| 476 Views
Program Makanan Bergizi Gratis, Apakah Solusi Praktis?

Oleh : Umi Fahri
Janji-janji politik sering menjadi pilar kampanye dalam setiap pemilu. Seperti janji politik dalam kontestasi Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024, yaitu gagasan dari presiden Indonesia saat ini tentang kebijakan makan gratis bagi siswa sekolah. Hal ini dilihat dari perspektif sosial, berpotensi besar untuk mengatasi permasalahan gizi dan ketimpangan ekonomi di Indonesia. Akan tetapi, tidak semua janji politik berakhir dengan realisasi.
Dalam literatur politik, janji tersebut sering kali dipandang sebagai kontrak sosial tidak tertulis antara kandidat dengan pemilihnya. Menurut teori Thomas Hobbes dan Jean Jacques Rousseau menjelaskan bahwa, seorang pemimpin mendapatkan legitimasi dari rakyat dengan berjanji untuk saling melindungi dan memajukan kesejahteraan mereka. Dalam konteks modern, janji politik berfungsi sebagai alat untuk menarik dukungan dan membangun kepercayaan diantara pemilih.
Sedangkan menurut Anthony Downs dalam bukunya An Economic Theory of Democracy (1997), janji politik sering kali digunakan untuk strategi oleh kandidat sebagai memaksimalkan jumlah suara. Downs menjelaskan, bahwa pemilih cenderung memilih kandidat yang membuat janji-janji sejalan dengan kepentingan mereka. Teori ini juga mencatat bahwa, realisasi janji politik tidak selalu terwujud disebabkan oleh kendala struktural dan politik yang dihadapi oleh kandidat saat mereka berkuasa. (Kompasiana, 23/9/2024)
Terlepas dari manfaatnya, kebijakan ini juga menghadapi berbagai tantangan utama yaitu ketersediaan anggaran. Mengingat skala kebijakan tersebut mencakup jutaan siswa di seluruh Indonesia, maka pemerintah memerlukan dana yang sangat besar untuk merealisasikan janji tersebut. Pengambilan keputusan dalam birokrasi sering kali menghadapi keterbatasan sumber daya, di mana pemerintah harus memilih prioritas kebijakan berdasarkan ketersediaan anggaran serta kapasitas administrasi.
Belum lagi dalam pelaksanaannya, hal ini akan menghadapi tantangan logistik yang besar. Di karenakan birokrasi pemerintah sangat lamban dan tidak fleksibel dalam merespon tantangan baru. Walaupun janji politik terdengar sederhana, akan tetapi implementasinya memerlukan jaringan distribusi luas, pengawasan terhadap kualitas makanan serta sinergi antara pemerintah pusat dan daerah.
Janji kepala pemerintahan baru untuk memberikan makan gratis kepada siswa sekolah, merupakan salah satu gagasan yang menarik banyak pemilih. Hal ini memiliki potensi besar untuk memperbaiki gizi anak-anak Indonesia. Sejumlah penelitian menunjukkan, bahwa program makan gratis di sekolah dapat meningkatkan prestasi akademik dan kesejahteraan siswa.
Organisasi Pangan Dunia (FAO) dalam laporannya menyebutkan, bahwa program makan gratis di sekolah dapat membantu mengurangi stunting dan meningkatkan perkembangan kognitif.
Program Makanan Bergizi Gratis sangatlah terdengar menarik, benarkah? Seperti yang sering terjadi bahwasanya, janji-janji politik sering kali dibuat dengan ambiguitas disengaja, tanpa rincian spesifik tentang menu yang dijanjikan, bagaimana logistik akan berjalan, atau sumber pembiayaan yang digunakan.
Dalam situasi ini pemerintah dapat mengklaim bahwa, seakan memenuhi janji meskipun mungkin telah terjadi perubahan signifikan pada implementasi seperti, mengganti nasi dengan mie instan atau susu sapi dengan susu ikan yang murah harganya serta mudah diakses. Hal tersebut mengarah pada skenario, di mana janji politik tampak dipenuhi di atas kertas, tetapi kualitas programnya tidak sesuai dengan ekspektasi publik.
Ambiguitas janji makan gratis ini memungkinkan adanya fleksibilitas dalam interpretasi janji tersebut. Jika tidak ada penjelasan spesifik mengenai jenis makanan yang akan disediakan, maka politisi dapat dengan mudah mengubahnya sesuai dengan kondisi anggaran yang ada, dan tetap mengklaim telah memenuhi janji. Bagi masyarakat, fakta semacam ini dianggap sebagai pelanggaran janji atau setidaknya penyimpangan dari harapan awal. Namun dari perspektif politisi, perubahan ini dapat dianggap sebagai solusi pragmatis untuk mengatasi keterbatasan anggaran.
Dalam kasus ini, kita bisa melihat bahwa janji ambisius sangatlah mungkin menghadapi tantangan besar terkait biaya. Menyediakan makanan gratis setiap hari untuk siswa di seluruh Indonesia, tentu memerlukan angggaran cukup besar. Sebagai hasilnya pemerintah dipaksa untuk mencari alternatif lebih murah, meskipun butuh biaya yang fantastis dengan tetap mengklaim bahwa program Makanan Bergizi Gratis (MBG) tetap berjalan.
Program tersebut tidak ubahnya upaya tambal sulam sistem kapitalisme, dalam menyelesaikan problem generasi khususnya masalah kecukupan gizi. Ini karena kurangnya analisis mengenai akar masalah dari tidak tercukupinya gizi masyarakat secara utuh dan paripurna. Selain membahas mengenai gizi berkualitas sebagai upaya mencegah malnutrisi generasi, sudah selayaknya negara berkewajiban mewujudkan penerus bangsa yang sehat dan berkualitas, dalam melihat akar permasalahan secara sistematis.
Atas dasar inilah, progaram MBG yang pemerintah gadang-gadang hari ini sejatinya adalah solusi persial ala kapitalis. Sebab negara lepas tangan dalam mengurus rakyatnya, sehingga memindahkan tanggung jawabnya pada pihak swasta.
Semua permasalahan di atas, sungguh sangat berbeda dalam pandangan Islam. Sistem Islam menyuguhkan solusi tepat dan tuntas, dalam menyelesaikan setiap permasalahan umat. Untuk itu, Islam menetapkan sejumlah mekanisme supaya kebutuhan rakyat dapat terpenuhi.
Mekanisme yang mencakup jaminan kebutuhan pokok (primer) misalnya, ini diterapkan dengan mensyaratkan agar para laki-laki memberikan nafkah kepada diri juga keluarganya. Jika hal ini belum terpenuhi, negara wajib turun tangan dalam memenuhi kebutuhan rakyatnya.
Begitu pula dengan layanan keamanan, pendidikan dan kesehatan untuk semua masyarakat. Karena semua itu merupakan tanggung jawab dasar terhadap seluruh rakyat. Penguasa harus memenuhi kewajiban mereka, juga tidak boleh mengabaikan atau memindahkan wewenangnya kepada pihak lain.
Bukan sebatas itu saja, negara akan memaksimalkan pelayanan dengan pemasukan dana yang bersumber dari baitul mal. Dengan demikian, kebutuhan rakyat terlaksana secara merata bukan untuk masyarakat tertentu saja, sebagaimana program MBG. Oleh karena itu negara Islam tidak perlu program khusus, karena kebijakan negara memang harus menjamin kesejahteraan rakyat individu per individu.
Islam menempatkan penguasa sebagai pengurus sekaligus pelindung bagi rakyatnya. Pemimpin adalah mereka yang diberi amanah, dan Allah akan menghisab amanah tersebut sebagai kunci terwujudnya kesejahteraan hakiki. Spirit keimanan ini pula yang akan mencegah penguasa melakukan korupsi, juga penyalahgunaan wewenang. Sistem kapitalisme yang hari ini menjadi paradigma jalannya kekuasaan, telah berdampak pada pemenuhan kebutuhan rakyat secara apa adanya. Berbagai program pemerintah bahkan berjalan dengan spirit bisnis, akan tetapi kebijakan tersebut hanya menguntungkan penguasa dan pengusaha, sementara rakyat tetap terpuruk dan jauh dari sejahtera.
wallahu a'lam bishawab