| 141 Views
Politik Dinasti Harus Segera Berhenti

Oleh : Ranita
Pagar makan tanaman. Mungkin inilah peribahasa tepat untuk menggambarkan Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK). Dua lembaga yang harusnya menjadi penjaga hukum dan perundang-undangan, justru menjadi perusak sistem aturan yang sudah dibuat. Setelah sebelumnya MK membolehkan seseorang yang belum berusia 40 tahun mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden selama berpengalaman menjadi kepala daerah atau jabatan lain yang dipilih melalui pemilihan umum, kini MA mengikuti jejaknya dengan mengubah batas minimal usia calon kepala daerah menjadi 30 tahun untuk calon gubernur dan wakil gubernur, serta 25 tahun untuk cabup dan cawabup dan cawalkot dan calon wakil walikota.
Setelah putusan MK terbukti sarat kepentingan politik demi memuluskan langkah putra sulung Presiden Jokowi maju dalam Pemilu, kini putusan MA yang terkesan potong kompas ini juga dicurigai publik sebagai strategi politik untuk memuluskan langkah putra bungsu Sang Presiden untuk maju dalam Pilkada DKI Jakarta. Namun sejumlah partai politik menampik tudingan tersebut seraya menegaskan putusan ini "memberikan kesempatan" kepada generasi muda untuk unjuk gigi dalam dunia politik (bbc.com, 2/6/2024).
Praktik pengubahan aturan sesuka hati ini seolah legal dan sah karena dalam sistem demokrasi hukum dan perundang-undangan dibuat oleh sekelompok manusia yang diberi wewenang membuat hukum. Mereka bernaung dalam lembaga legislatif. Para legislator memiliki kuasa menetapkan perkara tanpa khawatir terjerat hukum karena merekalah hukumnya. Secara teori rakyat dapat mengajukan keberatan atas sebuah hukum atau undang-undang ke MK. Namun sejarah membuktikan, keberatan rakyat tak selalu mendapat jawaban yang melegakan. Aturan yang memihak penguasa tetap diberlakukan.
Demokrasi: You Punya Duit, You Punya Kuasa
Selama lebih dari 100 tahun, dunia dibuai dengan angan-angan semu keadilan demokrasi. Demokrasi dengan empat pilar kebebasannya dianggap sebagai sistem ideal untuk masyarakat dunia. Tak hanya dunia Barat, negeri-negeri muslim pun ikut terbius olehnya. Akhirnya, negeri-negeri muslim ikut mengadopsi demokrasi sebagai sistem hidupnya dan meninggalkan Al-Khilafah, sistem warisan Rasulullah saw.
Teori dalam demokrasi, suara rakyat adalah suara tuhan yang harus dipatuhi dan dilaksanakan. Nyatanya, demokrasi hanya memberikan kesempatan suara kepada segelintir orang yang masuk ke dalam lembaga perwakilan rakyat. Dalam lembaga ini, seringkali suara rakyat tersandera oleh kepentingan partai, oligarki, dan kapitalis penyokongnya yang berlabel wakil rakyat. Alhasil, 'suara rakyat' hanyalah stempel untuk legalitas kebijakan yang sejatinya menguntungkan segelintir elit kekuasaan.
Dalam bidang politik, hukum, dan HAM, demokrasi berperan penting sebagai dalang atas ketidakadilan di tengah-tengah masyarakat. Hukum dan perundang-undangan dalam demokrasi didasari oleh asas sekulerisme. Hasilnya, baik produk hukum maupun penerapan hukumnya tidak berlandaskan takwa, seringkali tumpul keatas dan tajam ke bawah. Berapa kali dipertontonkan kepada kita hukum tajam menghujam pada pencuri ayam, namun tumpul tak berdaya saat berhadapan dengan pencuri uang negara.
Di bidang politik dan pemerintahan pun demikian. Pengubahan hukum dan perundang-undangan kerapkali dilakukan untuk memuluskan stategi politik penguasa dan para penyokongnya. Saat rakyat kritis melawan ketidakadilan, maka undang-undang dan aturan baru dapat dibuat untuk menjadi alat gebuknya. Jika begini, masih mau berharap keadilan pada demokrasi?
Ketidakadilan Aturan, Mustahil Dalam Sistem Islam
Berkebalikan dengan demokrasi, sistem yang berlandaskan ideologi Islam menutup celah legislasi (pembuatan hukum dan perundang-undangan) oleh manusia. Hukum yang diadopsi oleh negara hanya boleh diadopsi dari Al-Quran dan As-Sunnah. Karenanya tidak ada hukum dan perundang-undangan yang bias kepentingan manusia. Hukum Islam akan memandang manusia secara sama. Apakah dia penguasa ataupun rakyat jelata, laki-laki maupun perempuan, muslim maupun non-muslim.
Karena hanya bersumber dari Al-Quran dan As-Sunnah, maka penyelewengan saat menggali, mengadopsi, maupun merevisi hukum dan undang-undang nomor r akan sangat mudah terdeteksi oleh rakyat maupun ulama yang duduk di Majelis Umat. Dugaan penyelewengan akan diperiksa oleh Mahkamah Mazhalim, dengan atau tanpa adanya laporan. Dengan demikian, ketidakadilan akan dapat dicegah sejak awal.
Penjagaan marwah undang-undang dan penguasa semacam ini mustahil diwujudkan jika Islam hanya diterapkan secara parsial. Undang-undang dan keadilan hanya akan terjaga jika seluruh bagian sistem Islam disatukan menjadi satu sistem hidup yang menyeluruh dalam naungan negara. Dan negara yang menerapkan sistem Islam secara sempurna ini tak lain tak bukan adalah Khilafah.