| 319 Views

Tema Hari Anak Nasional 2024, Logo dan Sejarahnya

Oleh : Ucy
Mahasiswa Universitas UM Buton

Hari Anak Nasional (HAN) 2024 ini diperingati sebagai Hari Anak ke-40. Acara puncaknya diselenggarakan di Jayapura, Papua dengan mengambil tema Anak Terlindungi, Indonesia Maju. Dengan tema ini, diharapkan mampu menstimulasi dan menggaungkan nilai-nilai dasa

Tema ini memang mencerminkan betapa kita sebagai bangsa, menggantungkan masa depan kita pada anak-anak kita. Ketika mereka bisa bertumbuh kembang dengan baik, mendapatkan pendidikan berkualitas, dan memperoleh jaminan keamanan sampai saatnya mampu mengambil alih tongkat estafet kepemimpinan bangsa, cita-cita Indonesia maju pun akan terwujud. Namun faktanya, permasalahan anak sampai saat ini menggunung tanpa solusi tuntas.

Negara Gagal Melindungi Anak

Mari kita lihat data-data di bawah ini untuk bisa pada sampai kesimpulan bahwa negara telah mampu melindungi anak atau justru gagal melakukannya.

Kasus kekerasan terhadap anak masih marak terjadi. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) melaporkan, para 2023, ada 16.854 anak yang menjadi korban kekerasan. Bahkan, anak korban kekerasan tersebut dapat mengalami lebih dari satu jenis kekerasan. Tercatat, ada 20.205 kejadian kekerasan yang terjadi di dalam negeri pada 2023.

Berbagai kekerasan tersebut tidak hanya secara fisik, tetapi juga psikis, seksual, penelantaran, perdagangan orang, hingga eksploitasi. Jenis kekerasan yang paling banyak terjadi di Tanah Air sepanjang tahun lalu, yakni kekerasan seksual. Jumlahnya mencapai 8.838 kejadian.

Persoalan bisa kita katakan makin besar karena bukan hanya angka, tetapi intensitas masalahnya meningkat. Pelaku kekerasan anak, sekarang lebih sering dari orang terdekatnya, termasuk ayah, ibu, atau kerabat serumah. Tindak kekerasannya juga makin sadis, bahkan kadang di luar nalar. Ada orang tua yang tega membuang atau menelantarkan anak-anaknya yang masih balita, ibu yang tega menjual anak ke lelaki hidung belang, bahkan ada ibu yang tega mencabuli anak laki-lakinya yang masih di bawah umur demi uang.

Bukan hanya menjadi korban, tidak adanya perlindungan yang semestinya dari negara juga membuat anak-anak menjadi pelaku tindak kriminal. Anak-anak gadis melacurkan diri, remaja pelaku tawuran tega membunuh, bullying, pelaku pornografi, hingga menjadi pecandu narkoba.

Masalah anak saat ini bertambah dengan kecanduan judi online. Kepala Satuan Tugas Pemberantasan Judi Online sekaligus Menko Polhukam Hadi Tjahjanto menyebut, sekitar 2% pemain judi online adalah anak di bawah umur atau kurang dari 10 tahun, jumlahnya 47.400 orang. Sedangkan antara 10—20 tahun sekitar 440.000 orang.

Anak-anak Indonesia juga masih harus berhadapan dengan berbagai persoalan lain, seperti kemiskinan, stunting, serta rendahnya akses terhadap jaminan kesehatan dan pendidikan. Dalam peringatan HAN 2024, persoalan dampak negatif internet termasuk yang mendapat sorotan. Di dunia digital sekarang, anak-anak berhadapan dengan dampak negatif teknologi, seperti kecanduan internet, kejahatan online, dan kekerasan seksual di dunia maya.

Melihat berbagai fakta ini, tentu kita layak mempertanyakan tema HAN ke-40 ini, sejauh manakah negara mampu memberikan perlindungan pada anak Indonesia? Setiap tahun HAN diperingati, tetapi setiap tahun pula persoalan anak bertambah, tidak terselesaikan.

Persoalan Anak adalah Masalah Sistemis

Mengapa negara gagal memberikan perlindungan pada anak? Banyak pihak mencoba menganalisis faktor penyebab munculnya persoalan anak. Umumnya pihak-pihak terkait menuding kemiskinan, pola asuh, lingkungan (keluarga, masyarakat, dan sekolah), budaya, lemahnya penegakan hukum, serta kurangnya pengawasan terhadap implementasi kebijakan, menjadi faktor terjadinya berbagai masalah anak.

Pembahasan faktor yang memunculkan persoalan anak selalu terhenti di sini. Tidak ada yang membahas bahwa semua persoalan tersebut pada dasarnya adalah kegagalan negara dalam melindungi anak Indonesia. Tidak ada upaya untuk menelaah lebih dalam, peran negara yang minimalis dalam sistem kapitalisme berimplikasi besar dalam memunculkan kemiskinan, disfungsi keluarga, merebaknya tayangan merusak atau buruknya implementasi hukum.

Kemiskinan, misalnya. Diakui atau tidak, saat ini negara kita menerapkan sistem ekonomi kapitalisme. Dalam sistem ini, akses terhadap sumber daya hanya diberikan kepada orang-orang yang memiliki modal. Sedangkan orang yang tidak atau hanya sedikit memiliki modal, menjadi makin miskin. Kesenjangan makin lebar antara yang miskin dan kaya. Kondisi ini bisa memicu stres orang tua yang berujung pada kekerasan terhadap anak, penelantaran, perdagangan anak, gizi buruk, dan stunting.

Disfungsi keluarga juga adalah akibat penerapan sistem yang salah. Negara kapitalis selalu mempromosikan partisipasi ekonomi perempuan sebagai bentuk pemberdayaan perempuan dalam pembangunan.[iv] Akibatnya, para ibu lebih sibuk dengan pekerjaan daripada mengurus keluarga atau pengasuhan anak.

Faktor-faktor lain yang memunculkan persoalan anak juga sekadar akibat. Kebebasan yang kebablasan dari cara hidup liberal telah menghalalkan berbagai sarana pemuasan nafsu tanpa memandang lagi akibat yang ditimbulkan.

Begitu pula implementasi hukum yang lemah. Hukum merupakan hasil penerapan demokrasi yang penyusunannya diserahkan kepada keterbatasan pikiran dan akal manusia. Rasa iba manusia membuat hukum rajam, hukuman mati, atau hukuman di hadapan khalayak, ditolak. Akibatnya, hukum menjadi mandul, tidak berefek pencegahan, bahkan tidak membuat jera pelaku kejahatan.

Dengan demikian, berbagai persoalan anak pada dasarnya penyebabnya adalah penerapan sistem yang rusak, sistem yang hanya melahirkan kerusakan dan kebobrokan di semua lini kehidupan. Selayaknya sistem ini kita tinggalkan, berpindah pada sistem yang memuliakan generasi yang telah terbukti saat diterapkan menghasilkan anak-anak berkualitas. Sistem ini adalah Islam.

Islam Meiindungi Anak

Secara sistem, penerapan Islam secara sempurna akan menjamin penghapusan semua persoalan anak. Islam adalah satu-satunya agama yang tidak hanya mengatur ritual atau aspek ruhiah. Islam juga merupakan akidah siyasi, yaitu akidah yang memancarkan seperangkat aturan untuk mengatur kehidupan.

Islam memiliki mekanisme untuk melindungi anak secara total, dari tumbuh kembang fisik, kepribadian, dan kesejahteraannya. Islam menganjurkan para ibu menyusui bayinya hingga dua tahun. Untuk menyempurnakan penyusuan ini, ibu bahkan dibolehkan tidak berpuasa saat Ramadan.

Ayah diperintahkan untuk mencukupi nafkah ibu yang menyusui, bahkan apabila ibu dicerai saat menyusui, ayah wajib membayar upah penyusuan (QS Al-Baqarah: 234). Ini bertujuan agar ibu tidak perlu bekerja saat menyusui sehingga mengganggu hak anak mendapat penyusuan yang sempurna. Ayah yang mampu namun melalaikan kewajibannya bisa dilaporkan kepada hakim yang akan memaksanya untuk membayarkan nafkah dengan menahan hartanya atau memenjarakannya sampai ia mau membayar nafkah.

Perempuan boleh beraktivitas di luar rumah, tetapi setelah tugasnya sebagai ibu dan pengatur rumah telah ditunaikan secara sempurna. Mencari nafkah tidak diwajibkan atas mereka sehingga mereka bisa berkonsentrasi penuh menjalankan kewajiban mengurus dan mengasuh anak-anak. Inilah pencegahan stunting dan gizi buruk yang paling efektif pada anak karena tujuan pengasuhan anak dalam Islam adalah mencegah anak dari kebinasaan.

Islam juga melarang orang tua menyakiti anak saat mendidik mereka. Kebolehan memukul anak hanya setelah anak berusia 10 tahun saat tidak mau diperintahkan untuk salat. Itu pun hanya dengan pukulan ringan yang tidak berbekas, semata-mata bertujuan memberikan pendidikan, bukan menghukum, apalagi pukulan penuh emosi yang menyakiti anak.

Dalam masalah ekonomi, Islam mewajibkan negara menyediakan lapangan kerja yang luas agar para kepala keluarga dapat bekerja dan memberikan nafkah untuk keluarganya. Semua sumber daya alam strategis adalah milik umat yang dikelola negara. Negara berkewajiban mendistribusikan seluruh hasil kekayaan negara untuk kesejahteraan warga negara termasuk anak,baik untuk mencukupi kebutuhan pokok, kesehatan, maupun pendidikan.

Islam juga menghargai kebebasan, tetapi tetap menjaga agar kebebasan tersebut bernilai positif untuk kehidupan. Media massa, internet dan sarana-sarana penyebaran pemikiran dan informasi dibatasi hanya boleh menyebarkan hal-hal yang sesuai dengan ajaran agama dan bernilai produktif bagi umat.

Penerapan sistem Islam juga menjaga suasana takwa terus hidup di tengah masyarakat. Negara berkewajiban membina warga negara sehingga ketakwaan individu menjadi pilar bagi pelaksanaan hukum-hukum Islam. Individu bertakwa tidak akan melakukan pelanggaran hukum terhadap anak-anak. Masyarakat yang bertakwa juga akan selalu mengontrol agar individu tidak melakukan pelanggaran. Oleh karenanya, masyarakat menjadi pilar kedua dalam pelaksanaan hukum syarak.

Pilar ketiga adalah penegakan hukum oleh negara. Negara menjalankan syariat secara sempurna dalam segala bidang untuk memastikan kesejahteraan dan keamanan warga negara. Negara juga menerapkan sistem sanksi yang tegas bagi para pelanggar hukum seperti pemerkosa dicambuk 100 kali apabila belum menikah, dan dirajam apabila sudah menikah.

Penyodomi akan dihukum bunuh. Pembunuh anak akan dikisas, yakni balas bunuh, atau membayar diat sebanyak 100 ekor unta yang apabila dikonversi saat ini senilai lebih dari 1,2 miliar rupiah. (Abdurrahman al-Maliki, Sistem Sanksi dalam Islam, 1990). Begitu pun tindak kejahatan lain, akan ditetapkan hukuman tegas yang membuat orang-orang yang akan melakukan kejahajan berpikir beribu kali sebelum melakukan tindakan.

Penerapan sistem Islam secara utuh ini akan menyelesaikan masalah-masalah anak secara tuntas, bukan solusi parsial yang memunculkan berbagai persoalan baru. Penerapan sistem ini hanya bisa dilakukan dalam institusi negara Islam, yaitu Khilafah Islamiah yang akan menerapkannya secara sempurna tanpa diskriminasi, baik orang dewasa atau anak-anak, muslim atau nonmuslim, laki-laki atau perempuan, semua mendapatkan hak yang sama sebagai warga negara.

Hanya dalam sistem yang telah terbukti dari sejarah penerapannya selama kurang lebih 13 abad inilah, anak-anak dapat tumbuh dengan aman, menjadi calon-calon pemimpin, calon-calon pejuang, dan calon generasi terbaik. Anak terlindungi, umat maju seluruhnya. Wallahualam.


Share this article via

83 Shares

0 Comment