| 445 Views
Memutus Rantai Kekerasan Terhadap Anak

Oleh : Syifa, S.E
Kini kejahatan tidak lagi menjadi momok baru, termasuk di dalamnya terkait kasus kekerasan terhadap anak. Tak jarang kasusnya serupa, hanya pelaku dan motifnya saja yang berbeda. Terbaru, kasus kekerasan yang terjadi pada anak dari selebgram bernama Aghnia Punjabi yang telah menyita perhatian publik. Aghnia Punjabi langsung bertindak cepat setelah mendapat laporan bahwa anaknya terjatuh dan wajahnya lebam. Setelah ditelusuri terkait kejadian tersebut, diketahui bahwa sang anak mengalami kekerasan oleh pengasuhnya sendiri (DetikJatim.com, 30/03/2024).
Ini hanyalah salah satu contoh dari sekian kasus yang terungkap. Bagaimana dengan yang tidak terungkap? Tak menutup kemungkinan datanya lebih banyak lagi. Lantas apa yang melatarbelakangi semua ini?
Kekerasan Anak Terus Meningkat
Berdasarkan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) 2023 dan 2024, fakta mengatakan bahwa anak juga menjadi target korban kekerasan. Sebanyak 4.025 anak mengalami kekerasan fisik dan 3.800 anak mendapat kekerasan psikis.
Sedangkan menurut KPAI, hingga 2023, sebanyak 2.355 kasus pelanggaran masuk sebagai laporan kekerasan anak. Di antaranya, korban kekerasan seksual sebanyak 487 kasus, kekerasan fisik dan psikis 236, korban kebijakan pendidik 27 kasus dan korban perundungan sebesar 87 kasus.
Walau secara angka terlihat berbeda, hal ini tidak mengubah realita bahwa kasus kekerasan pada anak terus saja meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2020 ada sekitar 11.278 kasus, kemudian meningkat menjadi 16.106 kasus di tahun 2022.
Kasus kekerasan pada anak menjadi rapor merah bagi negeri ini. Berbagai pelanggaran hak anak terjadi, baik sebagai pelaku maupun korban, baik di desa maupun di kota. Mereka semua sama, berada dalam situasi yang tidak aman. Hal ini tentu menjadi tanggung jawab semua pihak, baik orangtua, masyarakat, sarana pendidikan, bahkan pemerintah.
Benang Merah Akar Masalah dan Pemutus Rantai Kekerasan
Simpul besar penyebab terjadinya kekerasan terhadap anak tentu beragam. Tetapi KPAI menjelaskan setidaknya ada 7 penyebab maraknya kekerasan pada anak, di antaranya: budaya patriarki, penelantaran anak, pola asuh, kurangnyakesadaran melaporkan kejadian, pengaruh media dan maraknya pornografi, disiplin serta merosotnya moral.
Ketujuh penyebab ini dipelihara dan dirawat. Bahkan bisa dikatakan seluruh penyebab ini diakibatkan oleh penerapan sistem sekularisme liberalisme yang berlandaskan pola asuh pemisahan agama dari kehidupan yang diterapkan hari ini. Alhasil telah mengantarkan tumbuh kembang individu yang jauh dari ketakwaan.
Munculnya kekerasan pada anak yang terjadi secara terus menerus, baik di kota maupun di desa, sampai pada rapuh dan lemahnya perlindungan dan pola asuh yang benar pada anak merupakan satu rantai panjang yang berkesinambungan antara satu dengan yang lain. Mengapa? Karena anak adalah salah satu elemen penting di dalam kehidupan masyarakat dan menjadi tongkat estafet harapan peradaban selanjutnya. Hari ini anak-anak tumbuh di bawah pola asuh kehidupan sistem kapitalisme sekularisme yang pondasinya adalah mendewakan materi dan meninggalkan aturan Sang Pencipta yaitu Allah SWT. Akibatnya runtutan kerusakan demi kerusakan pun terjadi.
Ekosistem ini mutlak terjadi karena paradigma kapitalisme yang begitu kuat mencekik kehidupan masyarakat termasuk anak. Faktanya, kekerasan yang terjadi pada anak bukanlah sebuah kejadian yang berdiri sendiri, melainkan harus dipahami bahwa itu terjadi karena rangkaian kegagalan sistem kehidupan yang diterapkan hari ini yang telah gagal dalam menjaga dan melindungi hak anak, membentuk pola asuh dan kepribadian yang baik. Sehingga hasilnya anak tetap menjadi korban dan imbas kesalahan pola pendidikan yang tak berkesudahan. Karena itu untuk mengakhiri atau menuntaskan problem anak tidak bisa hanya membahas soal perbaikan pola asuh, peningkatan gizi, penerapan kurikulum di sekolah, penambahan atau pergantian kebijakan, dan lain-lain. Oleh karena itu pada kesempatan ini kita akan mencoba mengulas lebih dalam akan langkah seperti apa yang perlu dilakukan dalam memutus problem yang dihadapi oleh anak agar mendapatkan jaminan keamanan.
Pertama, perlu adanya edukasi penanaman akidah yang kuat lagi masif pada orangtua. Di bagian ini, bagaimana para orangtua ketika sadar peranannya untuk mendidik anak, maka koneksi pikirannya adalah pendidikan versi agama (Islam). Karena itu, penting sekiranya dipahami bahwa kehadiran ayah dan ibu dalam proses mendidik anak sama pentingnya, sama-sama menjadi tanggung jawab keduanya. Oleh karena itu, kesadaran ini perlu muncul dalam diri ayah dan ibu supaya tidak saling tumpang tindih antara kewajiban yang satu dengan kewajiban lainnya.
Kedua, pengaturan media. Media sosial hari ini hampir tidak bisa dipisahkan dalam proses berpikir seseorang. Karena perkembangan dan kemajuan teknologi yang kian pesat, sehingga mau tidak mau keterlibatan media dalam mempengaruhi karakter seseorang menjadi tak terelakkan. Di antara hal yang perlu dikhawatirkan dalam peran sosial media adalah penyebaran konten-konten berbahaya yang merusak moral dan akal manusia. Oleh karena itu, dalam hal ini peran utama negara amat penting. Yakni dalam hal pembersihan media dari situs dan konten rusak nan merusak, film pornografi, dan adegan kekerasan. Maka kebebasan dalam bermedia haruslah kebebasan yang berada di garis standar syariat.
Ketiga, perangkat hukum yang memberikan efek jera. Itulah esensi dari sebuah hukum. Harapannya tidak hanya memberikan efek jera, tetapi juga dapat menjadi penebus kesalahan yang dilakukannya. Apabila hukum hanya mengarah pada pemberian efek jera, maka akan muncul distraksi di tengah masyarakat bahwa hukum itu fokus bicara akibat sedangkan sebab tidak ada. Artinya, seharusnya sebuah negara harus memahami apa landasan yang mendasari individu melakukan perbuatan yang tidak seharusnya dilakukan.
Zero Kekerasan pada Anak Didapat dari Penerapan Sistem Islam
Anak adalah amanah dan titipan dari Allah. Sudah seharusnya orangtua mendidik anak agar memiliki ketaatan serta kepribadian yang sesuai dengan keinginan Sang Pencipta agar sang anak selamat di dunia, lebih-lebih di akhirat kelak.
Sungguh akan benar-benar terwujud zero kekerasan pada anak apabila ketiga poin di atas diterapkan dalam sistem Islam. Sebab dalam sistem Islam ada 3 pihak utama penanggung jawab anak, yakni sebagai berikut:
Pertama, keluarga. Keluarga adalah tombak utama ketika berbicara tentang pendidikan anak. Keluarga yang dimaksud di sini adalah ayah dan ibu. Keduanya saling bersinergi dalam pengasuhan, kecukupan gizi, merawat, dan menjaga mereka dengan basis keimanan. Anak akan dididik agar memahami posisinya sebagai abdullah. Sehingga ketika kelak ia dewasa dan memiliki pekerjaan seperti pengasuh, ia tahu mana perkara yang dibenarkan dalam syariat dan mana yang tidak. Begitupun dengan orangtua yang semestinya memahami dan menjalankan perannya. Tidak melepaskan anak sepenuhnya pada pengasuhnya, karena kewajiban untuk mendidik dan merawat anak tetap berada di tangan keduanya, khususnya ibu.
Kedua, masyarakat atau lingkungan. Manusia adalah makhluk sosial. Ketika lingkungan sosialnya benar, maka pola pendidikan anak ikut benar. Lingkungan sosial yang benar tidak muncul dengan tiba-tiba, tetapi ada peran sistem yang mempola atau membiasakan masyarakat. Maka untuk menilai lingkungan itu benar (baik) atau tidak, gampangnya lihat sistem kehidupan yang mengaturnya. Karena itu lingkungan sosial yang Islami adalah poin penting dalam memastikan keberhasilan dalam mendidik anak. Masyarakat dengan alami akan memiliki kebiasaan melakukan amar makruf nahi mungkar. Ketika melihat ada orangtua yang lalai terhadap kewajibannya maka akan segera ditegur. Pun ketika melihat ada yang melakukan kemaksiatan atau kedzaliman seperti kasus kekerasan terhadap anak juga akan segera ditegur.
Ketiga, negara. Negara adalah pihak penting lainnya yang menjadi penopang utama keamanan anak dan keberhasilan dalam mendidik mereka. Negara dalam daulah Islam akan memastikan individu memiliki syakhsiyyah Islamiyyah, bukan akidah sekuler. Sehingga ketika terjadi penelantaran anak dari orangtua serta kekerasan terhadap anak, negara bisa menegur bahkan sampai memberikan sanksi sesuai dengan syariat. Dengan begitu, para pelaku tidak akan mengulanginya kembali dan orang lain pun tidak berani untuk melakukannya.
Dari semua yang telah disampaikan di atas, sudah seharusnya membuka pikiran kita bahwa di balik kasus kekerasan terhadap anak, orangtua yang lalai, serta individu yang berlaku dzalim, ternyata masih ada harapan untuk memperbaikinya. Yakni dengan kembali kepada sistem Islam, sistem yang berasal dari penguasa langit dan bumi, Allah SWT. Untuk itu, kita sebagai muslim, dengan dorongan keimanan sudah sepatutnya untuk memperjuangkan kembalinya sistem Islam yang telah dijanjikan oleh Allah dan RasulNya.
Wallahualam.