| 81 Views

Banjir Impor Pangan Menjelang Lebaran Berulang, Solusikah?

Oleh : Endang Seruni

Muslimah Peduli Generasi

Ramadhan dan Idul Fitri adalah momentum tahunan yang menjadi tradisi di negeri ini. Lebaran adalah waktu yang dinanti untuk merayakan kemenangan. Seiring hadirnya Ramadhan dan Idul Fitri, barang -barang konsumsi  harganya merangkak naik bahkan melonjak.

Untuk mengatasi permintaan pangan pada saat Idul Fitri tiba, pemerintah mengambil langkah impor bahan pangan, seperti sapi hingga beras. Untuk memenuhi kebutuhan daging sapi menjelang lebaran, pemerintah mengimpor sapi hidup dari Australia sebanyak 2.350 ekor (CNBC Indonesia,21/3/2024).

Sementara itu Perum Bulog, memastikan 450 ribu ton beras impor akan masuk ke Indonesia pada akhir Maret 2024. Direktur Supply Chain dan pelayanan publik Bulog, Mukhammad Suyamto mengatakan hingga saat ini sudah masuk 970 ribu ton beras impor. Dengan kesediaan stok dari Bulog sebesar 1,1 juta ton, yang tersebar di seluruh gudang Bulog di Indonesia (Liputan6.com,20/3/2024).

Persoalan produksi pangan di negeri ini menjadi persoalan yang belum bertemu solusi tepat. Negeri agraris tetapi tidak mampu memproduksi pangan secara mandiri. Mengambil solusi impor untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri, justru akan berdampak pada kesejahteraan rakyat terutama para petani dan peternak, bahkan terhadap kedaulatan bangsa.

Dari hulu hingga hilir persoalan pangan harus dibenahi, agar ketergantungan pada impor tidak terus terulang. Semua harus diselesaikan dengan kebijakan yang berorientasi pada kepentingan rakyat.
Sayangnya, kebijakan yang digulirkan penguasa hari ini cenderung bersifat kapitalistik. Sebab setiap kebijakan memihak pada segelintir elit. Terbukti dengan banyaknya alih fungsi lahan pertanian yang subur. Seharusnya ditanami tanaman pangan agar kebutuhan pangan dalam negeri tercukupi. Justru atas nama investasi, lahan -lahan tersebut disulap menjadi gedung- gedung pencakar langit atau hunian mewah.

Tidak hanya itu dari sisi intensifikasi pertanian, dikuranginya subsidi benih, pupuk, pakan dan sarana produksi. Sehingga petani dan peternak menanggung biaya produksi yang tinggi. Mereka pun juga kalah bersaing dengan pangan impor yang harganya lebih murah.
Petani dan peternak sering merugi dan menjadikan mereka tidak bersemangat untuk produksi jangka panjang dan akan berdampak pada penurunan produktivitas.

Persoalan lain adalah terkait rantai distribusi. Faktanya kebijakan impor dilakukan dianggap kebijakan yang mudah dan murah dibanding harus mengawasi rantai distribusi bahan pangan di daerah-daerah. Sebab tingginya harga pangan bukan sekitar stok berkurang tetapi rantai distribusi yang buruk. Terbukti saat permintaan tinggi namun harga jual di tingkat petani dan peternak sangat rendah. Sehingga jika harga pangan yang tinggi menjelang lebaran bukan hanya persoalan stok yang menurun tetapi rantai distribusi yang tidak terkontrol.

Sementara karakteristik pasar yang cenderung di monopoli oleh para pedagang besar yang bermodal besar yang mempengaruhi stok dan harga pangan. Apanya pemerintah atas rantai distribusi yang banyak menimbulkan masalah. Bahkan terus menjadikan impor sebagai solusi untuk menjaga stabilitas harga pangan.
Kondisi ini adalah buah diterapkannya sistem kapitalisme yang hanya berorientasi pada keuntungan semata.
Sementara para pemilik modal yang berada di lingkungan kekuasaan yang memegang kendali. Sehingga upaya untuk mewujudkan suatu swasembada pangan dalam sistem ini sangat sulit untuk terealisasi.

Berbeda dalam sistem Islam. Islam mewajibkan negara berdakwah dan mandiri dalam hal pengelolaan pangan. Kebijakan yang dikeluarkan bersifat independen dan jauh dari intervensi pihak lain. Sehingga kemaslahatan umat bisa dirasakan. Penguasa dalam Islam memposisikan dirinya sebagai pelayan umat. Oleh karena itu semua kebijakannya bertujuan untuk kesejahteraan rakyat. Mulai dari pembangunan infrastruktur yang berkualitas, rantai distribusi yang selalu diawasi, biaya distribusi yang murah dan cepat. 

Di bidang pertanian upaya ekstensifikasi pertanian dan peternakan diperhatikan secara optimal. Negara akan selektif adalah memberi izin pembangunan pada lahan subur. 
Mengingat kebutuhan pangan yang tinggi harus diimbangi dengan produksi yang tinggi. Sementara intensifikasi pun dilakukan untuk mendukung petani dengan sulit dipupuk, pakan dan saprodi. Tidak hanya itu berbagai teknologi pun didukung demi produktivitas yang tinggi.

Untuk mengawasi rantai distribusi penguasa menugaskan Qadhi Hisbah yang senantiasa memantau pasar agar tidak terjadi kecurangan seperti penimbunan dan spekulan yang merugikan banyak pihak.
Penguasa juga sikap dalam operasi pasar. Jika terjadi kelebihan stok tangan maka akan cepat diserap, dan jika terjadi kelangkaan bahan pangan di pasar akan mencari ke daerah-daerah yang stok pangannya surplus. Kemudian didistribusikan kepada daerah-daerah yang kekurangan secara merata.

Kebijakan impor terakhir dilakukan apabila benar-benar dibutuhkan. Namun negara tidak boleh impor secara terus-menerus. Jika kebutuhan dalam negeri sudah terpenuhi maka impor tidak lagi dilakukan.
Kesejahteraan rakyat akan menjadi prioritas, tidak hanya para konsumen tetapi juga para produsen termasuk petani dan peternak.

Demikianlah jika sistem Islam diterapkan, maka semua akan merasakan kemaslahatannya. Terwujudnya kedaulatan pangan tidak hanya swasembada pangan saja tetapi lebih kepada adanya upaya penerapan syariat Islam untuk menjamin kesejahteraan rakyat. Sehingga stabilitas pangan akan terus terjaga di setiap waktu. Stok tangan melimpah tanpa harus tergantung pada impor.
Wallahu'alam bishawab.


Share this article via

73 Shares

0 Comment