| 91 Views
Antara Peringatan Darurat dan Revisi UU Pilkada

Oleh : Anggun Pribadi
Akhir-akhir ini sering muncul postingan tentang “Peringatan Darurat” di berbagai media sosial. Awal mula kemunculan trend ini yaitu dilansir dari detik.com, gambar garuda dengan background biru elektrik tersebut pertama kali di unggah oleh akun kolaborasi antara @najwashihab, @matanajwa, dan @narasitv di instagram. Bahwasannya asal-usul gambar garuda tersebut diambil dari cuplikan video lama yang di unggah oleh akun Youtube EAS Indonesia Concept (22 oktober 2022).
EAS (Emergency Alert System) merupakan akun yotube yang memiliki konten analog horor atau video fiktif horor dengan memberi kesan peringatan kedaruratan nasional Amerika yang bertujuan untuk memberi pesan darurat di berbagai media. Dan kaitanya dengan garuda indonesia yaitu adanya peringatan untuk warga tentang adanya aktivitas penyimpangan (anomali) yang dideteksi pemerintah. Di akun youtube tersebut Video itu hanya hiburan horor semata namun sarat akan makna.
Intinya postingan garuda backgraound biru ini menyeru secara massal kepada rakyat sipil baik generasi tua maunpun generasi z untuk mengawal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan jalannya pemilihan kepala daerah (PILKADA) 2024. Tidak lupa pula semangat trend itu berusaha menyulut kesadaran dan partisipasi aktif masyarakat dalam menjaga demokrasi.
Trend ini dipicu karena polemik putusan MK vs Revisi UU Pilkada, isu-isu korupsi, masalah pembatasan kebebasan mengkritik penguasa. Lebih tepatnnya masalah ini mencerminkan kekecewaan masyarakat terhadap putusan MK yang dianggap mudah di hambat oleh DPR. DPR dengan mudah mengubah aturan mengenai batas usia calon untuk maju di pilkada 2024. Aturan ini terlalu tergesa-gesa dan tercium adanya aturan pesanan. Ya, pesanan seorang ayah yang ini mencari kursi jabatan untuk anaknya. Dimana DPR sangat terlihat berupaya sungguh-sungguh mengokohkan eksistensi dinasti kekuasaan petahana saat ini.
Sungguh hal ini adalah suatu kedzoliman dan suatu hal yang memalukan, bagaimana mungkin seorang penguasa tega menabarak konstitusi demi memuluskan sang buah hatinya untuk meraih jabatan.
“jika engkau tidak punya malu, maka berbuatlah sesukamu”. (HR.Bukhari)
Badan legislatif (Baleg) DPR dan Panitia Kerja (panja) lebih memilih menggunakan putusan MA daripada MK terkait batasan usia calon pilkada 2024. Dalam rapat yang di gelar rabu 21 agustus 2024, Baleg sepakat UU pilkada mengacu pada putusan no. 23/P/HUM/2024 yang diputuskan MA pada 29 Mei 2024.
Disisi lain keputusan Baleg DPR menyatakan batas usia paling rendah calon gubernur adalah 30 tahun dan batas usia calon wali kota/bupati adalah 25 tahun ketika resmi dilantik. Baleg DPR mengacu pada keputusan MA dalam mneyusun ini, Bukan mengikuti MK yang memiliki keputusan sebaliknya bahwa paling rendah usia calon gubernur adalah 30 tahun dan calon bupati atau wali kota adalah 25 tahun saat di tetapkan KPU sebagai pasangan calon bukan ketika dilantik.
Pada hari yang sama DPR kemudian menggelar rapat paripurna untuk mengesahkan RUU itu. Namun tidak memenuhi kuorum, rapatpun di batalkan. Usulan revisi uu pilkada ini meraih penolakan masyarakat. DPR dinilai telah membegal MK dan melangkahi konstitusi. Poster garuda biru ini dinilai sebagai representari dari respon DPR yang begitu cepat akan keputusan MK hanya dalam sehari. Secara logikan membuat UU dalam sehari adalah mustahil ada dalam naskah akademiknya. Dimana hal ini tidak ada sosialisasi terlebih dahulu terhadap rakyat bahkan aspirasi rakyapun nihil.
Haya saja perlu di pahami kita bersama bahwa keculasan ini bukan hanya terjadi tentang satu keluarga dan kelompoknya yang ingin terusberkuasa. Namun, biang kerok keculansan ini terjadi akibat sistem politik yang bathil yang bernama demokrasi. Dimana dalam demokrasi kedaulatan ditangan rakyat. Rakyat atau manusia lah yang berhak membuat aturanya dalam berkehidupan dan berbangsa yang mengutamakan sumbernya berdasarkan akal bukan wahyu. Dalam demokrasi rakyat memang berdaulat, tatapi kedaulatan terbatas. Rakyat memamng berdemokrasi, tapi demokrasinya berhenti sampai selesai pemilu dan pilkada.
Yang terjadi bukanlah peringatan demokrasi darurat atau demokrasi yang terlukai, namun inilah wajah asli demokrasi. Sejak lahir demokrasi adalah sistem bathil dan haram. Demokrasi bukan lah rumah untuk rakyat, tetapi ialah rumah penguasa dzalim untuk menindas rakyat. Karena itu siapapun yang tetap kekeh mempertahankan dan memperjuangkan demokrasi adalah patah hati yang di sengaja.
Sudah saatnya kita umat islam kembali ke rumah kita. Rumah yang memberi ketenangan fitrah dan terjaminya kesejahteraan. Rumah yang memanusiakan manusia, yaitu rumah dengan naungan rahmat illahi. Rumah itu di sebut sitem khilafah yang berlandaskan syariat Allah secara fundamental bukan persial bak demokrasi yang lahir dari sitem kapitalis.
Syekh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitab Nizhamul Hukmi fil Islam menjelaskan bahwa sistem khilafah dapat tegak atas 4 pilar, yaitu:
Kedaulatan di tangan syara’ bukan di tangan manuasia, artinya segala perkara di kembalikan dan di putuskan kepada syariat bukan atas hawa nafsu manusia.
Kekuasaan milik umat, artinya seorang khalifah di bai’at oleh umat dan khalifah di angkat dengan tujuan untuk melaksanakan syariat dan mengurusi urusan umat.
Mengangkat satu khalifah hukum nya fardhu ( wajib) atas kaum muslim.
Hanya Khalifah yang berhak melaksanakan adopsi terhadap hukum-hukum syara’ untuk melerai perselihisan dan mengambil keputusan dengan perkara yang terjadi.
Dengan demikian sudah seharusnya umat islam berpegang teguh kepada syariat islam karena itu konsekuensi iman. Semua hal ini dimulai dengan mengubah persepsi individu-individu kaum muslim dengan sosialisasi massif akan pentingnya kembali ke islam yang kaaffah.
Wallahu’alam