhan masyarakat, malah menyerahkan tugasnya pada investor. Ini tidak baik bagi posisi pemerintah sendiri sebab nantinya investor lah yang berkuasa. Mereka bisa mencari keuntungan sesukanya tanpa merasa bisa dikendalikan pemerintah. Akhirnya, muruah pemerintah dan kemandiriannya di hadapan investor dipertanyakan.

Food estate yang menelan dana yang tidak sedikit nyatanya hanya makin membawa negeri ini bergantung pada pemilik modal, dan akhirnya rakyat makin terpuruk dalam kemiskinan. Program yang bertahun tahun di wacanakan nyatanya tidak membawa rakyat sejahtera. Inilah bentuk kegagalan dari sistem Kapitalisme. Berbeda halnya dengan sistem Islam yang memiliki seperangkat aturan yang terbaik, karena bersumber dari Al-Qur'an dan hadits, bukan bersumber dari kemanfaatan individu dan golongan.

Dalam Islam, pangan adalah salah satu kebutuhan pokok. Oleh karena itu, negara wajib memenuhinya. Negara akan melakukan ekstensifikasi dan intensifikasi pertanian dengan serius. Negara akan membiayai semua hal yang dibutuhkan untuk mendukung program tersebut. Biaya itu akan diambil dari kas baitulmal. Baitulmal sendiri mendapatkan pemasukan dari beberapa pos, seperti jizyah, fai, kharaj, ganimah, dan pengelolaan SDA.

Negara juga akan menjalankan kebijakan pertanahan. Ini dilakukan agar tanah yang subur tetap bisa dimanfaatkan. Negara akan melarang tanah subur dibangun gedung atau pabrik atau yang lainnya. Negara juga akan memberikannya pada siapa pun yang bisa menghidupkan tanah mati. Negara juga akan memberikan bantuan modal kepada siapa saja yang ingin mengembangkan pertanian jika mereka tidak memiliki modal.

Dengan sistem Islam segala problematika kehidupan akan terurai dengan sempurna, mewujudkan kesejahteraan bagi rakyat adalah hal yang sangat penting di laksanakan. Karena setiap pemimpin akan di mintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Kalau sudah terbukti Islam satu-satunya sebagai problem solving, lantas masihkah mau bertahan dengan sistem yang eksis sekarang ini?

Wallahu a'lam bishowwab


Share this article via

54 Shares

0 Comment