| 353 Views
Makan Siang Gratis Ala Kapitalis Akankah Generasi Berkualitas?

Oleh : Ummu Abiyu
Capres-Cawapres terpilih, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, mulai menggodok program makan siang gratis yang menjadi program unggulannya.
Terjadi pro kontra tentang program makan siang gratis yang diwacanakan Paslon02 dalam program pemerintahannya jika terpilih nanti. Ini karena sumber pendanaannya direncanakan menggunakan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS).
Sebagai informasi, pasangan Prabowo-Gibran menjadikan program makan siang gratis sebagai prioritas. Program ini juga kerap disebutkan dalam kampanyenya. Program makan siang gratis ini diusung untuk memperbaiki kualitas gizi anak-anak di Indonesia. (Kompas Tv, 3-4-2024).
Pada Selasa (2-4-2024), Prabowo mempelajari budaya pemberian makan siang gratis yang ada di sekolah di Beijing, Cina, di sela-sela kunjungannya sebagai Menteri Pertahanan (Menhan). Sementara itu, Gibran mengaku sudah mengirimkan tim ke India untuk mempelajari program makan siang gratis di sana. Diketahui, Pemerintah India telah memberlakukan program makan siang gratis secara nasional sejak 2001. Pada tahun pelajaran 2023—2024, pemerintah India menjalankan program makan siang gratis dengan anggaran sekitar 116 miliar rupee atau Rp21,77 triliun.
Tidak cukup di situ, berita miring kemudian muncul kembali, yakni soal dari mana sumber dana yang akan digunakan untuk merealisasikan program tersebut selain dari dana BOS.
Masyarakat dikejutkan dengan wacana pemangkasan subsidi BBM agar program makan siang gratis bisa terealisasi. Kabar ini sontak membuat masyarakat gelisah, pasalnya sudah kita ketahui bersama jika BBM naik, maka bisa dipastikan seluruh kebutuhan pokok ikut naik. Bahkan, hingga harga cabai di pasar pun bisa ikut melambung.
Permasalahannya, umat harus mulai sadar jika urusan makan gratis itu tidak bisa dijadikan program baku oleh seorang penguasa mana pun, sebab pada dasarnya yang namanya makan adalah kebutuhan bagi seluruh manusia di muka bumi ini.
Terlebih di dalam Islam, makan yang merupakan kebutuhan pokok selain sandang dan papan adalah hal yang sudah seharusnya menjadi perhatian seorang pemimpin. Tidak perlu seorang pemimpin di dalam Islam memberikan janji-janji manis dengan memberikan makan siang gratis kepada masyarakat yang dipimpinnya. Justru, ia harus berpikir keras bagaimana agar bahan makanan pokok bisa terjangkau, melimpah dan berkualitas sehingga bisa dipastikan tidak ada warga negara (Daulah Islam) yang kelaparan.
Sejalan dengan program tersebut, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, program makan siang gratis untuk anak adalah bentuk investasi SDM. Ia juga berharap tidak ada lagi masyarakat Indonesia yang kekurangan gizi.
Sebab, lanjutnya, sumber daya manusia (SDM) yang unggul sangat penting untuk membawa Indonesia lepas dari middle income trap. Dengan kata lain, tegasnya, kualitas SDM penting untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia. (Kompas, 7-4-2024).
Mencermati pernyataan pejabat pemerintah ini, sejatinya miris sekaligus ironis ketika menyadari bahwa penguasa negeri kita merencanakan suatu kebijakan untuk mencetak generasi berkualitas, tetapi ternyata demi tumbal ekonomi. Namun, memang begitulah konsekuensi penerapan sistem demokrasi-kapitalisme. Segala sesuatu akan dianggap komoditas ekonomi.
"Program makan siang gratis yang kenyataannya tidak gratis ini tentunya memunculkan masalah baru karena ada pergeseran atau pengalihan dana yang tujuan awalnya difokuskan untuk mendukung ketersediaan akses dan peningkatan kualitas pendidikan,” Lebih lagi, program ini tidak tepat serta tidak efektif dan efisien untuk memperbaiki kualitas peserta didik.
“Ini karena kualitas sumber daya manusia yang dihasilkan dari proses pendidikan, bukan hanya sebatas memenuhi nutrisi kebutuhan jasmaninya, apalagi hanya makan siang gratis, tetapi didukung pula oleh kurikulum sistem pendidikan yang digunakan, guru yang berkualitas, dan sarana prasarana yang memadai,” Apalagi, akan dibutuhkan anggaran yang sangat besar untuk pembelanjaan makan siang gratis ini.
Pembangunan kualitas generasi yang sekadar berdasar pada “isi perut” dan mengabaikan “isi kepala”, pada suatu saat akan menemukan titik jenuhnya. Pasalnya, isi perut tidak selalu menunjang aktivitas berpikir. Sedangkan isi kepala jelas menentukan standar dan hasil dari aktivitas berpikir tersebut.
Bagaimanapun kita harus menyadari bahwa bangkitnya manusia tergantung pada pemikirannya tentang hidup, alam semesta, dan manusia, serta hubungan ketiganya dengan sesuatu yang ada sebelum kehidupan dunia dan yang ada sesudahnya. Ini adalah sesuatu yang penting, sebab pemikiranlah yang membentuk dan memperkuat persepsi dan pemahaman terhadap sesuatu.
Di samping itu, manusia selalu mengatur tingkah lakunya dalam kehidupan ini sesuai dengan persepsi dan pemahaman terhadap kehidupan tersebut. Atas dasar ini, satu-satunya jalan untuk mengubah persepsi dan pemahaman seseorang adalah dengan mewujudkan suatu pemikiran tentang kehidupan di dunia sehingga dapat terwujud persepsi dan pemahaman yang benar terkait kehidupan tersebut.
Oleh sebab itu jelas, kebijakan yang hanya berfokus pada isi perut belum tentu mengarahkan kualitas generasi pada standar hidup hakiki serta ukuran halal dan haram bagi kehidupannya tersebut. Tidak heran, cepat atau lambat program makan siang gratis justru tidak ubahnya kebijakan yang sifatnya antara nafsu dan halusaja, tetapi jauh dari realisasi cita-cita yang sejati. Terlebih dengan motivasi agar negeri ini bisa lepas dari status middle income trap, tentu hanya akan berbuah hasil yang semu
Demikian halnya dengan kualitas generasi, untuk mencapainya jelas tidak bisa hanya sekadar mengisi perutnya, melainkan harus menjamin dan menjaga pemikirannya agar terisi sebagai calon konstruktor peradaban sahih. Hal ini karena peradaban kufur adalah peradaban rusak yang pasti gulung tikar. Dengan begitu sungguh rugi jika suatu negeri ingin mencetak generasi berkualitas tetapi malah untuk mengisi peradaban kufur.
Dalam hidup kapitalisme sekuler berdampak besar bagi krisis jati diri kaum muda. Lihat saja buktinya, tidak sedikit dari mereka yang mengalami krisis daya juang. Sebagian enggan hidup dalam kepayahan, sebagian harus hidup laksana sapi perah, dan sebagian lagi ada yang memilih jalan sesat menjadi generasi “melambai”, bahkan sampai ada yang harus hidup ngenes akibat mental illness.
Pada saat yang sama, mereka juga terombang-ambing dan begitu mudah terikut arus tanpa mampu melepaskan diri. Kondisi ini akibat semesta kehidupan yang serba bebas dan serba boleh sehingga kehidupan mereka kehilangan pegangan dan standar hakiki.
Untuk itu, dalam menanggulangi berbagai faktor penyebab krisis ini, tentu saja membutuhkan solusi yang bersifat sistemis, sehingga tidak bisa hanya sebatas pada realisasi program makan siang gratis. Perubahan yang hendak diemban oleh generasi berkualitas juga harus perubahan hakiki.
Jelas hal ini tidak bisa ditawar lagi. Generasi berkualitas butuh perubahan jati diri detik ini juga. Produktivitas dan ketangguhannya tidak akan sia-sia jika digunakan untuk perjuangan membela agama Allah. Tidak pelak, visi besar penggemblengan mereka sebagai bibit generasi unggul pun hanya bisa berdasarkan aturan Allah.
Profil generasi muda muslim berkualitas adalah mereka yang menghendaki menjadi terbaik menurut standar Allah, yakni terikat dengan aturan Islam. Mereka adalah orang-orang yang berkepribadian Islam (memiliki pola pikir dan sikap Islam). Denyut nadi kehidupan mereka tercurah sepenuhnya untuk membela Islam. Keseharian mereka kental dengan aktivitas dakwah. Mereka berdaya juang, beretos kerja prima, pemberani, berkarakter pemimpin, serta mampu mencapai ikhtiar terbaik dan tawakal tertinggi demi kemuliaan Islam dan kaum muslim.
Semua ini akan terwujud dengan penerapan Islam secara kaffah dalam bingkai Khilafah Daulah Islamiyyah