| 16 Views
Lonely in The Crowd: Dampak Buruk Sosial Media Dalam Sistem Sekuler Liberal

Oleh : Suntusia Hafiza
Perkembangan teknologi yang pesat, khususnya media sosial, telah mengubah cara manusia berinteraksi dan berhubungan satu sama lain. Platform seperti Instagram, Facebook, dan TikTok kini menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Namun, di balik kemudahan dan konektivitas yang ditawarkannya, muncul sebuah paradoks modern: "Lonely in The Crowd" atau kesepian di tengah keramaian. Hal ini menggambarkan bagaimana individu merasa terasing dan kesepian meskipun terhubung dengan ribuan orang secara daring.
Fenomena ini menarik perhatian mahasiswa Ilmu Komunikasi UMY. Mereka melakukan riset berjudul "Loneliness in the Crowd: Eksplorasi Literasi Media Digital pada Fenomena Kesepian di TikTok melalui Konfigurasi Kajian Hiperrealitas Audiovisual". Menurut teori hiperrealitas, representasi digital kerap dianggap lebih 'nyata' daripada realitas itu sendiri, sehingga emosi yang dibentuk media dapat memengaruhi kesehatan mental dan hubungan sosial.
Tim peneliti berharap riset mereka bisa membantu pemerintah (Kementerian Komdigi) membuat strategi yang lebih baik untuk mengelola literasi digital dan penggunaan gawai. Mereka melihat ini sebagai cara untuk mengatasi masalah kesepian dan kesehatan mental Gen Z, yang sering dianggap sepele padahal dampaknya sangat besar.
Di era serba digital ini, banyak orang merasa kesepian meskipun sangat aktif di media sosial. Terutama Gen Z, mereka dianggap sebagai generasi yang paling rentan merasa tidak aman (insecure) dan memiliki masalah kesehatan mental. Masalah ini lebih dari sekadar kurangnya pemahaman tentang media sosial atau tidak bisa mengelola penggunaan gawai.
Industri kapitalis di balik media sosial ternyata membawa dampak negatif, salah satunya membuat orang menjadi asosial atau sulit bergaul di dunia nyata. Bahkan, hubungan antar anggota keluarga pun terasa hambar dan berjarak, meskipun mereka tinggal serumah.
Interaksi di media sosial cenderung dangkal dan artifisial. Ribuan teman atau pengikut tidak menjamin adanya dukungan emosional yang tulus. Komunikasi terbatas pada komentar singkat, "likes," dan pesan langsung, yang tidak sebanding dengan kedekatan yang terjalin melalui tatap muka. Akibatnya, meskipun memiliki jaringan sosial yang luas secara daring, banyak individu merasa tidak memiliki hubungan yang mendalam dan bermakna.
Sikap asosial dan kesepian ini sangat merugikan, khususnya bagi generasi muda. Mereka yang seharusnya bisa menghasilkan karya-karya hebat justru bisa menjadi lemah dan tidak berdaya. Parahnya lagi, mereka akan kehilangan kepedulian terhadap masalah di sekitar, karena terlalu sibuk dengan masalah pribadi mereka sendiri.
Masyarakat perlu sadar bahwa penggunaan media sosial tanpa kendali bisa membuat banyak orang menjadi asosial (sulit bersosialisasi) dan kesepian di tengah keramaian. Fenomena ini pada akhirnya akan merugikan banyak orang.
Masyarakat harus kembali menjadikan Islam sebagai identitas utama mereka. Dengan begitu, mereka tidak akan terus-menerus menjadi korban dari dampak buruk sistem sekuler liberal.
Fenomena ini semakin kompleks ketika dikaitkan dengan sistem sekuler liberal yang menjadi kerangka sosial di banyak negara. Dalam sistem ini, nilai-nilai individualisme, kebebasan pribadi, dan rasionalitas ditekankan. Individu didorong untuk mandiri, mengandalkan diri sendiri, dan mengejar kebahagiaan pribadi. Keberhasilan seringkali diukur dari pencapaian material dan status sosial. Dalam konteks ini, media sosial berperan sebagai panggung di mana individu menampilkan versi diri mereka yang paling ideal.
Pemerintah memiliki peran penting dalam mengelola pemanfaatan teknologi digital. Tujuannya adalah untuk mendorong masyarakat, terutama generasi muda, agar tetap produktif dan mau berkontribusi dalam menyelesaikan masalah-masalah di masyarakat.Dengan tetap menerapkan nilai-nilai syari’at Islam dalam segala Aspek kehidupan.
Wallahu a'lam bisshawab