| 12 Views
Kriminalisasi Terhadap Gen Z, Bukti Rusaknya Sistem Demokrasi

Pos jaga GBK yang dibakar massa aksi 28 Agustus di depan Pintu 12 GBK, Kamis (28/8/2025).(Hanifah Salsabila)
Oleh: Ummu Haziq
Muslimah Ngaji
Aksi demonstrasi yang terjadi di sejumlah daerah di Indonesia mulai Kamis, 28 Agustus 2025, yang bermula dari demonstrasi buruh dan mahasiswa di depan Gedung MPR/DPR RI, Senayan, bukanlah reaksi sesaat, melainkan merupakan akumulasi keresahan terhadap kebijakan yang merugikan rakyat dan menguntungkan segelintir elit politik
Menariknya, aksi demonstrasi tersebut bukan hanya dilakukan oleh mahasiswa atau masyarakat umum, tetapi turut juga para pelajar SMP dan SMA. Walaupun pihak kepolisian telah menghalau mereka untuk tidak ikut aksi, mereka tetap masuk ke dalam kerumunan demonstran dan tidak terkendali.
Di satu sisi, aparat menilai tindakan mereka sebagai anarkisme. Namun di sisi lain, ada gejala yang jauh lebih penting: anak-anak muda, terutama Gen Z, mulai memiliki kesadaran politik dan berani menyuarakan kegelisahan mereka terhadap ketidakadilan
Fakta ini sontak menimbulkan polemik, sebab Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menilai penetapan ratusan anak sebagai tersangka tidak sesuai standar perlindungan anak dalam UU (Kompas, 26/9/2025).
Fenomena ini tidak bisa dilihat sebatas “anak-anak ikut-ikutan rusuh”. Justru sebaliknya, keterlibatan anak muda dalam aksi massa menunjukkan bahwa ada kegelisahan sosial yang dirasakan lintas generasi.
Gen Z tumbuh di tengah krisis: harga-harga naik, lapangan kerja sempit, korupsi merajalela, dan kesenjangan makin lebar. Mereka menyaksikan politik yang hanya menguntungkan elit, sementara aspirasi rakyat dibiarkan hampa. Maka, ketika jalan formal buntu, jalan protes yang keras seringkali menjadi pilihan.
Namun sayangnya, kesadaran politik ini segera dilabeli “anarkisme”. Mereka dikriminalisasi, seolah-olah keberanian bersuara adalah tindak kriminal. Padahal, anak muda yang kritis adalah modal bangsa. Apa jadinya jika setiap suara berbeda dibungkam dengan pasal-pasal hukum?
Inilah wajah demokrasi kapitalisme yang sesungguhnya. Sistem ini memberi ruang bagi kebebasan berbicara, tetapi hanya sejauh tidak mengancam kepentingan penguasa dan pemodal.
Begitu kritik tumbuh dan menantang status quo, ia segera dijegal. Label “radikal”, “anarkis”, atau “kriminal” dipasang untuk merusak legitimasi para pengkritik. Kasus ratusan anak ini adalah contoh nyata.
Daripada mendengar suara mereka, sistem lebih memilih membungkam dengan cara represif. Demokrasi yang katanya menjamin kebebasan, pada praktiknya hanya menoleransi suara yang sejalan. Suara yang melawan, apalagi jika menyentuh akar ketidakadilan struktural, akan segera dihadapi dengan kekerasan negara.
Pemuda sebagai Agen Perubahan
Sejarah membuktikan bahwa pemuda adalah tonggak perubahan. Dari perlawanan kolonial, kebangkitan nasional, hingga reformasi, selalu ada darah muda yang menjadi penggerak. Karena itu, kriminalisasi kesadaran politik generasi muda adalah pembunuhan karakter masa depan bangsa.
Namun, kita juga harus jujur: kesadaran politik anak muda hari ini seringkali tidak punya arah yang jelas. Ia lahir dari kekecewaan, tapi mudah diarahkan pada luapan emosi semata. Akibatnya, aksi yang lahir sering tak lebih dari kericuhan tanpa visi.
Islam menawarkan jalan keluar. Dalam pandangan Islam, pemuda diarahkan bukan hanya untuk kritis, tetapi juga berjuang menegakkan amar ma’ruf nahi munkar. Nabi Muhammad ﷺ bersabda: Buku Islam
"Sebaik-baik jihad adalah menyampaikan kalimat yang benar di hadapan penguasa yang zalim." (HR. Abu Dawud).
Peran pemuda dalam sejarah peradaban Islam sangat penting. Bahkan pemuda adalah pionir perubahan peradaban suatu bangsa. Sepanjang dakwah Rasulullah saw., beliau senantiasa dikelilingi para pemuda. Di antaranya, Ali bin Abi Thalib pada usia 10 tahun menjadi pemuda pertama yang menerima Islam, Mus’ab bin Umair merupakan pemuda kaya raya yang meninggalkan kemewahan dunia dalam usia 20 tahun, Zubair bin Awwam (usia belasan tahun) menjadi pelindung Rasulullah, dan Usamah bin Zaid mendapat amanah besar pada usia 17 tahun sebagai panglima pasukan kaum Muslim menghadapi Romawi.
Inilah bukti nyata peran pemuda yang begitu gemilang. Hari ini kita mesti menanamkan kembali di benak para pemuda agar menjadi penggerak arah perubahan hakiki dan tidak terjebak pada cara berpikir pragmatis. Agar mereka tidak memandang persoalan negeri ini secara parsial semata, tetapi jelas akar persoalannya.
Sebagai pemuda Muslim, seharusnya menjadikan Islam sebagai sumber aturan publik, bukan hanya identitas pribadi. Lebih dari itu, dengan semangat idealisme dan keberanian, hendaknya diarahkan pada perjuangan politik, ekonomi, hukum, dan sosial.
Kembalikan peran pemuda pada masa emas kejayaan Islam sebagaimana para Sahabat dahulu. Menjadi pelopor perjuangan dan dakwah Islam kaffah hingga terwujud keadilan dan kesejahteraan umat. Inilah solusi hakiki.
Wallahu a’lam.