| 202 Views
Polemik Sertifikasi Halal ala Kapitalisme

Oleh : Lathifa
Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengungkapkan temuan mengejutkan bahwa terdapat produk pangan dengan nama-nama kontroversial seperti tuak, beer, tuyul dan wine yang memiliki sertifikat halal.
Kondisi ini dilatarbelakangi oleh banyaknya budaya barat serta gaya hidup masyarakat yang Fear Of Missing Out (FOMO) adalah rasa takut tertinggal bagi para anak muda khususnya gen z, sehingga para pelaku industri pangan melihat hal ini sebagai ladang cuan. Hal ini juga didasari adanya kemudahan untuk mendapatkan miras bagi konsumen khususnya para wisatawan asing. Serta dukungan para pelaku industri pariwisata yang salah satunya Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) dan Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) yang ada di DIY yang mendukung aturan legalisasi penjualan minuman keras (miras). Mereka menilai penjualan miras untuk para wisatawan asing sangat membantu perekonomian Indonesia sebab kebutuhan miras untuk para wisatawan seperti kebutuhan air mineral. Namun sangat tidak bijaknya mereka berpendapat bahwa mereka setuju jika penjualan miras ilegal harus ditindak tegas.
Hal ini berdampak pada penjual atau pelaku industri pangan yg menyediakan makanan ataupun minuman halal namun dengan nama yang bergengsi untuk mendapat perhatian lebih para gen z agar tetap bergaya namun tidak melanggar syariat.
Terkait produk dengan nama-nama yang tidak halal tersebut mendapat pro kontra dikalangan masyarakat khususnya umat Islam, dimana hukum halal suatu makanan ataupun minuman harus sesuai hukum Syara' seperti nama, bahan serta pengolahan yang halal.
Nama produk diatas yang memiliki sertifikat halal berdasarkan investigasi pihak MUI, terkait sertifikat halal yang diterbitkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama melalui jalur self declare, dimana proses ini dilakukan tanpa adanya pemeriksaan halal dan penetapan dari MUI.
Sedangkan berdasarkan keterangan BPJPH sendiri mereka menilai bahwa nama-nama produk tersebut pembuatannya telah dipastikan halal. Sebagai contoh salah satu produk dengan nama "beer" telah mengantongi sertifikat halal dari Komisi Fatwa MUI berjumlah 8 produk dan 14 produk sertifikat halalnya diterbitkan berdasarkan penetapan halal dari Komite Fatwa.
Berdasarkan hal tersebut mencerminkan bahwa terdapat fakta perbedaan pendapat diantara para ulama mengenai penamaan produk dalam proses sertifikasi halal. Inilah yang terjadi jika perkara miras masih legal dijualbelikan, hingga akhirnya dengan pasar konsumen yg kebanyakan muslim, semua pelaku usaha menghalalkan segala cara untuk tetap mendapat cuan dengan tetap mengikuti budaya barat agar terlihat lebih kekinian. sehingga bagi umat muslim yang harus menjalankan hukum Syara' dengan tidak minum-minum akan mengkonsumsi makanan dan minuman yang halal dengan santai sebab sudah mengantongi sertifikat halal.
Beginilah sertifikasi halal dalam sistem kapitalisme. Nama tak jadi masalah asal dzatnya halal. Hal ini berpotensi menimbulkan kebingungan yang membahayakan, karena persoalan halal haramnya suatu hal, yang di dalam Islam merupakan persoalan prinsip. Kebijakan seperti ini akan membuat masyarakat semakin bingung dan apabila tidak ada tindakan tegas kemungkinan akan adanya pelanggaran hukum Syara' yang akan terjadi sebab tidak adanya aturan yang tegas.
Beda hal dengan sistem pemerintahan Islam dimana semua aturan makan dan minum yang di perdagangkan harus sesuai hukum Syara'. Dimana negara islam wajib menjamin kehalalan suatu benda yang dikonsumsi manusia, karena negara adalah pelindung agama rakyat.
Negara memastikan kehalalan dan kethayyiban setiap hal baik makanan dan minuman yang akan dikonsumsi umat dengan menugaskan para qadhi hisbah untuk rutin melakukan pengawasan setiap hari ke pasar-pasar, tempat pemotongan hewan, gudang pangan, ataupun pabrik. Para qadhi bertugas mengawasi produksi dan distribusi produk untuk memastikan kehalalan produk, juga tidak adanya kecurangan dan kamuflase didalamnya.