| 458 Views

PPN Tetap Naik, Suara Rakyat dalam Petisi Penolakan Kenaikan PPN Diabaikan

Oleh: Raodah Fitriah, S.P

Dilansir dari Beritasatu.com, 19/12/2024, berbagai lapisan masyarakat yang terdiri dari mahasiswa, akademisi, kelompok pecinta Jepang (wibu) dan Korea (K-popers), melakukan aksi damai dalam merespon kebijakan pemerintah seputar kenaikan PPN. Mereka menyampaikan aspirasi sembari membawa petisi penolakan yang telah diisi oleh 113.000 orang, yang diserahkan kepada Sekretariat Negara (Setneg). 

Dilema Kenaikan PPN

PPN merupakan Pajak Pertambahan Nilai yang dikenakan pada setiap transaksi jual beli barang atau jasa yang terjadi pada wajib pajak orang pribadi atau badan usaha, yang mendapat status pengusaha yang kena pajak. Di ASEAN, hanya Filipina yang memberlakukan PPN 12%, kemudian disusul Indonesia pada awal Januari 2025 ini. Sementara negara-negara lain memberlakukan PPN lebih rendah, misalnya Singapura sebesar 9%. Artinya, kenaikan PPN tersebut tidak seiring sejalan dengan terwujudnya masyarakat yang sejahtera dan tingginya pendapatan negara (Narasi.tv, 24/11/2024). 

Pemerintah menyampaikan bahwa ada 3 skema tarif PPN yang akan berjalan per 1 Januari 2025 ini, yakni yang tetap di angka 11%, naik ke 12% dan ada pula yg bebas PPN alias 0% (kompas.com, 31/12/2024). Yang akan mengalami kenaikan PPN adalah komoditas barang mewah saja, sedang selainnya akan tetap di angka 11%. Untuk komoditas barang dan jasa yang termasuk kebutuhan primer, seperti beras, daging, telur, susu serta pendidikan dan kesehatan tidak dibebankan PPN sama sekali. Selain itu, transaksi dengan uang elektronik dan dompet digital (e-wallet) juga merupakan aktivitas yang tidak terlepas dari kebijakan PPN ini (BBC Indonesia, 19/12/2024). 

Meski kebutuhan primer tidak dikenai PPN, namun dampak yang akan terjadi ketika PPN naik adalah naiknya harga barang dan jasa akibat beban produksi yang pasti akan meningkat. Pada akhirnya, daya beli masyarakat menurun dan akan mengganggu roda perekonomian dan dunia usaha di tengah kondisi ekonomi yang lemah. Dikutip dari Beritasatu, 21/12/2024, meskipun pemerintah akan memberikan kompensasi stimulus ekonomi, seperti bantuan pangan, diskon listrik, pembebasan pajak penghasilan selama satu tahun berlaku pada buruh di sektor tekstil, pakaian, alas kaki dan furniture serta pembebasan PPN untuk pembelian rumah, tetap saja tidak akan mampu mengeluarkan rakyat dari jeratan kemiskinan sehingga mustahil rakyat akan sejahtera. 

Pajak Bukti Kegagalan Kapitalisme

Kebijakan ini adalah salah satu contoh dari kebijakan yang ditetapkan penguasa yang populis otoriter. Pemerintah sudah merasa cukup baik dengan memberikan bansos, subsidi listrik, dan menetapkan barang-barang tertentu yang terkena PPN. Padahal kebijakan yang otoriter tersebut tetap membawa kesengsaraan pada rakyat. Protes rakyat dalam bentuk petisi penolakan kenaikan PPN justru diabaikan. 

Dalam sistem kapitalisme, pajak merupakan pemasukan utama bagi negara dan diwajibkan kepada semua rakyat, baik kaya maupun miskin. Ini adalah satu kedzaliman yang besar. Bahkan negara condong kepada si kaya dengan meringankan beban pajak dengan adanya _tax amnesty_. Ketika pemimpin ingin menjalankan suatu program, maka ada hal lain yang dikorbankan. Terbukti alasan kenaikan PPN untuk membangun berbagai infrastruktur pendidikan, kesehatan dan perlindungan sosial bahkan untuk membiayai program makan siang gratis (Beritasatu 16/12/2024).  

Awal tahun 2025 akan menjadi momen rakyat menyaksikan prestasi pemerintah hanya menaikkan pajak dan mengutang, padahal Indonesia memiliki SDA yang melimpah. Kekayaan yang dimiliki ini, harusnya sibuk dikelola oleh negara untuk kemaslahatan rakyat. Namun faktanya, SDA yang melimpah ruah di negeri ini hanya dikuasai oleh segelintir orang dan para korporasi. Tidak dimungkiri pemerintah dalam sistem kapitalisme tugasnya memalak rakyat dari berbagai sisi, termasuk PPN, atas nama pembangunan. Hal ini sangat wajar, sebab penguasa dalam sistem kapitalisme bertindak sebagai regulator dan fasilitator yang hanya melayani pemilik modal, sehingga sistem kapitalisme tidak layak dijadikan aturan hidup. Karena semua kebijakannya berasal dari buah pemikiran manusia yang lemah dan terbatas.

Islam Menjamin Kebutuhan Umat

Sistem kapitalisme berbeda dengan sistem Islam. Islam memiliki institusi tertinggi yang bernama khilafah yang bertugas meri'ayah (mengayomi dan memelihara), bukan memalak. Sebab, negara Islam telah memiliki sumber pemasukan yang jelas tanpa berutang atau memalak rakyat dengan pungutan pajak. Penguasa (khalifah) dalam Islam adalah raa'in (pengurus) dan junnah (pelindung) rakyat, yang menerapkan syariat dalam seluruh sektor kehidupan. Penguasa dalam Islam wajib mengurus rakyat dan mewujudkan kesejahteraan individu per individu rakyat.

Rasulullah Saw bersabda: "Seorang imam (kepala negara) adalah pengurus rakyat dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dia urus" (HR. al-Bukhari dan Muslim). 

Islam memiliki sumber pemasukan yang banyak. Adapun pos-pos pemasukan baitulmal sebagai hak kaum muslim, yakni fa'i dan kharaj, pengelolaan harta milik umum, zakat, dll. Dari seluruh sumber pemasukan ini, baitulmal tidak akan pernah kehabisan cara sehingga akan selalu cukup untuk membiayai seluruh kebutuhan keuangan negara. Jika pemasukan baitulmal cukup untuk menutupi semua kebutuhan, maka pungutan pajak tidak diberlakukan.

Pajak bukanlah pemasukan utama negara. Pajak akan diberlakukan bagi orang kaya saja dan menjadi alternatif terakhir ketika kas negara dalam keadaan kosong atau paceklik dan sedang ada kebutuhan yang tidak bisa ditunda pemenuhannya. Jumlah yang dipungut pun dibatasi sesuai dengan kebutuhan untuk membelanjakan kebutuhan rakyat. 

Pungutan pajak dalam kapitalisme pada faktanya adalah mengambil harta rakyat tanpa kerelaan atau dengan kedzaliman, yang mana hal ini hukumnya haram dalam Islam. Adapun dalil keharaman pajak yaitu, Allah SWT berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil..." (QS. An-Nisa: 29).

Dalil lain, Rasulullah Saw bersabda:

عَنْ أَبِيْ الْخَيْرِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ عَرَضَ مَسْلَمَةُ بْنُ مَخْلَّدٍ وَكَانَ أَمِيرًا عَلَى مِصْرَرُوَ ُيْفِعِ بْنِ ثَابِتٍ رَضِيَ اللَّهُ أَنْ يُوَلِّيَهُ الْعُشُوْرَ فَقَالَ إِنِّيْ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ إِنَّ صَاحِبَ الْمَكْسِ فِيْ النَّارِ

“Dari Abu Khair radhiyallahu 'anhu beliau berkata “Maslamah bin Makhlad (gubernur di negeri Mesir saat itu) menawarkankan tugas penarikan pajak kepada Ruwafi bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu, maka ia berkata : "sesungguhnya para penarik/pemungut pajak (diadzab) di neraka". (HR Ahmad 4/143, Abu Dawud 2930).

Dari dalil-dalil di atas sangat jelas, bahwa penguasa haram membuat kebijakan yang menyengsarakan rakyat, salah satunya kebijakan PPN 12%.

Wallahu a'lam.


Share this article via

156 Shares

0 Comment