| 139 Views

Krisis Air Bersih, Berharap Pada Siapa ?

Oleh : Ummu Hadid

Persoalan air bersih di negeri ini masih menjadi PR bagi pemerintah. Padahal negeri ini kaya akan sumber daya air. Namun faktanya krisis air bersih menimpa masyarakat, khususnya saat memasuki musim kemarau.

Nasional Geografis Indonesia mengungkap bahwa banyak wilayah di NTB dan NTT memiliki akses terbatas terhadap air bersih. Di NTB misalnya Menurut data BPBD 2024 sekitar 500.000 jiwa di 77 Kecamatan berdampak kekeringan. Sementara di NTT BMKG pada September 2024 melaporkan sejumlah titik mengalami kekeringan ekstrim akibat tidak turunnya hujan selama berbulan-bulan.

Sebanyak 225 dari 39 wilayah kecamatan yang tersebar di berbagai kabupaten di provinsi tersebut dinyatakan siaga kekeringan. Kondisi ini turut berdampak pada kelompok rentan seperti anak-anak, perempuan dan disabilitas,  mereka harus membeli atau antri berjam-jam untuk mendapatkan air.

Sulitnya akses air bersih juga menambah beban, terutama bagi perempuan dan anak,  yang dapat terganggu pendidikannya, serta meningkatkan kerentanan ekonomi mereka.

Krisis air bersih di tengah berlimpahnya sumber daya air di negeri ini sejatinya menunjukkan ada salah tata kelola air yang membahayakan kehidupan masyarakat. Salah satu penyebab krisis air adalah berkurangnya daerah resapan air di daerah hulu.

Menurut Bappenas Kerusakan hutan menjadi pemicu kelangkaan air baku. Pulau-pulau seperti Jawa Bali dan Nusa Tenggara yang memiliki tutupan hutan rendah  sangat rentan terhadap kekeringan, dan kualitas air yang buruk. Tutupan hutan yang hilang mengurangi daya resapan air hujan dan menyebabkan aliran air permukaan yang membawa polutan.

Penerapan sistem kapitalisme telah menjadikan sebagian besar hutan di alih fungsikan menjadi kawasan ekonomi hingga dibabat untuk kepentingan industri. Hal ini mutlak terjadi dalam negara yang menerapkan sistem kapitalisme. Sebab liberalisasi telah menjadi  prinsip ekonomi kapitalisme yang membolehkan, bahkan mendukung siapa saja yang ingin mengelola sumber daya alam termasuk hutan Selama memiliki modal.

Liberalisasi juga telah menjadikan privatisasi sektor air terus berlangsung. Padahal air merupakan kepemilikan umum atau publik, namun kini berubah menjadi milik swasta. Milik satu atau sekelompok orang dalam bentuk perseroan. Mirisnya di tengah jeritan rakyat akibat krisis air ini, penguasa justru tidak menunjukkan simpati atas rakyatnya. Penguasa seolah tidak merasakan penderitaan yang menimpa rakyatnya. Bagaimana mungkin seorang penguasa bisa tidur nyenyak, sementara rakyatnya tidak mampu memenuhi kebutuhan air untuk kelangsungan hidup mereka.

Sungguh penguasa yang menjalankan kepemimpinan sekuler hanya diposisikan sebagai regulator yang abai terhadap jaminan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat.  Negeri ini membutuhkan visi politik sumber daya alam yang berorientasi pada kemaslahatan rakyat. Hal itu hanya terwujud dalam kehidupan yang diatur oleh kepemimpinan islam.

Islam memposisikan pemimpin sebagai raa'in (pengurus rakyat), sehingga dalam memimpin dia akan terikat dengan syariat, dan menjalankan syariat Islam. Pemimpin dalam Islam juga sangat memahami bahwa kepemimpinannya akan dipertanggungjawabkan kelak di akhirat.

Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda "Imam atau khalifah adalah raa'in atau pengurus rakyat, dan ia bertanggung jawab atas rakyat yang diurusnya. (Hadis riwayat Bukhari)

Salah satu tanggung jawab negara adalah menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok rakyatnya, individu perindividu, termasuk kebutuhan air yang ketiadaannya mengancam kehidupan umat manusia. Pemimpin dalam Islam wajib menjalankan urusan pemerintahan dengan hukum Islam. Seorang mujtahid mutlak abad ini Syekh Abdul Qodim zalim dalam kitabnya Nizham al Hukmi fil Islam halaman 49 menyatakan, bahwa khalifah atau kepala negara adalah orang yang mewakili umat Islam dalam urusan kekuasaan atau pemerintahan , dan penerapan hukum-hukum syariah.

Status air dan hutan dalam Islam tergolong sebagai kepemilikan umum atau rakyat yang wajib dikelola oleh negara, bukan diserahkan pada korporasi. Islam telah melarang menyerahkan pengelolaannya kepada pihak swasta, apapun alasannya. Seorang pendiri partai Islam ideologis menyatakan dalam kitabnya As Syaksiyah Al Islamiyah hal 161, As Syari' telah memerintahkan penguasa agar senantiasa memperhatikan rakyatnya, memberinya nasehat,  memperingatkan penguasa agar tidak menyentuh sedikitpun harta kekayaan milik umum, dan mewajibkan penguasa agar memerintah rakyat dengan Islam saja tanpa yang lain.

Oleh karena itu negara tidak boleh menyerahkan tata kelola air kepada pihak swasta, sebagaimana dalam sistem kapitalisme yang menggunakan skema investasi ataupun skema lainnya. Negara harus mengendalikan mulai dari proses produksi hingga distribusi ke masyarakat hingga ke daerah pelosok. Untuk daerah yang jauh dari sumber air, negara akan membangun teknologi unggul hingga terdistribusi ke daerah tersebut. Negara melakukan pengawasan atas berjalannya pemanfaatan air seperti peningkatan kualitas air  dan menyalurkan kepada masyarakat melalui industri air bersih perpipaan hingga kebutuhan masyarakat atas air terpenuhi dengan baik. Dana dari Baitul Maal sangat cukup untuk memenuhi kemaslahatan air ini, hingga bisa diakses rakyat dengan gratis atau harga murah.

Negara juga akan melakukan rehabilitasi dan memelihara konversi lahan hutan agar resapan air tidak hilang. Caranya,  negara mengedukasi masyarakat agar bersama-sama menjaga lingkungan. Negara harus memetakan dengan benar terkait pembangunan yang akan dilakukan sehingga tidak merusak alam. Negara bahkan akan memberi sanksi tegas terhadap pelaku kerusakan lingkungan.

Semua mekanisme ini hanya akan bisa dan mampu dilakukan oleh sebuah negara yang menerapkan sistem Islam  dalam bingkai khilafah.

Wallahu alam bisshawab


Share this article via

65 Shares

0 Comment