| 24 Views

Persatuan Dan Kemuliaan Umat Hanya Terwujud Dengan Tegaknya Khilafah

Oleh : Ummu Abiyu

Suatu hal yang patut kita syukuri  bahwa tahun ini pelaksanaan Idul Adha di seluruh negeri dilakukan bersamaan. Dari kejadian ini kita dapat menyaksikan bahwa haji dan Idul Adha mampu mempersatukan umat ini. Kita saksikan dari berbagai rekaman, di Padang Arafah, Mina, dan Muzdalifah, juga di depan Ka’bah, antara Shafa dan Marwah, jutaan muslim dari berbagai penjuru dunia berkumpul. Terutama saat wukuf di Arafah, di waktu yang sama pada 9 Zulhijah umat Islam berkumpul dengan memakai pakaian ihram, serba putih. Mereka berasal dari ragam suku bangsa, warna kulit, dan bahasa. Mereka menyatu mempersembahkan ketaatan total kepada Allah Swt. dalam ibadah haji. Masyaallah!

Di tempat lain, miliaran kaum muslim juga berkumpul bersama merayakan Idul Adha. Mereka menunaikan Salat Id berjemaah di lapangan-lapangan, berkurban dan mengumandangkan kalimat takbir hingga hari tasyrik berakhir pada 13 Zulhijah. Seluruh umat Islam di seluruh dunia bergembira menyambut Idul Adha.

Betapa indah persatuan dan persaudaraan ini. Kita diikat bukan karena suku bangsa, bahasa, atau warna kulit. Kita diikat oleh akidah Islam. Akidah inilah yang menghapuskan sekat-sekat perbedaan status sosial, suku bangsa, warna kulit, dan bahasa. Akidah ini pula yang menyingkirkan perbedaan kasta, kedudukan dan status sosial, lalu membuat manusia setara di hadapan Allah Yang Maha Pencipta.

Namun sungguh sayang, persatuan itu sirna. Kondisi ini terjadi karena adanya paham nasionalisme di tengah umat.

Nasionalisme merupakan paham buatan Barat yang lahir dari rahim sekularisme. Barat mengembuskan ide nasionalisme di negeri-negeri muslim untuk memecah-belah dan menguasainya. Ide nasionalisme telah meruntuhkan ukhuwah islamiah di tengah umat.

Nasionalisme merupakan ide beracun yang menjadi bagian dari strategi devide et impera Barat terhadap Khilafah yang dahulu menyatukan negeri-negeri muslim hingga akhirnya tercerai-berai menjadi puluhan negara bangsa. Setelah dipecah menjadi negeri-negeri yang kecil, Barat dengan mudah menjajahnya.

Akibat nasionalisme, umat Islam tidak memiliki ikatan pemersatu. Urusan salah satu negeri muslim tidak menjadi urusan negeri muslim yang lain. Masing-masing negeri sibuk dengan urusannya sendiri dan tidak peduli pada urusan umat Islam di luar wilayahnya.

Nasionalisme menjadikan negeri-negeri muslim terisolasi sendiri-sendiri, mereka tidak terkoneksi dengan ikatan ukhuwah islamiah. Bahkan, pada perayaan Idul Adha saja, umat Islam kerap berbeda hari. Demikian pula pada tahun ini, mayoritas umat Islam, termasuk di Indonesia, merayakan Idul Adha pada Jumat, 6 Juni 2025, tetapi beberapa negara merayakan pada Sabtu, 7 Juni 2025.

Nation state (negara bangsa) telah mengubah wajah dunia Islam tanpa ukhuwah Islamiah dan ikatan akidah Islam. Ini bermula dari perjanjian rahasia yang disepakati oleh Inggris dan Prancis pada 1916. Selama Perang Dunia I, terbentuklah dua aliansi, yakni Poros dan Sekutu. Saat itu Daulah Khilafah terseret dalam Aliansi Poros yang diprakarsai oleh Jerman, Austria, dan Hungaria. Sementara itu, blok Sekutu terdiri dari Inggris, Prancis, dan Rusia.

Dalam perjanjian Sykes-Picot, Inggris dan Prancis sepakat untuk membagi wilayah tersebut menjadi zona pengaruh mereka masing-masing tanpa memperhitungkan aspirasi umat Islam di sana. Kekalahan Aliansi Poros pada Perang Dunia I membuat Khilafah makin terpojok dan membuka peluang bagi Inggris dan Prancis untuk memperbesar pengaruh mereka hingga Timur Tengah serta memperlemah Daulah Khilafah dengan berbagai konspirasi. Salah satunya ialah mengembuskan nasionalisme di kalangan bangsa Arab dan Turki agar terpecah belah dan memisahkan diri dari negara Khilafah.

Setelah Perang Dunia I berakhir dan Khilafah berhasil diruntuhkan, kaum muslim terombang-ambing, negeri-negeri muslim tidak lagi memiliki pelindung dan perisai yang mampu menjaga negeri mereka dari penjajahan. Setelah itu tercetuslah Deklarasi Balfour, yaitu pernyataan publik dari pemerintah Inggris yang mendukung pendirian “rumah nasional bagi bangsa Yahudi” di tanah Palestina yang saat itu masih menjadi wilayah kekuasaan Daulah Khilafah dengan jumlah penduduk Yahudi yang menjadi minoritas. Kondisi ini makin parah setelah PBB mengeluarkan deklarasi 14 Mei 1948 yang menyatakan pendirian negara Zion*s di atas tanah Palestina.

Hadirnya negara Zion*s yang diinisiasi Inggris, didukung AS, dan dilegalisasi PBB telah menjadi poros masalah Palestina dan Timur Tengah yang menyebabkan ketakstabilan. Palestina adalah jantung dunia Islam serta barometer kondisi umat Islam. Jika Palestina terpuruk, negeri-negeri muslim juga dalam kondisi yang sama. Ketika kaum muslim Palestina terjajah, kaum muslim di belahan bumi lainnya juga bernasib sama, yaitu terkungkung dalam penjajahan, baik secara fisik maupun ideologi.

Hal ini sudah ditegaskan oleh Syekh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah dalam kitab Mafahim Siyasiyah li Hizbit Tahrir hlm. 135 bahwa, “Empat faktor, yaitu Islam, minyak, tempat strategis, dan Zion*s cukup menjadikan masalah Timur Tengah menjadi masalah yang paling berbahaya dan paling kompleks. Masalah Timur Tengah adalah masalah yang teramat rumit untuk dapat diselesaikan dan masalah yang teramat besar untuk dapat diselesaikan oleh sebuah negara besar. Tidak ada negara adidaya yang mampu mengatasinya. Masalah Timur Tengah ini tidak akan pernah dapat diselesaikan.

Sudah banyak aksi yang dilakukan oleh berbagai kalangan masyarakat menuntut para pemimpin supaya bergerak, bersatu untuk melawan Zionis Israel, Akan tetapi nyatanya pemimpin2 muslim di berbagai belahan dunia hanya mencukupkan diri dengan kecaman tanpa adanya aksi nyata.

Para penguasa negeri-negeri muslim juga salah dalam metode memerdekakan Palestina. Tidak sedikit dari mereka yang mengusulkan solusi batil yakni solusi dua negara (two state solution). Maksudnya ialah satu untuk rakyat Palestina dan satu lagi untuk rakyat Zionis Yahudi. Konsep ini tidak hanya batil tapi juga menyakiti dan mengkhianati umat Islam seluruh dunia. Pengkhianatan para penguasa muslim ini tidak sampai disitu saja tapi mayoritas dari mereka menjalin hubungan diplomatik dengan entitas Yahudi.

Pertanyaannya, bagaimana bisa umat Islam di seluruh dunia membebaskan Palestina sementara para pemimpinnya saling bermesraan dengan negara penjajah?

Padahal Sultan Abdul Hamid II sudah memberikan teladan dengan menolak keras Theodor Hertzl yang ingin menyuap dirinya demi merebut Palestina. Ia berkata : “Nasihati Hertzl agar jangan meneruskan rencananya. Aku tidak akan melepaskan walau sejengkal tanah ini(Palestina), karena ia bukan milikku. Tanah itu adalah hak umat Islam. Umat Islam telah berjihad demi kepentingan tanah ini dan mereka telah menyirami tanah ini dengan darah mereka. Yahudi silahkan menyimpan harta mereka. Jika suatu saat ke Khilafahan Turki Usmani runtuh, kemungkinan besar mereka bisa mengambil Palestina tanpa membayar harganya. Akan tetapi, sementara aku masih hidup, aku lebih rela menusukkan pedang ke tubuhku daripada melihat tanah Palestina dikhianati dan dipisahkan dari Khilafah Islamiyah. Perpisahan adalah sesuatu yang tidak akan terjadi. Aku tidak akan memulai perpisahan tubuh kami selagi kami masih hidup.”

ini sulit dilakukan jika umat muslim masih terpecah belah dipisahkan oleh sekat-sekat nasionalisme. Sangat sulit bagi kaum muslim bersatu jika dalam kondisi ini. Maka, umat Islam harus mencampakkan nasionalisme, menyadari bahwa penjajahan hanya bisa dihentikan dengan persatuan umat dalam satu kepemimpinan global, yaitu Khilafah (perisai). Umat wajib menyeru semua muslim di seluruh dunia dengan seruan yang sama. Umat harus terus mengingatkan akan persatuan umat dan kewajiban menolong mereka. Umat harus bergerak menuntut penguasa muslim melaksanakan kewajiban menolong Palestina dengan melaksanakan jihad dan menegakkan khilafah.

Keberadaan institusi pemerintahan Islam yakni Khilafah bukan sekedar wajib, melainkan sangat dibutuhkan. Khilafah adalah kepemimpinan umum bagi kaum muslim di seluruh dunia, yang menerapkan syariah Islam secara kaffah (menyeluruh) dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia. Khilafah sebagai pemimpin umum muslim sedunia bertanggung jawab melindungi umat dari penindasan dan melindungi wilayah kaum muslim dimanapun dari penjajahan.

Keberadaan Khilafah sebagai institusi politik tentu akan dapat menyatukan kekuatan negeri kaum muslim yang terpecah belah, menyatukan kekuatan militer, politik dan ekonomi umat Islam untuk mengusir penjajahan Zionis Yahudi.

Oleh karena itu, pembebasan Palestina saat ini pun hanya mungkin dilakukan dengan persatuan kaum muslim seluruh dunia, juga dengan kekuatan politik dan militer yang kokoh.

Umat membutuhkan adanya kepemimpinan jamaah dakwah yang tulus dan berpegang pada metode dakwah Rasulullah saw. Umat harus menyambut seruan jamaah dakwah ini, untuk mewujudkan kemuliaan agama ini.

Persatuan dan kemuliaan umat hanya akan terwujud dengan Islam. Dan tidak akan tegak islam kecuali dengan penerapan secara kaffah oleh Khilafah Rasyidah.


Share this article via

47 Shares

0 Comment