| 8 Views
Runtuhnya Pesantren Memakan Korban Jiwa. Dimanakah Tanggung Jawab Negara?

Oleh : Dewi Yuliani
Aktivis : Pengemban Dakwah
Baru - baru ini disosial media dikejutkan dengan adanya teragedi yang mengenaskan seperti yang terdapat berita saat ini dari Jakarta - BNPB mengupdate data terbaru jumlah korban tewas ambruknya Pondok Pesantren Al Khoziny, Buduran, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Per siang ini, jumlah korban meninggal dunia menjadi 37 orang.
Berdasarkan data BNPB, Minggu (5/10/2025), terhitung pukul 06.30 WIB sampai 12.00 WIB, tim gabungan telah menemukan 12 jenazah dan satu lagi potongan tubuh manusia dari balik reruntuhan bangunan lantai empat musallah. Penemuan itu menambah data jumlah korban meninggal dunia menjadi 37 orang dan bagian tubuh menjadi dua potongan.
Deputi Bidang Penanganan Darurat BNPB, Mayjen TNI Budi Irawan mengatakan bahwasanya dengan bertambahnya satu jenazah, sehingga diduga masih ada 26 orang tertimbungan reruntuhan. Namun demikian, dia mengatakan itu belum data valid sampai peroses evakuasi bangunan rata dengan tanah.
Gedung lantai 4 Ponpes Al Khaziny ambruk, menimpa santri yang sedang shalat ashar di lantai 2. Dan diperkirakan sekitar 160-an korban, dan 37 diantaranya meninggal.
Sangan miris dengan terjadinya Bangunan Ponpes ambruk disinyalir konstruksi bangunan yang tidak kuat dan koko yang mengakibatkan terjadinya ambruk dan memakan korban ditambah lagi pengawasannya yang buruk.
Yang menjadi akar permasalahannya adalah yang diketahui bahwa dana pembangunan Ponpes umumnya dari wali santri dan donatur yang terbatas. Yang seharusnya itu telah menjadi tanggung jawab pemerintah yang harus menyediakan fasilitas pendidikan dan dipasilitasi bangunan yang kokoh oleh negara, tapi sangat disayangkan dana pembangunannya malah dibebankan kepada masyarakat.
Tidak heran bukan disistem kapitalis hari ini sudah jelas kita lihat bersama Minimnya kesejahteraan bagi masyarakat miskin dan santri yang mondok di pesantren bukan sekadar persoalan teknis anggaran, tapi berakar dari paradigma negara terhadap pendidikan. Setidaknya ada tiga hal yang mencerminkan kondisi ini. Yang pertama, negara kerap berdalih anggaran tidak cukup untuk memberik kelayakan yang cukup bagi murid dan menggaji guru secara layak. Padahal, sudah jelas kita lihat begitu banyak SDA yang seharusnya menjadi modal utama pembangunan semestinya juga menjadi sumber utama pendapatan negara.
Sayangnya pengelolaan SDA telah diserahkan kepada swasta dan asing. Penerapan kapitalisme juga membuat negara kehilangan potensi pemasukan besar karena hanya berperan sebagai regulator dan penerima pajak saja dari rakyatnya. Akibatnya, anggaran negara kini justru bergantung pada pajak dan utang, dua sumber pemasukan yang justru membebani rakyat.
Yang kedua, didalam sistem sekuler kapitalistik saat ini,para guru tidak ditempatkan sebagai pendidik generasi mulia, melainkan hanya sekadar faktor produksi pencetak tenaga kerja saja. Nilai jasa mereka diukur dengan untung dan rugi, bukan dengan peran strategisnya membangun peradaban. Demi efisiensi, guru bahkan diperlakukan layaknya komoditas yang bisa ditekan biayanya.
Ketiga, negara begitu abai terhadap tanggung jawab dalam pendidikan serta bangunan sekolah yang layak dan kokoh. Alih-alih menjadikannya prioritas dan menanggung penuh kebutuhan guru, negara malah hanya berperan sebagai fasilitator. Bahkan yang begitu miris kualitas pendidikan pun ikut menurun. Hal itu tampak dari rendahnya kualitas pemimpin yang lahir dari sistem kapitalisme hari ini. Hasilnya, banyak di antara pemimpin yang tidak memiliki kapasitas moral dan intelektual untuk mengurus rakyat.
Saat ini pendidikan dianggap sekadar beban anggaran negara, bukan investasi peradaban jangka panjang. Kondisi ini adalah bukti nyata soal kezaliman negara terhadap rakyatnya. Baik itu soal gaji guru honorer serta bangunan sekolah yang tidak kuat tanpa jaminan kesejahteraan yang sepadan.
Berbeda halnya didalam sistem Islam negara yang telah menyediakan fasilitas pendidikan dengan standar keamanan, kenyamanan dan kualitas yang baik. Bahkan pendanaannya pun juga di fasilitas oleh negara. Tidak hanya itu saja pendidikan juga diatur melalui sistem keuangan baitul mal atau sebagai kas negara. Negara bertanggung jawab penuh terhadap fasilitas pendidikan bahkan juga bangunan sekolah yang kuat tanpa membedakan sekolah negeri atau swasta.
Lebih jauh lagi, pendidikan, kesehatan, dan keamanan di dalam sistem Islam disediakan oleh negara secara gratis dan dengan kualitas yang terbaik. Pemimpin pun wajib menjalankan fungsinya sebagai penanggung jawab (raa’in) bagi seluruh rakyat. Alhasil, masyarakat mendapatkan pendidikan bermutu, serta bangunan pesantren yang kuat dan kokoh.
Drama panjang yang kita lihat tidak ada kesejahteraan atau keadilan yang dialami oleh para santri, justru malah memperlihatkan kegagalan sistem sekuler kapitalistik dalam mengurus rakyat. Di dalam sistem sekuler, bangunan sekolah - sekolah yang seharusnya dipasilitasi oleh negara justru diperlakukan tidak adil dan dibiarkan begitu saja karna bagi pemerintah pondok pesantren itu tidak perlu di lihat secara detil baik itu bangunannya dan pendidikannya karna bagi mereka tidak ada keuntungannya bagi para kapital.
Sebaliknya justru Islam telah memiliki mekanisme terbaik untuk menyejahterakan guru sekaligus menghadirkan pendidikan berkualitas bagi seluruh rakyat serta bangunan sekolah yang kokoh dan kuat. Dari pengelolaan kekayaan alam saja semua dirancang untuk menempatkan membangun bangunan sekolah yg kuat serta gaji guru layak. Bahkan Islam juga memposisikan guru yang mulia dan menjaga keberlangsungan peradaban generasi bangsa.
Oleh karena itu, sudah saatnya umat membuka mata dan kembali pada sistem Islam. Hanya dengan penerapan Islam secara menyeluruh, semua bangunan sekolah yang kokoh dan kuat akan terselesaikan serta mengangkat derajad para guru yang mengajar. Bahkan hanya negara Islam juga yang bisa membuat generasi bangsa terjamin kecerdasannya, dan rakyat, murid, serta guru akan terbebas dari kezaliman negara. Wallahualam bissawab