| 144 Views

Raja Ampat: Surga Bahari Indonesia yang Perlu Dijaga

Oleh : Siti Martiana

Raja Ampat, yang terletak di Papua Barat, Indonesia, dikenal sebagai salah satu destinasi wisata bahari terbaik di dunia. Kepulauan ini terdiri dari lebih dari 1.500 pulau kecil, atol, dan beting yang mengelilingi empat pulau utama: Waigeo, Misool, Salawati, dan Batanta. Raja Ampat menyimpan kekayaan hayati laut luar biasa dan dianggap sebagai pusat keanekaragaman hayati laut dunia.

Raja Ampat menawarkan panorama alam yang menakjubkan dengan air laut jernih, terumbu karang yang sehat, dan berbagai spesies ikan, moluska, serta biota laut lainnya. Wilayah ini menjadi destinasi favorit para penyelam dan peneliti dari seluruh dunia. 

Namun di balik keindahan itu, Raja Ampat sedang menjadi sorotan publik karena aktivitas tambang nikel di sekitar wilayah tersebut yang mengancam kerusakan lingkungan. Selain itu, penambangan tersebut berpotensi ketentuan pidana tak terkecuali tindak pidana korupsi.

Banyak pihak khawatir atas potensi ancaman yang akan ditimbulkan dari aktivitas tambang tersebut, protes ini mencuat di media sosial dengan tagar #SaveRajaAmpat, yang merupakan bukti protes berbagai lapisan masyarakat atas izin yg dilegalkan pemerintah kepada  perusahaan tambang nikel.

Pemerintah akhirnya mencabut izin empat dari lima perusahaan tambang nikel yang dituding sebagai biang kerok kerusakan lingkungan di Raja Ampat. Empat perusahaan yang dicabut izinnya tersebut adalah PT Kawei Sejahtera Mining yang beroperasi di Pulau Kawe, PT Anugerah Surya Pratama di Pulau Manuran, PT Mulia Raymond Perkasa di Pulau Manyaifun dan Batang Pele, serta PT Nurham di Pulau Waigeo. Sementara, PT GAG Nikel yang merupakan anak perusahaan PT ANTAM tetap diizinkan meski dengan catatan akan mendapat pengawasan ketat dari pihak yang berwenang.

Pencabutan izin tersebut diputuskan pemerintah menyusul protes keras berbagai komponen masyarakat, mulai dari masyarakat adat, aktivis lingkungan, masyarakat umum, hingga para artis, terutama setelah beberapa waktu lalu beredar di media sosial video soal kerusakan wilayah Raja Ampat yang disebabkan oleh aktivitas pertambangan nikel yang dilegalkan oleh negara.

Mereka lantang menyerukan penolakan keras atas keberadaan tambang-tambang tersebut. Mereka pun menggalang dukungan yang lebih luas, salah satunya melalui pembuatan tagar #SaveRajaAmpat yang sempat trending di media sosial dan pada akhirnya “memaksa” pemerintah pusat untuk turun tangan, meski terkesan hanya sekadar agar rakyat diam. 

Dalam video yang beredar memang tampak jelas bahwa wajah Raja Ampat yang sebelumnya dikenal indah telah berubah menjadi rusak parah. Deforestasi terjadi tanpa bisa dikendalikan. Global Forest Watch mencatat, dalam kurun waktu 22 tahun, sekitar 11.700 hektar hutan primer di Raja Ampat telah hilang. Begitu pun wilayah perairannya mengalami sedimentasi berat yang membawa dampak lanjutan.

Namun, semuanya lambat laun mengalami perubahan. Keberadaan tambang-tambang nikel di sana benar-benar telah mengancam kelestarian lingkungan hidup dan keindahan alam yang ada. Bahkan yang paling berat adalah telah menyebabkan terampasnya ruang hidup bagi lebih dari 50 ribu jiwa masyarakat yang selama ini menggantungkan hidup pada kekayaan alam yang ada di sana.

Pertambangan nikel di Raja Ampat sendiri sebetulnya sudah berlangsung sejak lama. Beberapa sumber tulisan menyebut, eksplorasi nikel di Pulau Gag misalnya telah berlangsung sejak zaman Belanda, yakni sekira tahun 1920—1958. 

Pada masa orde baru, perusahaan Belanda itu dinasionalisasi oleh pemerintah dan selanjutnya beberapa kali mengalami pergantian pemilik izin pengelolaan pada beberapa perusahaan tambang. Hingga pada tahun 1990-an terbitlah berbagai kontrak karya, salah satunya bagi PT Gag Nikel –anak Perusahaan PT Antam yang beroperasi hingga sekarang.

Mirisnya, meski wilayah Raja Ampat telah ditetapkan oleh pemerintah pusat sebagai kawasan konservasi dan hutan lindung, tetapi pemerintah sendirilah yang justru mengizinkan perusahaan-perusahaan tambang tersebut untuk terus beroperasi dengan risiko yang tidak mungkin dihindari. Tahun 2004, misalnya, Presiden Megawati Soekarnoputri berani mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 2004 yang memberikan pengecualian bagi 13 perusahaan tambang (termasuk PT Gag Nikel), untuk tetap beroperasi di dalam kawasan hutan lindung Papua.

Keputusan ini sempat menuai kontroversi. Pasalnya, Keppres tersebut dianggap bertolak belakang dengan Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999 yang secara tegas melarang kegiatan tambang terbuka di area hutan lindung. Juga tidak sejalan dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Namun, pemerintah tidak menarik keputusannya. Bahkan, kebijakan tersebut berlanjut dari rezim ke rezim hingga dampaknya separah sekarang.

Kasus Raja Ampat sejatinya hanya salah satu potret terkait kuatnya gurita oligarki di negeri kita. Dalam hal ini, segelintir elite kekuasaan, berkolaborasi dengan para pemilik modal untuk merampas hak rakyat dan bermain-main di atas penderitaan mereka atas nama investasi dan pembangunan berbasis eksploitasi SDA. Lalu mereka pun intens menggaungkan opini bahwa itu semua dilakukan demi mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Seperti diketahui, Indonesia saat ini sedang gencar melakukan hilirisasi sektor pertambangan yang disebut-sebut sebagai tulang punggung pengembangan ekosistem baterai kendaraan listrik pada masa depan. Bisnis ini dipandang sangat menjanjikan meski pada faktanya ada banyak hal yang harus dikorbankan. Bukan hanya sekadar kerusakan alam saja, tetapi juga perampasan ruang hidup, hingga kedaulatan rakyat atas tanah airnya di masa depan. 

Kasus seperti di Raja Ampat hanyalah fenomena gunung es. Yang tidak terungkap di permukaan dipastikan jauh lebih parah. Terbukti di seluruh Indonesia, dari waktu ke waktu, bermunculan kasus serupa yang menyisakan berbagai nestapa. Namun seiring waktu pula, kasus-kasus perampasan ruang hidup ini menguap tanpa sisa, baik karena diterpa isu baru, atau ditutup dengan kebijakan populis  yang selalu memukau rakyat hingga mereka tetap dalam ketakberdayaan.

Untuk kasus pertambangan nikel saja, Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), misalnya, mencatat bahwa ada 380 Izin Usaha Pertambangan (IUP) dengan total luas 983.300,48 hektar di berbagai wilayah di Indonesia, termasuk di antaranya yang terjadi di Sulawesi (Morowali) dengan segala problematikanya dan di Papua Barat Daya, di antaranya di Raja Ampat.

Ironisnya, Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara (Dirjen Minerba) Kementerian ESDM Tri Winarno malah dengan bangga menyebut tidak ada negara lain di dunia yang bisa mengalahkan Indonesia dalam hal kecepatan penghiliran industri nikel. Dalam waktu kurang dari 5 tahun saja di Indonesia sudah ada 190 proyek smelter nikel; terdiri dari 54 yang sudah beroperasi, 120 tahap konstruksi, dan 16 tahap perencanaan.

Namun ironisnya, situs Indonesian Minning Association dengan jelas mengungkap bahwa pemegang izin usaha smelter nikel tersebut 70%-nya dikuasai asing, sementara hanya 30% dikuasai pemain lokal. Bisa dibayangkan, siapa yang sejatinya diuntungkan?

Padahal dari aspek dampak yang ditimbulkan satu perusahaan tambang saja dipastikan sudah luar biasa dahsyat, apalagi ratusan. Semuanya, alih-alih membawa kesejahteraan. Yang terjadi justru munculnya kerusakan alam dan meningkatnya kemiskinan di tengah rakyat banyak, di samping menimbulkan permasalahan sosial lain yang ongkosnya jauh lebih besar dan berjangka panjang.

Patut diketahui, itu baru nikel saja. Kasus tambang emas, batu bara, proyek sawit dll sudah banyak menimbulkan permasalahan. Di luar itu, pemerintah sendiri telah memetakan 28 komoditas  lainnya untuk dipacu proses hilirisasinya. Klaimnya, ini dilakukan guna mendatangkan potensi pendapatan negara senilai sekian ribu miliar dollar Amerika berikut serapan sekian juta tenaga kerja. Namun faktanya adalah demi bagi-bagi kue kekuasaan.

Kisruh Raja Ampat dan rentetan kasus-kasus lainnya sejatinya menunjukkan ada yang salah dengan paradigma kepemimpinan yang sedang tegak sekarang. Tampak bahwa paradigma kepemimpinan sangat kental dengan ideologi kapitalisme yang lahir dari paham sekularisme dan liberalisme yang sangat memuja kebebasan. 

Paradigma kepemimpinan seperti ini memang tidak kenal prinsip halal haram. Tidak heran jika para pemegang kekuasaan gagal menciptakan kehidupan yang harmoni dan diliputi kebaikan. Terlebih sampainya mereka pada kursi kekuasaan adalah melalui sistem politik demokrasi yang berbiaya super mahal. Dimungkinkan setiap rezim pemerintahan dikuasai oleh kekuatan modal dan dihadapkan pada berbagai konflik kepentingan.

Terbukti banyak kebijakan politik dikeluarkan justru untuk melegitimasi kerakusan para pemilik kapital. Alih-alih mengurus dan memperjuangkan kepentingan rakyat, para penguasanya justru cenderung bertindak sebagai pelayan bagi para pemodal yang menjadi sponsor kekuasaan. Mereka tidak peduli meski dampak kebijakannya akan mengorbankan rakyat banyak dan merusak lingkungan. Bagi mereka yang penting, bisa tetap melanggengkan kekuasaan dan leluasa mengeruk cuan.

Situasi buruk seperti ini tentu tidak layak dipertahankan. Umat semestinya segera bertaubat dengan kembali menegakkan sistem kepemimpinan Islam sebagai konsekuensi keimanan. Terlebih sistem kepemimpinan Islam secara empirik telah terbukti mampu menciptakan kehidupan yang harmoni dan penuh berkah, baik antar manusia dengan sesamanya, maupun antara manusia dengan semesta alam.

Dalam sistem Islam, hubungan antara penguasa dengan rakyatpun terjalin dengan sempurna. Penguasa dalam hal ini bertindak sebagai pengurus dan penjaga, sementara rakyat berkontribusi membangun peradaban cemerlang. Satu sama lain saling menguatkan dalam hubungan harmonis di atas landasan iman.

Rahasianya tidak lain ada pada kesempurnaan aturan hidup yang ditegakkan. Itulah syariat Islam, yang berasal dari Zat Pencipta Alam yang penerapannya secara total dipastikan akan membawa keberkahan. Allah Ta’ala berfirman, “Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan.” (TQS Al-A’raf ayat 96)

Syariat Islam menuntun penguasa dalam menjalankan fungsinya sebagai pengayom dan penjaga. Salah satunya menetapkan bahwa upaya pembangunan, termasuk paradigma pengelolaan tambang, wajib didedikasikan hanya untuk kemaslahatan umat, kemuliaan Islam dan kejayaan negara, bukan demi kepentingan kelompok tertentu, termasuk para pemilik uang. Alhasil pembangunan dalam paradigma Islam jauh dari ancaman bencana yang diakibatkan oleh kerakusan manusia.

Wallahu'alam bishawab.


Share this article via

40 Shares

0 Comment