| 51 Views
Palestina: Luka yang Disembunyikan Dunia, Menunggu Pasukan Tentara Pembela

Oleh : Haifa Manar
Penulis, Aktivis Dakwah
Saat ini, ada kebisuan yang dibuat-buat di tengah ledakan suara, ada kegelapan yang dipaksakan agar jeritan tidak lagi sampai pada telinga. Pada 18 September 2025, terjadi pemutusan jaringan telekomunikasi dan internet di Gaza yang mana itu bukan sekadar gangguan teknis—melainkan bagian dari ofensif yang sengaja diberlakukan untuk meredam akses informasi, menghambat koordinasi kemanusiaan, dan menambah derita warga sipil yang hingga saat ini masih bertahan sewaktu ratusan unit lapis baja mengepung seluruh kota.
Terdapat beberapa reaksi internasional: di mana negara-negara Eropa mulai memberlakukan langkah-langkah simbolik dan nyata—dari pengakuan sebagian kewenangan Palestina, dan pembatasan perdagangan hingga embargo senjata dan peninjauan ulang hubungan ekonomi. Negara Belgia, Spanyol, dan Norwegia termasuk negara yang mengambil langkah-langkah konkret, sementara Komisi Eropa mulai mengusulkan pembatasan preferensi dagang dan sanksi terhadap tokoh-tokoh tertentu. Namun, meskipun fenomena gelombang kecaman dan boikot internasional sedang meluas, upaya mengubah kebijakan militer yang tengah berlangsung belum juga berhasil.
Kemudian, di waktu yang sama, gerakan solidaritas budaya dan sipil ikut bergolak: ada ribuan praktisi film dan pelaku budaya yang telah menandatangani seruan boikot terhadap institusi—yang dianggap terafiliasi dengan tindakan agresi di Gaza. Dan, tanda-tanda perlawanan moral ini nyatanya menunjukkan, bahwa tekanan politik formal tidak lagi menjadi satu-satunya bahasa penentangan di dunia.
Akan tetapi, masih ada beberapa fakta yang membuat nurani terpukul: yaitu, pembungkaman komunikasi dan upaya pengosongan wilayah adalah langkah-langkah yang sistematik untuk melemahkan perlawanan dan mempermudah kontrol terhadap warga Palestina. Karena ketika saluran informasi diputus, ketika ambulans dan bantuan logistik ditahan, ketika warga didorong untuk meninggalkan rumahnya sendiri, makaitu bukan sekadar operasi militer, melainkan upaya perubahan demografis dan politik yang berisiko menjadi penderitaan panjang bagi generasi yang akan datang.
Dari sudut pandang yang lebih luas, tanggapan internasional yang belum mampu menghentikan eskalasi ini memperlihatkan keterbatasan mekanisme global—yang bergantung pada kepentingan geopolitik. Sedangkan usaha multinasional untuk menekan Israel melalui sanksi dan pembatasan perdagangan sudah menunjukkan niat, tetapi niat tanpa kesatuan aksi dan determinasi strategis seringkali hanya menjadi tekanan bersyarat belaka.
Namun, semua tekanan ini nyatanya belum menggoyahkan langkah agresi Israel. Dan ini bukan hal yang mengejutkan. Sebab Israel berdiri dengan fondasi ideologis yang kuat, yakni proyek Israel Raya sebagaimana tertuang dalam protokol gerakan Zionis. Tujuan utamanya jelas: yaitu menjadikan Palestina sebagai pusat kekuasaan politik mereka. Lalu, dalam mewujudkan agenda tersebut, Israel mendapat dukungan penuh dari United States Department of Defense dan jejaring kapitalis global yang terafiliasi dengan Zionisme.
Oleh karena itu, fakta ini menunjukkan satu hal penting: bahwa boikot dan kecaman internasional tidaklah cukup. Sebab dalam sistem kapitalisme global, tekanan ekonomi acapkali hanya menjadi lip service politik belaka. Sedang di balik layar, kerja sama strategis tetap berlangsung selama adanya keuntungan. Karena itulah, meskipun embargo dan seruan boikot makin meluas, Israel masih saja bergerak tanpa ragu.
Jeritan Gaza di Tengah Kebisuan Dunia
Pemutusan komunikasi dan pengepungan militer terhadap Gaza tidak hanya melumpuhkan kota secara fisik, tetapi juga sebuah usaha untuk menghapus jejak penderitaan dari mata dunia. Salah satunya adalah penghapuskan akun Instagram seorang jurnalis Al-Jazeera yang bernama Saleh Aljafarawi dengan jumlah 5,5 juta followers—yang menjadi bukti pembungkaman terhadap media agar tidak bisa lagi melaporkan. Lalu, ketika keluarga kehilangan kabar satu sama lain, maka yang tersisa hanyalah sunyi—yang sengaja diciptakan untuk menutupi kejahatan kemanusiaan.
Sementara itu, strategi ini tidak semata-mata berdiri sendiri. Ia berjalan beriringan dengan narasi politik global yang memosisikan Palestina sebagai beban keamanan internasional, bukan sebagai korban kolonialisme modern atas genosida yang berlangsung. Dalam situasi seperti ini, Gaza bukan sekadar terisolasi secara geografis, tetapi juga secara politik.
Dalam konteks seperti inilah desakan untuk sebuah kekuatan penegak yang kredibel kemudian muncul dalam wacana—yang sering digaungkan oleh kaum muslimin: harapan akan hadirnya kekuatan yang mampu membela Gaza secara nyata.
Khilafah merupakan Perisai yang Dirindukan Umat
Dalam sejarah panjang Islam, umat pernah memiliki satu komando militer yang tidak hanya menjaga wilayah, tetapi juga menjadi perisai bagi seluruh kaum muslimin—kekuatan itu disebut sebagai Tentara Islam di bawah komando Khalifah. Pun, bagi banyak orang, desakan ini bukan sekadar seruan emosional saja, melainkan refleksi dari kekecewaan kolektif terhadap ketidakmampuan institusi internasional dalam melindungi yang tak berdaya. Kemudian kekuatan politik yang terpusat di bawah kepemimpinan Khalifah pernah menjadi perisai bagi umat Islam, termasuk dalam menghadapi agresi eksternal. Dalam kerangka inilah muncul gagasan bahwa hanya Khilafah ‘ala minhaj an-nubuwwah yang akan mampu melumpuhkan kekuatan militer Zionis dan membebaskan Gaza serta Palestina dari cengkeraman penjajahan modern.
Sungguhpun demikian, Khilafah bukanlah sekadar simbol religius, tetapi sebuah sistem pemerintahan yang memiliki perangkat militer, politik, dan ekonomi yang solid. Sebab dengan satu komando, kekuatan dunia Islam tidak lagi tercerai-berai dalam diplomasi kosong, tetapi dapat bergerak secara strategis dan terstruktur.
Harapan akan Kekuatan yang Terarah
Sistem Khilafah adalah harapan yang terlahir bukan dari sekadar romantisme sejarah Islam. Ia lahir dari kenyataan, bahwa lembaga internasional dan mekanisme diplomatik modern kerapkali tak berdaya ketika berhadapan dengan negara yang didukung kekuatan besar seperti Israel. Walaupun resolusi demi resolusi muncul, tetapi kekerasan terus terjadi. Meskipun seruan demi seruan menggema, tetapi darah tetap saja tumpah.
Sepanjang sejarah, bangsa Yahudi memang dikenal sebagai kaum yang paling keras permusuhannya terhadap umat Islam, sebagaimana disebutkan dalam Q.S Al-Maidah ayat 82:
“Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik.” (QS. Al-Maidah: 82)
Sehingga, ayat ini menjadi pengingat bahwa permusuhan Zionis terhadap umat Islam bukan fenomena baru, melainkan kelanjutan dari permusuhan ideologis yang panjang.
Kesadaran terhadap Agresi di Gaza, Palestina
Ketahuilah, jikalau Gaza bukan hanya sekadar batasan wilayah di peta Timur Tengah. Gaza adalah saksi dari ketidakberdayaan dunia dalam menghadapi rezim Zionis. Dan apa yang terjadi di Gaza adalah cermin dari sistem internasional yang lumpuh oleh kepentingan kapitalisme global.
Maka, fenomena boikot dan kecaman adalah langkah awal, bukan langkah akhir. Sebab dunia Islam membutuhkan kebangkitan kekuatan politik dan militer yang mampu menjadi pelindung bagi rakyatnya. Dalam konteks inilah, kehadiran Tentara Islam di bawah komando Khalifah bukan sekadar harapan—melainkan kebutuhan strategis untuk mengakhiri penjajahan, membebaskan Palestina, dan menegakkan keadilan yang selama ini direnggut paksa.
Selanjutnya, derita Gaza menuntut lebih dari sekadar kata-kata: ia menuntut tindakan yang berwibawa, terpadu, dan beradab. Dikarenakan suara itu harus didengar bukan hanya sebagai gema kesedihan, tetapi sebagai seruan untuk membangun kembali keadilan yang hilang—tentunya dengan kecerdasan politik dan keberanian moral yang tidak setengah-setengah. Selain itu, selama dunia hanya menjawab jeritan Gaza dengan pernyataan, maka darah akan terus-menerus mengalir deras. Namun, jika umat Islam bangkit dengankesatuan yang terarah di bawah naungan Khilafah, maka Gaza akan kembali bernapas dalam kemerdekaan, dan ketenangan yang selama 2 tahun terakhir ini tak pernah mereka rasakan.
Wallahu a’lam bish-showab.