| 12 Views

Tunjangan DPR Fantastis, Kok Bisa?

Oleh: Asih Lestiani

Berita tentang fantastisnya gaji dan tunjangan anggota DPR yang mencapai lebih dari Rp100 juta per bulan mengundang kritik publik. Di tengah sulitnya ekonomi rakyat, besaran tunjangan itu dianggap tidak sepadan dengan kinerja DPR yang kerap mengecewakan rakyat. Fenomena ini sesungguhnya mencerminkan wajah asli sistem demokrasi kapitalisme, di mana jabatan politik sering kali menjadi jalan untuk meraih keuntungan pribadi, bukan untuk mengabdi kepada rakyat.

Namun begitulah dalam sistem demokrasi kapitalisme, jabatan politik identik dengan kekuasaan dan akses terhadap kekayaan. Mekanisme politik transaksional menjadi lumrah, sebab tujuan utama banyak pihak adalah meraih keuntungan materi. Para pejabat berhak menentukan sendiri besaran gaji dan tunjangan mereka, tanpa mempertimbangkan kesulitan hidup rakyat yang diwakili. Wajar jika rakyat semakin kehilangan kepercayaan kepada para pemimpinnya, karena empati dan amanah terkikis oleh kepentingan pribadi.

Islam memiliki sistem kepemimpinan yang berbeda mendasar dari demokrasi. Asasnya adalah akidah Islam, dan aturan yang dijadikan pedoman adalah syariat Allah, bukan akal atau kepentingan manusia. Dalam Islam, seorang pemimpin bukan penguasa, tetapi pelayan umat. Rasulullah ﷺ bersabda:

“Imam (pemimpin) adalah pengurus rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Jabatan adalah amanah yang berat dan akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Seorang anggota Majelis Umat dalam sistem Islam tidak akan menjadikan kedudukannya sebagai alat memperkaya diri. Keimanan dan ketakwaan menjadi benteng moral agar setiap kebijakan berpihak kepada rakyat dan sesuai syariat.

Islam menuntut setiap muslim, termasuk pejabat dan anggota majelis umat, memiliki kepribadian Islam. Mereka didorong oleh semangat fastabiqul khairat (berlomba-lomba dalam kebaikan), sehingga amanah dijalankan dengan penuh kesungguhan. Tidak ada celah bagi politik transaksional, karena kekuasaan bukan milik manusia, melainkan amanah dari Allah. Negara akan mengatur kesejahteraan rakyat secara adil, bukan memperkaya segelintir elit.

Sejatinya masalah tunjangan fantastis pejabat hanyalah satu contoh dari rapuhnya sistem demokrasi kapitalisme. Selama kepemimpinan tidak diikat syariat Allah, keadilan hanyalah utopia. Islam menawarkan sistem pemerintahan yang menjadikan penguasa benar-benar pelayan umat, dengan mekanisme pengawasan dan ketakwaan sebagai penjaga utama.

Hanya dengan penerapan Islam secara kaffah dalam institusi negara, ketimpangan seperti ini dapat dihapuskan. Sosok pemimpin Islam dalam sistem Islam menunjukkan pemimpin yang hidup sederhana, bahkan rela lapar demi rakyatnya. Inilah teladan kepemimpinan yang sesungguhnya.

Wallahu a'lam bishawab.


Share this article via

9 Shares

0 Comment