| 80 Views

Memagari Laut, Bentuk Nyata penjajahan Koorporasi di Indonesia

Oleh : Nora Afrilia, S.Pd
Aktivis Muslimah

Indonesia Emas. Inilah yang akan dikejar oleh kekuasaan Prabowo. Misi ini seakan terdengar cantik dan apik karena dalam benak seseorang biasanya menggambarkan kesejahteraan luar biasa untuk rakyat Indonesia. 

Namun, ada hal yang tak selaras dengan tujuan tersebut. Terjadi peristiwa pemagaran laut yang diketahui dilakukan oleh berbagai badan perusahaan. Disinyalir pemagaran ini dilakukan oleh  PT Intan Agung Makmur, PT Cahaya Inti Sentosa, serta bidang lain milik perorangan. 
Mereka kini dinyatakan telah mengantongi SGHB (Sertifikat Hak Guna Bangunan) dan SHM (Sertifikat Hak Milik) untuk memuluskan tindakan tersebut. 

Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid, menjatuhkan  putusan sanksi kepada delapan pejabat Kantor Pertanahan Tangerang. Delapan pejabat tersebut dicopot, dikarenakan terlibat dalam kasus pagar laut di perairan Tangerang, Banten. Dari delapan pejabat yang disanksi berat, enam pegawai diberi sanksi pemberhentian. 

Mencopot pejabat internal seharusnya hanya langkah awal. Pemerintah tidak boleh mencukupkan hanya dengan menjatuhkan sanksi etik kepada para pejabat di level daerah. Sejatinya, harus dilanjutkan dengan melakukan tindakan penegakan hukum pidana. Indikasi adanya pelanggaran hukum dan maladministrasi dalam pembangunan pagar laut yang punya Hak Guna Bangunan (SHGB) dan sertifikat hak milik (SHM) sudah semakin jelas. 

Mempidana pihak-pihak pejabat yang memberikan izin SHGB dan SHM bukanlah solusi sebenarnya dalam menyelesaikan permasalahan pemagaran laut ini. Harus berupaya untuk mencari pelaku utama ataupun dalang siapa yang berbuat seenaknya dalam memagari hak rakyat ini. Hingga para pemilik modal ini merasakan efek jera. 

Memagari laut memuluskan Koorporasi menjajah Indonesia

Sejatinya negeri yang berdaulat itu haruslah berprinsip. Jangan sampai banyak bagian dari sumber daya alamnya di caplok oleh sebagian orang sehingga yg di dapat oleh mereka hanyalah sedikit hasil dan tidak mampu mensejahterakan rakyat.

Lain halnya jika berada pada sistem demokrasi sekuler. Tidak ada upaya melibatkan aturan Allah yang Maha Tahu akan hamba-Nya.

Manusia saat ini menjadikan pemikirannya yang mengatur perbuatan dan penggunaan benda dengan akalnya semata. Seolah Allah itu tidak punya kuasa atas pengaturan perilakunya dan menggunakan benda-benda di dalam kehidupannya.

Maka menjadi wajar, ketika para pengusaha bermodal besar yang terkumpul hingga membentuk korporasi, akan mudah melahap apa yang menjadi hak rakyat. Termasuk kasus pemagaran laut ini. Maka akan membuahkan keuntungan bagi korporasi, sebaliknya kesengsaraan bagi rakyat. 

Penguasa dan pejabat setempat bagaikan orang-orang dengan bentuk regulator atau penghubung antara pengusaha dengan kepentingannya. Bukan malah memudahkan rakyat lain yang memiliki uang banyak dan menindas rakyat yang lain dan berdampak kezaliman yang kuar biasa. Terlebih lagi semenjak keberadaan UU cipta kerja diberlakukan. 

Jika diamati, secara tidak langsung mafia pagar laut mendapatkan angin dengan keberadaan sejumlah pasal yang direvisi dari empat UU yang berlaku di sektor kelautan dan perikanan, yakni UU No. 31/2004 jo UU No. 45/2009 tentang Perikanan; UU No. 27/2007 jo UU No. 1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (WP3K); UU No. 32/2014 tentang Kelautan; serta UU No. 7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam.

Pemberlakuan UU cipta kerja banyak mengundang permasalahan

Pertama, soal definisi nelayan kecil menjadi kabur, karena tidak lagi menyertakan batasan ukuran kapal yang digunakan seperti pada UU No. 45/2009 (<5 GT) maupun UU No. 7/2016 (<10 GT). Dengan demikian eksistensi nelayan kecil semakin tidak terlindungi oleh negara.

Kedua, soal kewenangan pengelolaan sektor kelautan dan perikanan, jika sebelumnya ditangani langsung oleh Menteri, saat ini dialihkan kepada Pemerintah Pusat.

Ketiga, soal perizinan usaha sektor kelautan dan perikanan, direduksi menjadi satu izin saja, yaitu perizinan berusaha dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.

Keempat, soal pengoperasian kapal perikanan asing di wilayah Indonesia, tidak lagi menyertakan kewajiban penggunaan awak kapal berkewarganegaraan Indonesia paling sedikit 70 persen dari jumlah awak kapal. 

Kelima, soal kewenangan perencanaan dan perizinan pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil (WP3K), jika sebelumnya ditangani Pemerintah Daerah, saat ini dialihkan kepada Pemerintah Pusat. Keempat aspek di atas pada hakikatnya merupakan bentuk liberalisasi usaha kelautan yang yang merugikan masyarakat lokal dan pemerintah daerah.

Selain itu, jika  terdapat kebijakan penguasa yang bertopeng strategis, Pemerintah Pusat langsung dapat memberi izin, meskipun ditentang atau tidak ada dalam rencana yang sudah ditetapkan oleh pemda. 

Keenam, soal ketentuan sanksi pengoperasian kapal ikan yang tidak membawa dokumen perizinan, pembangunan/impor/modifikasi kapal ikan yang tidak memiliki persetujuan, serta pengoperasian kapal yang tidak terdaftar sebagai kapal ikan Indonesia, jika sebelumnya terdapat sanksi denda dan pidana, saat ini hanya berupa sanksi administrasi. (ayo bandung.com, 02/02/2025)

Miris sekali kehidupan negeri ini. Ketika digantungkan kepada kebijakan yang hanya bersumber dari akal manusia. 

Aturan Islam adalah yang terbaik untuk semua pihak

Jelas sekali firman Allah 

وَاَنْزَلْنَآ اِلَيْكَ الْكِتٰبَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِّمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتٰبِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ وَلَا تَتَّبِعْ اَهْوَاۤءَهُمْ عَمَّا جَاۤءَكَ مِنَ الْحَقِّۗ لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَّمِنْهَاجًا ۗوَلَوْ شَاۤءَ اللّٰهُ لَجَعَلَكُمْ اُمَّةً وَّاحِدَةً وَّلٰكِنْ لِّيَبْلُوَكُمْ فِيْ مَآ اٰتٰىكُمْ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرٰتِۗ اِلَى اللّٰهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيْعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ فِيْهِ تَخْتَلِفُوْنَۙ - ٤٨

Dan Kami telah menurunkan Kitab (Al-Qur'an) kepadamu (Muhammad) dengan membawa kebenaran, yang membenarkan kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya dan menjaganya, maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah engkau mengikuti keinginan mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk setiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Kalau Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap karunia yang telah diberikan-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah kamu semua kembali, lalu diberitahukan-Nya kepadamu terhadap apa yang dahulu kamu perselisihkan," (QS. Al Maidah: 48)

Maka memutuskan hukum di dalam kehidupan ini milik Allah. Tidak dibenarkan manusia berpikir sendiri tanpa tuntunan. Meskipun dari sisi IQ mereka memiliki kemampuan berpikir dengan tingkat yang sangat tinggi. 
Manusia dalam kapasitas akal hanya dibenarkan membuat sarana-sarana untuk memudahkannya dalam menjalankan hukum Allah bukan menabrak hukum Allah yang sudah jelas. 

Termasuk pemagaran laut di Tangerang, adalah upaya melanggar hukum Allah dalam sebuah hadist "Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad)
Maksud kata "berserikat di antara manusia" adalah penjelasan ketentuan pokok ibahah (boleh) dan kesetaraan (musâwah) di antara manusia dalam pemanfaatan (ketiganya). Hanya saja ketiga barang itu dimiliki oleh mereka (bersama-sama). Maka dari itu, air di lembah itu bukan milik seseorang pun. 

Laut yang terkategori air maka dia tidak boleh dimiliki individu. Begitu pun dengan hasil hutan  yang terkait padang rumput dan hasil tambang yang memiliki kaitan dengan unsur api.
Mutlak harus difahami bahwa tidak bisa diprivatisasi ketika ketiga unsur tadi berlimpah, dalam jumlah yang sangat banyak. Hal ini akan berdampak akan adanya kekacauan jika hanya dikuasai oleh sebagian orang. Imbasnya mendatang kemudharatan bagi sebagian manusia lainnya. Maka terkategori benda tersebut milik umum. 
Penguasa negeri ini harus balik kepada hukum Allah. Dan tidak dibenarkan manusia sendiri memutuskan segala macam hukum berdasarkan akalnya. Kecuali hukum yang memang dibolehkan manusia untuk memutuskan. Terutama hal teknis dalam kehidupan.


Share this article via

54 Shares

0 Comment