| 8 Views

Maraknya Pelecehan dan Kekerasan Pada Anak

Oleh :  Ummu Zaki

Krisis perlindungan anak di negeri ini kian terasa. Orang tua pun cenderung was-was saat melepas anak mereka ke lingkungan umum. Setelah rentetan masalah yang menimpa anak-anak seperti perundungan, pekerja anak di bawah umur, juga permasalahan sosial sebagaimana pornografi, pelecehan seksual, serta kekerasan pada anak. Berdasarkan data dari Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA), tercatat ada 7.623 kasus kekerasan seksual terhadap anak pada 2024. Ini merupakan kekerasan yang paling banyak dialami anak, diikuti oleh kekerasan fisik dan psikis. (Goodstats, 02/11/2024)

Lebih spesifik lagi Kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Sulawesi Tenggara terus terjadi. Sejak awal tahun hingga pekan kedua Agustus 2024, terjadi 251 kasus atau rata-rata terjadi setiap 0,9 hari atau kurang dari sehari. Sebagian besar adalah kekerasan seksual dan fisik. Sebanyak 118 kasus atau 47 persen dari 251 kasus di antaranya merupakan kasus kekerasan seksual, 114 kasus kekerasan fisik, dan 24 kekerasan psikis. Kasus terbanyak terjadi di Baubau dengan total 41 kasus, disusul Kota Kendari dengan 29 kasus dan Konawe Selatan dengan 27 kasus. Selebihnya tersebar di sejumlah kabupaten lain di Sultra. Ditahun 2025 dalam kurun waktu sebulan terjadi dua kasus pelecehan terhadap anak dibawah umur yang terjadi didaerah muna barat.(Kompas News, 15/05/2024)

Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana (DP3APPKB) Sultra Abdul Rahim mengungkapkan, lonjakan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak memang terus terjadi. Angkanya terus bertambah dari waktu ke waktu. Menurut dia, situasi ini menjadi hal yang menyedihkan di tengah berbagai upaya yang dilakukan. ”Angkanya sangat menyedihkan.

 (Situasi) Ini menjadi tantangan kita dalam rangka menciptakan generasi emas 2045,” kata Abdul Rahim, di Kendari, Sultra. Jika melihat angka tahunan, kata dia, jumlah kasus cenderung bertambah. Pada 2019 ada total 140 kasus, lalu pada 2020 sebanyak 240 kasus, dan sempat menurun di 2021 menjadi 235 kasus. Namun, pada 2022 jumlah kasus melonjak menjadi 379 kasus dan pada 2023 sebanyak 545 kasus. Lonjakan kasus, menurut dia, bisa terjadi karena sejumlah faktor. Faktor itu mulai dari kurangnya pemahaman, lingkaran kemiskinan, hingga tingkat pendidikan. Kasus ini terjadi hampir di semua level keluarga dengan korban yang beragam. Menurut Rahim, pihaknya berupaya agar kasus bisa dicegah. Sosialisasi dan peningkatan pemahamaman dijalankan secara kontinu. 

Negara Gagal Memberi jaminan Perlindungan Terhadap Anak

Anak-anak yang seharusnya mendapat perlindungan dan penjagaan malah menjadi mangsa orang dewasa bahkan ada pula pelaku yang masih dibawah umur. Kasus kekerasan seksual terhadap anak memang bukan hal baru. Pada 2013 Indonesia dinyatakan darurat kekerasan seksual pada anak. Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) saat itu menyatakan bahwa kekerasan seksual terhadap anak sudah pada titik yang sangat sadis dan di luar nalar sehat, padahal saat itu sudah ada UU 23/2002 tentang Perlindungan Anak dan UU 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, juga KUHP.

Sejatinya regulasi kekerasan seksual anak sudah banyak diatur dalam perundang-undangan. Salah satunya adalah UU 12/2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Undang-undang ini mengatur mengenai pencegahan, penanganan, perlindungan, dan pemulihan hak korban kekerasan seksual, termasuk anak-anak. 

Selain itu, ada Perpres 9/2024 yang mengatur tentang penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan pencegahan dan penanganan tindak pidana kekerasan seksual.
Tujuan dari regulasi tersebut adalah untuk melindungi anak-anak dari kekerasan seksual dan eksploitasi, mencegah terjadinya kekerasan seksual terhadap anak, menangani dan memulihkan hak-hak korban kekerasan anak, dan mengoordinasikan upaya pencegahan kekerasan seksual anak antara pemerintah pusat dan daerah. Meski sudah ada banyak regulasi, kekerasan seksual pada anak di Indonesia masih sangat mengkhawatirkan. Lemahnya system sanksi tidak mampu memberikan efek jera yang nyata bagi para pelaku kejahatan.

Maraknya kasus pelecehan dan kekerasan pada anak yang semakin mengkhawatirkan tidak dapat dilepaskan dari berbagai akar persoalan mendasar mulai dari lemahnya keimanan individu, rusaknya standar interaksi sosial ditengah masyarakat, hingga minimnya peran Negara dalam memberikan perlindungan yang tegas dan menyeluruh. Dalam system kehidupan yang diwarnai sekularisme kapitalisme nilai-nilai agama dipisahkan dari ranah public sehingga akal manusia menuntut perilakunya yang makin bebas. 

Kemaksiatan pun kian dinormalisasi, budaya saling menasehati nyaris hilang dan masyarakat kehilangan pedoman hidup yang seharusnya menjadi benteng utama dalam menjaga kehormatan dan keselamatan generasi muda. Lingkungan masyarakat kini semakin teracuni oleh gaya hidup liberal yang menjadikan kebebasan individu dan pencapaian materi sebagai orientasi utama hidup tanpa lagi memperdulikan batasan nilai halal dan haram, kondisi ini menumbuhkan budaya permisif terhadap perilaku menyimpang dan menumpulkan kepekaan sosial terhadap terhadap bentuk kemungkaran. Meski Negara memberikan keprihatinan terhadap kasus kekerasan terhadap anak namun solusi yang diberikan belum menyentuh akar persoalan yang mendalam.

Lemahnya Perlindungan Anak, Islam Hadir Sebagai Solusi 

Sebagai agama yang sempurna, Islam memiliki seperangkat aturan yang mampu menyelesaikan seluruh persoalan hidup manusia, termasuk menanggulangi kekerasan seksual anak. Dalam Islam, generasi adalah aset pembangun peradaban sehingga harus dibina, dijaga, dan dioptimalkan pemberdayaannya dengan baik. 

Oleh karena itu problem kekerasan dan pelecehan pada anak tidak bisa diselesaikan dengan pendekatan parsial melainkan harus dipandang sebagai persoalan sistemik yang menuntut solusi menyeluruh berbasis system dan solusi tersebut hanya dapat terwujud melalui hadirnya Negara yang berpijak pada paradigma yang shahih dalam menyelasikan persoalan umat, yaitu Negara khilafah.

Dalam system khilafah pendidikan islam diterapkan secara terstruktur dan menyeluruh dengan melibatkan tiga pilar utama dalam pembentukan kepribadian mulia, yakni keluarga, masyarakat dan Negara. Ditingkat keluarga peran orangtua sangat sentral dalam menanamkan nilai-nilai islam kepada anak-anak sejak dini, Allah SWT berfirman yang artinya 
“ Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…”(QS. AT-Tahrim :08)

Ayat ini mewajibkan orangtua mendidik dan menjaga anak-anaknya agar selamat dari penyimpangan aqidah dan syariat islam, anak-anak perlu diajarkan tentang pentingnya keimanan serta pemahaman terhadap syariat islam secara menyeluruh (kaffah) agar mereka memahami makna hidup dan tujuan keberdaan mereka didunia. Dengan bekal ini anak akan meyakini bahwa hanya dengan aturan islam yang layak dijadikan pedoman dalam setiap perbuatan.
Melalui penerapan aturan islam secara menyeluruh dalam kehidupan masyarakat akan terbentuk lingkungan sosial yang menjunjung tinggi budaya amar ma’ruf nahi munkar masyarakat islam akan saling menasehati dan menjaga agar kemaksiatan sekecil apapun tidak dibiarkan bekembang diruang public melainkan ditindak secara tepat baik dengan nasehat maupun melalui mekanisme hukum yang berlaku. 

Rasulullah SAW bersabda 
“Barang siapa diantara kalian melihat kemungkaran, maka hendaklah ia mengubah dengan tangannya; jika tidak mampu, maka dengan lisnnya; dan jika tidak mampu, maka dengan hatinya, dan itulah selamah-lemah iman,”(HR,Muslim).

Negara menjamin hak-hak anak, yaitu mendapat pendidikan yang layak, nafkah yang cukup, makanan bergizi seimbang, tersedianya rumah yang layak dan sehat, lingkungan yang baik bagi tumbuh kembang anak, dan keluarga yang harmonis serta penuh kasih sayang.
Negara melaksanakan sistem pendidikan berbasis akidah Islam dalam rangka mewujudkan generasi berkepribadian Islam yang bertakwa serta unggul dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. Layanan pendidikan ini diberikan secara gratis bagi seluruh rakyat. Sistem pendidikan Islam mencetak generasi beriman dan berakhlak mulia sehingga tidak ada tindakan eksploitatif, semisal kekerasan, pelecehan seksual, perundungan, dan sebagainya.

Kedua, negara akan mengeluarkan undang-undang yang mengatur informasi sesuai dengan ketentuan hukum-hukum syariat. Hal itu dalam rangka menjalankan kewajiban negara dalam melayani kemaslahatan Islam dan kaum muslim, juga dalam rangka membangun masyarakat islami yang kuat, selalu berpegang teguh dan terikat dengan tali agama Allah Swt., serta menyebarluaskan kebaikan dari dan di dalam masyarakat islami tersebut.

Ketiga, ketika upaya pencegahan sudah dilakukan, tetapi masih ada manusia yang melakukan kemaksiatan, negara akan menerapkan sanksi yang tegas. Sistem sanksi Islam bertujuan tidak hanya untuk memberikan hukuman yang adil, tetapi juga untuk mencegah orang lain melakukan kesalahan serupa. Sanksi ini berfungsi sebagai penebus dosa (jawabir) dan memberi efek jera (zawajir).

Wallahu A'lam


Share this article via

3 Shares

0 Comment