| 20 Views
Ulama dan Lembaganya dalam Bingkai Media Sekuler

Oleh: Palupi Ummu Hazmi
Baru-baru ini tagar #BoikotTrans7 ramai di media sosial guna mengkritik keras framing dan narasi menyesatkan dalam tayangan Xpose Uncensored di Trans7 yang menuduh para kyai menikmati kemewahan dari "amplop" atau pemberian. Penulis menegaskan bahwa ini adalah tuduhan moral serius, bukan sekadar kesalahan redaksional, dan menyoroti pencatutan nama kyai kharismatik KH. Anwar Manshur—Pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo—dalam konteks yang insinuatif. Komunitas santri dan pesantren merasa dirugikan karena media mengabaikan fakta bahwa banyak kyai memiliki usaha pribadi yang sah (seperti berdagang atau bertani), dan hasil dari usaha tersebut justru banyak digunakan untuk menopang biaya operasional pesantren dan kehidupan ratusan santri. Framing murahan ini dinilai lebih memilih sensasi kemewahan ketimbang menggali realitas pengabdian yang utuh.
Tayangan Trans7 dianggap merendahkan dengan menyajikan visual dan nada sarkastik untuk membangun persepsi keliru bahwa kyai hidup mewah di atas penderitaan umat. Penulis membantah tuduhan eksploitasi, menjelaskan bahwa sebagian besar pemberian amplop dialihkan untuk kepentingan pondok dan sosial, seperti pembangunan fasilitas atau pembayaran honor pengajar. Selain itu, tradisi pemberian kepada kyai dalam Islam Nusantara adalah ekspresi luhur taqarrub dan tabarruk (penghormatan kepada guru), yang dimaknai secara dangkal oleh media sebagai pamrih. Kesimpulannya, penulis menyerukan agar media menjunjung tinggi adab (etika) dalam jurnalisme dan menunjukkan penghormatan kepada ulama, sebab ketidakjujuran dan ketidakhormatan dalam pemberitaan berisiko membuat bangsa kehilangan arah spiritualnya.
Menolak lupa, diskriminasi dan dramatisasi media sekuler dalam memberitakan kasus yang melibatkan lembaga keislaman, juga seperti kasus yang terdahulu dugaan penyalahgunaan dana umat oleh oknum pengurus Aksi Cepat Tanggap (ACT) dan dugaan pelecehan seksual oleh anak kiai di Jombang. Pola pemberitaan yang agresif, termasuk pemblokiran rekening dan pencabutan izin sebelum pemeriksaan tuntas, dinilai sebagai framing jahat yang sukses menggerus kepercayaan publik terhadap ACT dan lembaga pesantren. Meskipun pencabutan izin pesantren akhirnya dibatalkan, trauma publik sudah terlanjur terbentuk, dan kepercayaan mulai luntur.
Menurut AM Waskito dalam buku Invasi Media Melanda Kehidupan Umat, fakta membuktikan media sekuler yang lahir dari sistem demokrasi kapitalisme sering meninggalkan etika jurnalisme yang semestinya menjadi patron moralitas.
Publik pun menyadari berbagai media saat ini kebanyakan hanya menjual sensasi, kritik sarkastis, cerita vulgar, gosip selebritas, kriminalitas, info kecelakaan, ataupun cerita-cerita musibah. Dipoles dengan judul bombastis, tetapi kosong dari nilai edukasi bahkan telah sukses menjaga kelestarian islamofobia dengan mencitraburukkan Islam dan umatnya. Sehingga mengikis kepercayaan umat terhadap para ulama dan lembaganya. . Hal ini jelas menjadi PR negara yang sejatinya paling bertanggung jawab mengatasi persoalan media massa.
Peran media sekuler ini terbukti sejalan dengan apa yang diharapkan Barat, sebagaimana termaktub dalam dokumen penting “Civil Democratic Islam: Partners, Resources, and Strategy” yang ditulis oleh Cheryl Bernard.
Peneliti dari Rand Corporation tersebut merekomendasikan strategi media sekuler dalam mencitraburukkan Islam dan umatnya, yakni pertama, “encouraging journalists to investigate issues of corruption, hypocrisy, and immorality”. Dalam hal ini, mendorong media untuk mempublikasikan secara masif berita tentang kelemahan dan kesalahan para tokoh dan orang yang mengelola pesantren dan lembaga keislaman lainnya. Misalnya, korupsinya, kemunafikannya, dan tindakan tidak bermoral seperti penyalahgunaan dana umat, pelecehan seksual, dan pemerkosaan.
Kedua, “exposing their relationships with illegal groups and activities“. Dalam hal ini, menyajikan berita tentang keterkaitan tokoh atau pengelola lembaga dengan kelompok yang dilabeli ekstremis, radikal, dan teroris di tengah publik.
Strategi jahat media sekuler ini tidak lain bertujuan untuk memutus mata rantai kepercayaan umat terhadap simbol pendidikan Islam, yakni pesantren.
Tidak bisa kita pungkiri, media sekuler memiliki misi membangun masyarakat bercorak kapitalistik. Kehidupan sosial didominasi oleh para kapitalis, liberalis, dan kaum hedonis. Tiada lagi norma dan aturan yang patut dihormati.
Ini karena media—yang seharusnya melayani kebutuhan informasi masyarakat—dikuasai pihak pemodal yang mengedepankan aspek untung rugi daripada aspek baik dan buruk. Dampaknya, penyesatan opini dari media-media yang mendominasi menimbulkan bahaya di tengah masyarakat.
Berdasarkan pantauan data BBC Monitoring, distorsi fakta di media seluruh dunia telah berlangsung sejak 1930-an. Keran kebebasan berpendapat dalam sistem demokrasi menjadi sumber masalah kesimpangsiuran dan terdistorsinya fakta di media. Tidak ada batas jelas antara berita yang benar dan salah sebab standar kebenaran ada di tangan manusia yang bersifat relatif.
Dalam sistem Islam, edukasi terhadap masyarakat—termasuk literasi digital—dijalankan oleh negara (Khilafah) melalui penerapan sistem pendidikan Islam, bukan bertumpu pada media massa semata. Sistem pendidikan dalam Khilafah akan mendidik individu dan masyarakat untuk memilah berita/informasi berdasarkan standar jelas dan pasti, yaitu akidah Islam.
Khalifah memahami bahwa pengaruh media tidak hanya terkait pilihan gaya hidup seseorang, melainkan membentuk opini publik dan cara pandang setiap individu masyarakat terhadap realitas. Oleh karenanya, urgen bagi negara untuk melarang setiap konten yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam lewat aturan yang jelas dan tegas.
Khilafah akan menetapkan undang-undang yang memuat panduan umum pengaturan informasi untuk mengukuhkan masyarakat dalam memegang syariat; menjalankan sejumlah aturan ketat bagi setiap warganet agar tidak menyebarkan konten yang mengandung syirik, ide-ide sesat, dan berbahaya yang akhirnya mengikis akidah umat.
Politik media dalam Islam membangun strategi informasi yang spesifik untuk memaparkan Islam dengan pemaparan kuat dan membekas. Selain itu, media harus mampu menggerakkan akal manusia agar mengarahkan pandangannya pada Islam, mempelajari, dan memikirkan muatan-muatan Islam. Cara ini juga yang akan memudahkan untuk menggabungkan seluruh negeri-negeri Islam menjadi bagian integral dari Khilafah.
Insan media dalam Islam harus memiliki framing jelas ketika menyajikan berita, yaitu berdasarkan sudut pandang Islam. Ada kode etik jurnalis yang harus dipatuhi sehingga berita yang tersebar adalah berita sahih dan bisa dipertanggungjawabkan. Inilah kerja media dalam Islam.
Media massa dalam Islam akan menjadi alat konstruktif untuk memelihara identitas keislaman masyarakat sekaligus sarana dakwah yang menampilkan kemampuan dan kekuatan Islam. Media berperan strategis dalam perubahan sosial dan kultural.
Ada sejumlah etika dalam pemanfaatan media massa, yakni:
Pertama, wajib memperhatikan konten yang hendak disebarkan, mengedukasi atau tidak, serta harus mendorong setiap manusia hidup sesuai syariat Islam.
Kedua, memastikan konten yang disebarkan bersih dari berita bohong dan unsur penipuan.
Ketiga, konten harus berisi peringatan agar setiap orang tidak melanggar aturan Islam.
Keempat, konten tidak menimbulkan fitnah yang akhirnya merugikan kehormatan orang lain.
Kelima, tidak boleh membuka aib orang lain kecuali mengungkapkan kezaliman.
Keenam, haram mengadu domba seseorang atau sekelompok orang yang berujung pada perpecahan di tengah umat. Ketujuh, haram menyebarkan konten pornografi/pornoaksi ataupun pelecehan seksual, termasuk L687.
Terakhir, berhati-hati dalam menyebarkan informasi. Allah Swt. berfirman, “Hai orang-orang yang beriman jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaan yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS Al-Hujurat: 6)
Wallahu a'lambishowwab.