| 34 Views
BUMN Dipangkas, Rakyat Sejahtera?

Oleh : Selia Herasusanti
Prabowo Subianto berencana memangkas perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang jumlahnya 1.000 menjadi 200 perusahaan saja. Dalam berita yang sama, Presiden juga menyebutkan, talenta terbaik untuk mengisi manajemen BUMN yang terbuka bagi warga asing. "Kita bisa mencari orang-orang terbaik, talenta terbaik, dan saya sudah mengubah peraturannya. Sekarang ekspatriat, non Indonesia bisa memimpin BUMN kita. Jadi saya sangat bersemangat, ". Selain itu, Prabowo juga meminta kepada pimpinan Danantara menjalankan manajemen BUMN dengan standar bisnis internasional. (Kompas, 17/10/2025)
Berdasarkan bentuk hukum dan tujuan pendiriannya, BUMN di Indonesia dibedakan dalam dua jenis utama menurut UU nomor 19 tahun 2023 tentang BUMN. Yang pertama, Perusahaan Perseroan (Persero), biasanya sahamnya minimal 51% dimiliki oleh negara. Tujuannya utamanya adalah mencari keuntungan. Contohnya PT Pertamina, PT Telkom Indonesia Tbk dll. yang kedua, Perusahaan umum (Perum) di mana seluruh modalnya dimiliki oleh negara dan tidak terbagi atas saham. Tujuan utamanya adalah menyelenggarakan pelayanan publik, tapi bisa juga mencari laba untuk memperkuat perusahaan. Contohnya Perum Jasa Tirta I dan II, Perum Bulog dll.
Apa yang dilakukan Presiden Prabowo merasionalisasi BUMN, tentu dimaksudkan untuk efisiensi bisnis. Hal ini berdasarkan ciri khas arah kebijakan ekonomi sistem Kapitalisme, diantaranya, aset negara dikelola untuk efisiensi dan profit bukan kesejahteraan publik, adanya peluang privatisasi atau pengalihan aset ke sektor swasta atau asing, serta negara berperan sebagai “regulator” bukan “pengurus langsung” harta rakyat.
Dari semua itu jelas bahwa alasan rasionalisasi ini adalah untuk keuntungan bisnis. Keuntungan adalah hal yang wajar jika itu adalah perusahaan pribadi. Sayangnya, BUMN bukan perusahaan pribadi. Ia adalah perusahaan yang dikelola negara, yang keberadaannya seharusnya untuk kesejahteraan rakyat. Keuntungan sesungguhnya adalah ketika rakyat mendapatkan manfaat sebesar-besarnya dari keberadaan BUMN. Namun hal tersebut tidak ada dalam kamus sistem ekonomi kapitalisme.
Berbeda dengan pengaturan dalam sistem ekonomi Islam. Dalam Nidzham al-Iqtishadi fi al-Islam (Sistem Ekonomi dalam Islam), Syekh Taqiyuddin An-Nabhani menjelaskan bahwa sistem ekonomi Islam dibangun di atas pembagian kepemilikan yang jelas. Ada kepemilikan individu, kepemilikan negara dan kepemilikan umum. BUMN dalam konteks ini termasuk dalam kepemilikan negara dan umum, tergantung jenis usaha yang dikelolanya.
Menurut Taqiyuddin An Nabhani, "Negara bukanlah korporasi yang mencari laba, melainkan pengurus urusan umat" (Ad-Daulah Al-Islamiyah, hlm.87). Sehingga pengelolaan negara atas milik negara dan umum tak sebatas efisiensi bisnis, namun harus ditinjau dari fungsi kepemilikan dan kemaslahatan umat. Artinya, jika perampingan BUMN dilakukan karena ingin mengikuti standar bisnis internasionall atau mengejar profitabilitas semata, sementara aturan kepemilikan dikesampingkan dan rakyat tak mendapatkan kesejahteraan, maka arah kebijakannya tidak sesuai dengan tujuan ekonomi Islam.
Demikian juga dengan masalah dibukanya peluang WNA memimpin BUMN, hal ini jelas sangat bermasalah. Pengelolaan aset publik (seperti air, energi, tambang, transportasi strategis) harus berada di tangan umat Islam di bawah kendali negara. Memberikan kewenangan strategis kepada orang asing berarti membuka ruang penguasaan asing terhadap harta umat dan hal itu jelas keharamannya. Hal ini ditegaskan Syekh Taqiyuddin An-Nabhani dalam kitabnya Nidzham Al-Iqtishadi, beliau menegaskan “Tidak boleh menyerahkan pengelolaan kepemilikan umum kepada pihak asing, karena itu akan berarti menyerahkan kekuasaan atas urusan umat kepada selain kaum muslim” (hlm.149).
Jika negara benar-benar serius ingin menyejahterakan rakyatnya, maka langkah yang seharusnya diambil bukan rasionalisasi BUMN, namun mengganti sistem pengelolaan ekonomi dengan sistem Islam. Juga mengembalikan pengelolaan kepemilikan umum langsung dikelola negara, tanpa diserahkan kepada individu, korporasi apalagi asing. Selanjutnya, hasil pengelolaan BUMN disalurkan untuk kebutuhan masyarakat, bukan menambah kekayaan negara secara komersial. Negara juga wajib menjamin kebutuhan dasar rakyat (sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, keamanan, termasuk transportasi publik). Selain itu, tak ada korporatisasi atau merger untuk efisiensi bisnis karena BUMN bukan entitas pasar.
Jelaslah, bahwa langkah pemerintah untuk memangkas BUMN dan membuka ekspatriat memimpin BUMN mencerminkan logika kapitalistik. Hal ini jauh dari tuntunan Islam, dimana pengelolaan BUMN wajib tunduk pada syariat, bukan standar bisnis internasional. Dan selama itu terjadi, kesejahteraan rakyat hanya ada dalam angan-angan.