| 283 Views
Potret Buram Pemberantasan Korupsi Dalam Sistem Demokrasi

Oleh : Ruji'in Ummu Aisyah
Pegiat Opini Lainea Konawe Selatan
Korupsi merupakan kejahatan yang sangat luar biasa, yang merusak sendi kehidupan masyarakat dan negara serta berdampak besar bagi dunia. Namun sejauh ini sanksi yang diberikan kepada para koruptor sama sekali tidak memberikan efek jera, bahkan malah melahirkan bibit-bibit koruptor baru.
Seperti dilansir Tribunjabar.id, kritik berdatangan setelah Harvey Moeis hanya dihukum 6,5 tahun dalam kasus korupsi timah. Bahkan vonis itu dinilai telah menghina akal sehat. Menurut dia hukuman itu sangat tidak layak dijatuhkan terhadap Harvey mengingat kasus korupsi timah telah menyebabkan kerugian negara hingga Rp 300 triliun. Yan Harahap berpendapat, vonis terhadap Harvey itu memperlihatkan Indonesia pantas disebut surga para koruptor selama ini (21/12/2024).
Jika wacana pemberian amnesti dan denda damai benar-benar diberlakukan ini akan menjadi komitmen dan keputusan yang buruk dalam pemerintahan memberantas korupsi. Bahkan sebagai bukti negara memberi perlindungan kepada para koruptor seolah negara ini bersikap tak kuasa melawan koruptor sehingga sudah terlihat bagaimana negara memperlihatkan wajah rezim yang sesungguhnya. Inilah sistem politik demokrasi yang meniscayakan perlindungan kepada koruptor karena praktek politiknya yang mahal. Hal ini menunjukkan lemahnya hukum negri ini dihadapan para koruptor.
Negara yang seharusnya berfungsi melindungi keuangan negara dan menegakkan hukum yang memberi efek jera justru malah memberi jaminan keringanan bagi koruptor sehingga tak heran jika semakin melahirkan bibit-bibit koruptor yang lain. Inilah gambaran penerapan dalam sekuler kapitalisme dimana yang kuat akan mengalahkan yang lemah dan pihak kuat akan dapat melawan hukum karena adanya kerjasama yang saling menguntungkan antara penguasa dan pihak pengusaha yang terlibat korupsi.
Adanya kebijakan baru pemerintah dalam UU, di mana mereka narapidana koruptor agar terlepas sanksi dan dapat mengembalikan modal ke negara sehingga butuh UU baru untuk mengamankan dalam menyukseskan agenda tersebut meski harus bertentangan dengan hukum yang berlaku.
Lemahnya sanksi bagi pelaku korupsi tidak lain karena hukum yang ada bersumber dari akal manusia. Sistem demokrasi menjadikan manusia berhak membuat hukum serta membuka peluang terjadinya jual beli hukum.
Akibatnya hukum bisa diubah dan diutak atik sesuai kepentingan penguasa. Sedangkan hukum buatan manusia menjadikan penegakkan hukum yang amburadul. Allah SWT berfirman yang artinya: "apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik dari pada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agama)? (Q.S. Al -maidah :50).
Saat ini pelaku korupsi mencapai ribuan dan melibatkan pejabat negara. Oleh karena itu, korupsi tidak bisa dipandang sebagai kesalahan individu, tetapi kecacatan sistem yang berlaku yaitu penerapan sistem demokrasi kapitalisme yang sudah rusak sehingga tak akan mampu membasmi para koruptor di negara-negara ini.
Sesungguhnya jika mau benar-benar terlepas dari jeratan korupsi, maka terdapat sistem yang mampu memberikan sanksi yang tuntas dan sahih yaitu sistem Islam. Di mana sistem politik yang di atur Islam tegak di atas landasan aqidah dalam segala amal perbuatan sehingga menjadikan tolak ukur halal dan haram. Dalam Islam korupsi dipandang sebagai perbuatan haram dan melanggar syari'at. Islam sudah pasti akan memberantas korupsi dari akar-akarnya serta menutup celah korupsi dengan rapat, mulai dari sistem sanksi dan efek yang menjerakan. Islam juga menjamin sistem pendidikan yang membentuk pola pikir dan pola sikap generasi ke arah pemikiran yang cemerlang sehingga membentuk generasi yang berkepribadian Islam. Sungguh hanya kepemimpinan Islam yang menjamin terwujudnya keadilan hukum di tengah masyarakat.
Wallahu A'lam