| 76 Views
Represifnya Aparat Bukti Demokrasi Anti Kritik

Oleh : Ummu Alvin
Ribuan massa aksi demonstrasi yang menolak RUU Pilkada terlibat bentrokan dengan tim gabungan TNI-POLRI di depan gedung DPR RI, Senayan Jakarta pada Kamis (22/8/2024).
Berdasarkan pemantauan tim lapangan Amnesty, aksi unjuk rasa #peringatandarurat yang terjadi di berbagai kota ini, ditanggapi aparat dengan penggunaan kekuatan yang berlebihan.
Di Jakarta, setidaknya sudah belasan orang yang ditangkap,termasuk juga staf Lembaga Bantuan Hukum Jakarta serta Direktur Lokataru. Mereka pun menjadi korban luka. Selain itu, sembilan orang lainnya juga menjadi korban kekerasan polisi, termasuk mahasiswa dari Universitas Paramadina dan UHAMKA. Tujuh jurnalis dari berbagai media (termasuk di antaranya Tempo, dan IDN Times) juga mengalami tindakan represif polisi.
Di Bandung, polisi tertangkap video mengejar dan memukul pengunjuk rasa dengan tongkat dan menginjaknya.
Di Semarang, setidaknya 15 mahasiswa dari berbagai kampus (Undip, Unnes, UIN Walisongo) dirawat di RS Roemani akibat tembakan gas air mata ke arah pengunjuk rasa oleh polisi. Mereka mengalami gejala seperti sesak nafas, mual, mata perih, dan beberapa bahkan pingsan.
Menanggapi perilaku aparat, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan:“Satu kata, brutal. Pengamanan yang semula kondusif, berujung brutal. Dan fatalnya, ini bukan pertama kali. Aparat yang brutal tersebut seolah tidak mau belajar dari sejarah, bahwa penggunaan kekuatan eksesif telah merenggut hak asasi manusia, dari hak untuk berkumpul damai, hingga hak untuk hidup, tidak disiksa dan diperlakukan tidak manusiawi. Mereka bukan kriminal, tapi warga yang ingin mengkritik pejabat dan lembaga negara. Bahkan jika melanggar hukum pun, tidak boleh diperlakukan dengan tindakan brutal.
Beginilah watak asli demokrasi yang katanya anti kritik, tapi justru tidak mau mendengarkan muhasabah rakyatnya,bahkan sekedar untuk menemui para demonstran, penguasa dan wakil rakyat justru lebih memilih untuk menerjunkan aparatnya dan membubarkan aksi dengan banyak tindakan represif yang sejatinya kontradiktif dengan apa yang di gaungkan bahwasanya pemerintah dalam sistem demokrasi menjunjung tinggi suara rakyat dan menjamin hak menyampaikan pendapatnya didepan umum.Seharusnya negara memberikan waktu dan tempat bagi rakyatnya untuk berdialog bukannya malah membubarkannya dengan kekuatan aparat.
Demokrasi identik dengan "Suara rakyat,suara Tuhan",Keberadaan Dewan perwakilan rakyat adalah sebagai penyambung lidah rakyat untuk menyuarakan aspirasi mereka kepada pemerintah.Jika memang konsisten harusnya tidak perlu ada pembungkaman kepada mereka yang kritis terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh pejabat dan lembaga negara,jika pemerintah mengatakan terbuka terhadap kritik,itu ibarat tong kosong nyaring bunyinya.padahal kritik bertujuan untuk mengoreksi yang salah dan meluruskan yang bengkok,agar tidak tersesat.
Dalam Islam jelas diajarkan aktivitas muhasabah/mengoreksi kesalahan sesama muslim pahalanya besar di sisi Allah SWT.. Itulah amar makruf nahi mungkar yang menjadikan umat ini mendapat gelar umat terbaik dari Allah SWT.
كُنتُمْ خَيرَ أُمَّةٍ أُخرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأمُرُونَ بِٱلمَعرُوْفِ وَتَنهَوْنَ عَنِ ٱلمُنْكَرِ وَتُؤمِنُوْنَ بِٱللَّهِ
“Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, melakukan amar makruf nahi mungkar, dan mengimani Allah.” (QS Ali Imran {3}:110)
Kritik terhadap penguasa adalah kebiasaan kaum muslim dalam melakukan nahi mungkar dan muhasabah lil hukam. Kritik yang dimaksud ialah meluruskan kebijakan penguasa agar sesuai dengan ketetapan Allah dan Rasul-Nya. Adapun menghina fisik atau pribadi penguasa, Islam melarangnya secara tegas karena bentuk fisik seseorang adalah sebaik-baik ciptaan Allah SWT.Memang, terkadang kritik itu pahit, tetapi pahitnya memberikan kesembuhan layaknya obat bagi orang sakit. Kehidupan bermasyarakat dan bernegara akan sehat jika amar makruf nahi mungkar senantiasa dilestarikan, saling menasehati dalam kebaikan, dan mencegah kerusakan yang lebih besar.
Khalifah pada masa kekhalifahan Islam telah memberikan teladan terbaik mereka sebagai penguasa kaum muslim. Sebut saja Khalifah Umar bin Khaththab yang lebih senang dikritik rakyatnya. Ketika seorang perempuan tampil berani mengkritiknya perihal mahar, beliau justru berterima kasih kepadanya.Alangkah indah apabila pemimpin saat ini bersikap lapang dada dan mau memperbaiki kesalahan tatkala rakyat mengkritiknya. Bukan berbuat sebaliknya, menggunakan kekuasaan untuk membungkam siapa saja yang menentangnya.
Dalam Islam, muhasabah atau kritik kepada penguasa harus membudaya dan senantiasa terjaga dari masa ke masa.Khilafah bukanlah sistem antikritik. Siapa pun bebas mengkritik penguasa. Bukankah mengatakan kebenaran di hadapan penguasa adalah sebaik-baik jihad? Rasulullah SAW bersabda, “Jihad yang paling utama ialah mengatakan kebenaran (berkata yang baik) di hadapan penguasa yang zalim.” (HR Abu Daud).Penguasa juga memahami tujuan adanya muhasabah lil hukam, yaitu demi tetap tegaknya aturan Allah di muka bumi, sehingga terwujud negara yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur yaitu, negeri yang baik dan dilimpahi ampunan Allah SWT.
Wallahu a'lam bi ash-shawaab.