| 37 Views
Pemangkasan Anggaran, Cerminan Buruknya Sistem Kapitalisme

Oleh : Rosi Kuriyah
Muslimah Peduli Umat
Presiden Prabowo Subianto mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja Negara dalam Pelaksanaan APBN dan APBD 2025 pada 22 Januari 2025. Inpres ini ditujukan kepada para menteri Kabinet Merah Putih, Panglima TNI, Kapolri, Jaksa Agung, kepala lembaga, pimpinan kesekretariatan lembaga negara, gubernur, bupati, dan wali kota.
Dalam instruksi tersebut, para penerima Inpres diwajibkan meninjau kembali anggaran belanja kementerian atau lembaga (K/L) dalam APBN 2025, APBD 2025, dan Transfer ke Daerah (TKD) dalam APBN 2025 guna efisiensi. Total anggaran yang dipangkas mencapai Rp306,69 triliun dari total belanja negara sebesar Rp3.621,3 triliun. Pemangkasan ini mencakup pengurangan belanja perjalanan dinas sebesar 50%, pengurangan anggaran untuk kegiatan seremonial, studi banding, pencetakan, publikasi, seminar, serta pembatasan hibah langsung.
Pemerintah menegaskan bahwa langkah ini bertujuan meningkatkan kualitas belanja, bukan karena penurunan penerimaan pajak. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan bahwa kebijakan ini diarahkan untuk mengoptimalkan dana ke program prioritas yang berdampak langsung bagi masyarakat, seperti program makan bergizi gratis (MBG). Penghematan anggaran juga ditujukan untuk menjaga stabilitas fiskal dan mengurangi ketergantungan pada utang negara.
Pemangkasan Anggaran dan Beban Rakyat
Meski pemerintah mengklaim pemangkasan anggaran dilakukan untuk efisiensi, kebijakan ini justru menegaskan adanya pemborosan anggaran sebelumnya. Selama ini, belanja negara sering dialokasikan pada hal-hal yang tidak penting, sehingga berpotensi membuka celah penyalahgunaan.
Laporan Indonesia Corruption Watch (ICW) mengungkapkan bahwa penyalahgunaan anggaran menjadi modus korupsi paling dominan di Indonesia. Pada 2022, tercatat 303 kasus korupsi dengan modus ini, yang menyebabkan kerugian negara sebesar Rp17,8 triliun.
Salah satu contoh penyalahgunaan anggaran yang tidak efektif adalah dana penanggulangan stunting, yang sebagian besar justru habis untuk rapat dan perjalanan dinas. Mantan Presiden Jokowi pernah mengungkapkan bahwa dari Rp10 miliar anggaran stunting di suatu daerah, hanya Rp2 miliar yang benar-benar digunakan untuk membeli makanan, sementara Rp8 miliar lainnya habis untuk kegiatan administratif.
Kondisi ini terjadi karena sistem kapitalisme yang diterapkan di Indonesia tidak berorientasi pada kesejahteraan rakyat, melainkan kepentingan pejabat dan pemilik modal. Dalam sistem ini, pemasukan negara bergantung pada pajak dan utang, sementara pengelolaan sumber daya alam justru diserahkan kepada swasta. Akibatnya, rakyat terus terbebani pajak yang tinggi, sementara hasil kekayaan alam tidak sepenuhnya dinikmati oleh masyarakat.
Di sisi lain, utang negara terus meningkat. Laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menunjukkan bahwa pada 2023, pemerintah membayar cicilan pokok utang dan bunganya sebesar Rp1.064,19 triliun atau sekitar 34,1% dari APBN. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar anggaran negara tersedot untuk membayar utang daripada digunakan untuk kepentingan rakyat.
Khilafah: Solusi Anggaran yang Menyejahterakan
Dalam Islam, penguasa memiliki peran sebagai pelayan rakyat (raa’in), sebagaimana sabda Rasulullah saw.:
"Imam (pemimpin) adalah raa’in (pelayan) dan dia bertanggung jawab atas rakyatnya." (HR Bukhari dan Muslim)
Islam mewajibkan pengelolaan anggaran berdasarkan syariat untuk kepentingan rakyat. Menurut Syekh Taqiyuddin an-Nabhani dalam Asy-Syakhshiyah al-Islamiyah Jilid 2, penguasa harus menjalankan pemerintahan dengan hukum Allah dan tidak boleh menggunakan hukum buatan manusia.
Dalam sistem Khilafah, belanja negara dialokasikan untuk:
1. Delapan golongan penerima zakat.
2. Bantuan bagi fakir, miskin, ibnu sabil, dan kebutuhan jihad.
3. Gaji pegawai negara, termasuk tentara dan penguasa.
4. Pembangunan sarana vital seperti jalan, rumah sakit, dan sekolah.
5. Sarana pelayanan tambahan yang menunjang kesejahteraan rakyat.
6. Bantuan dalam situasi darurat, seperti bencana alam.
Jika dana baitulmal tidak mencukupi, pajak (dharibah) hanya dipungut dari laki-laki Muslim yang kaya dan bersifat sementara hingga kebutuhan terpenuhi. Pajak dalam Islam tidak membebani rakyat miskin sebagaimana dalam sistem kapitalisme.
Selain itu, Khilafah tidak akan membebani negara dengan utang luar negeri yang berbasis riba, sebagaimana firman Allah dalam QS Al-Baqarah ayat 275:
"Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba."
Utang luar negeri juga berbahaya bagi kedaulatan negara, sebagaimana firman Allah dalam QS An-Nisa’ ayat 141:
"Dan sekali-kali Allah tidak akan pernah memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang mukmin."
Dengan demikian, anggaran negara tidak tersedot untuk pembayaran utang dan bunga, serta rakyat tidak terbebani pajak yang mencekik.
Pengelolaan Anggaran yang Amanah
Dalam Khilafah, penguasa, pejabat, dan pegawai dipilih dari orang-orang yang bertakwa dan amanah, sebagaimana firman Allah dalam QS An-Nisa’ ayat 58:
"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil."
Selain itu, sistem Islam menerapkan kontrol ketat melalui amar makruf nahi mungkar, serta sistem sanksi yang tegas untuk mencegah korupsi. Rasulullah saw. bersabda:
"Demi Allah, tidak seorang pun dari kalian mengambil sesuatu yang bukan haknya, kecuali dia akan menanggungnya pada hari kiamat." (HR Bukhari)
Dengan sistem pendidikan Islam berbasis akidah, serta kontrol masyarakat dan sanksi tegas, pengelolaan anggaran dalam Khilafah terjamin amanah dan benar-benar digunakan untuk kemaslahatan rakyat.
Penutup
Pemangkasan anggaran dalam sistem kapitalisme tidak akan menyelesaikan akar permasalahan. Selama sistem ini masih diterapkan, rakyat tetap terbebani pajak tinggi, utang negara terus bertambah, dan anggaran negara lebih banyak dinikmati oleh elit dan pemilik modal.
Hanya dengan penerapan Islam secara kafah dalam sistem Khilafah, pengelolaan anggaran dapat dilakukan secara amanah, bebas dari riba, serta benar-benar digunakan untuk kepentingan rakyat.
Wallahu'alam bishshawab.